Intelektual Sontoloyo

Menjadi intelektual itu adalah sebuah posisi terhormat dan terpandang. Dia dihargai, dihormati. Namun mana kala intelektual itu menyimpang maka dengan sangat gampang dia menjadi terjerembab, asfala safilin.

Akhir-akhir ini terjadi gelombang pemberontakan dahsyat luar biasa dan gugatan tak tanggung-tanggung untuk meloloskan agama menjadi terbuka selebar-lebarnya untuk dinodai, dilecehkan, dicemari. Agama yang sakral belakangan ini ingin dijadikan bulan-bulanan oleh para pengasung dan dan para penjual “asongan” liberalism dalam semua tingkatan dan maqamnya. Agama yang hendaknya dilindungi, dibanggakan kini dibuka katupnya lebar-lebar untuk dilempari penghinaan, dijatuhkan martabatnya, diluluhlantakkan tiang-tiangnya dan dirontokkan pondasi dasarnya.

Orang-orang yang mengakui atau diakui sebagai intelektual berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjadikan semua agama “setara” dan sama rata. Konsep setara dan sama benarnya adalah pengkaburan, konsep setara dan tidak ada bedanya adalah penistaan pada pemeluk setiap agama, setiap pemeluk agama dipaksa untuk tidak memiliki privilege dan kebanggaan apa-apa terhadap agama mereka. Mereka ditodong untuk mengakui bahwa setiap agama yang ada di dunia ini setara dan sama-sama.

Mereka diteror oleh doktrin-doktrin yang menakutkan jika mereka tidak mau mengakui dan mendeklarasikan bahwa agama orang lain juga sama benarnya dengan apa yang mereka anut. Teror beragama ini amboynya direnda dan diaksesorisi dengan kata sakti “fundamental of human rights” yang menyihir dunia untuk dijadikan sebagai pengganti agama-agama lama.

Mereka yang dengan konsisten mempertahankan bahwa agama yang mereka anut adalah agama yang paling benar dianggap sebagai penganut agama yang eksklusif, lalu dinaikkan menjadi fanatik, dinaikkan maqamnya menjadi radikal dan ujung-ujungnya mencapai maqam tertinggi teroris…sebuah cara labeling dan branding yang bukan hanya tidak benar tapi juga menyesatkan.

Seorang penganut agama yang taat beribadah dan mengatakan bahwa ibadah yang dia lakukan adalah yang paling benar menurut intelektual liberal akan dianggap sebagai penganut agama yang tertutup dan fanatik. Mereka dilabel menjadi sosok yang menakutkan karena dianggap terlalu komitmen dengan ajaran agama mereka. Tidak terbuka, terlalu tertutup, terlalu saklek dan sebutan miring berat lainnya.

Seorang yang rajin berdakwah dan diperintahkan untuk mengatakan bahwa agama mereka adalah agama yang lurus dipaksa untuk tidak mengatakan itu karena jika hal itu rajin dilakukan berarti dia sedang tidak apresiatif terhadap : inklusivisme, pluralism dan liberalisme. Jualan paling laris di dunia dan dengan dana yang melimpah. Proyek “agama liberal” dianut oleh para intelektual “yang inferiority complex” saat mereka berhadapan dengan peradaban yang selama ini menjadi imam peradaban dunia. Mereka yang menerima konsep “agama liberal” ini adalah para pecundang yang bertekuk lutut saat berasa di depan guru-guru mereka yang telah lama menganut “agama liberal”. Mereka terpaksa “cium tangan” sebagai bentuk pengakuan akan kebenaran konsep-konsep yang disorongkan dan dijajakan. Sebagai murid yang tak berdaya mereka dengan serta merta menerima apa yang diajarkan tanpa reserve karena sebelum bergurupun mereka telah dengan mentah-mentah kagum dan menerima semua doktrin yang mereka ajarkan.

Para liberalis itu tidak lagi menganggap penting simbol-simbol sakral agama.Toh agama nisbi adanya. Tak ada yang mutlak benar. Yang ada mutlak liberal. Agama yang dinodai tidak perlu dibela, tidak perlu dilindungi. Negara jangan cawe-cewe melakukan pembelaan terhadap agama tertentu. Negara harus netral, berdiri di tengah-tengah jangan bela sana bela sini. Sebab kalau ini dilakukan–dalam pandangan mereka—sama artinya dengan menjadikan Negara sebagai Negara agama yang selama ini mereka tentang keras.

Liberalisme sebenarnya bukan hanya akan membuata gama babak belur karena tidak lagi mendapat perlindungan kesakralan ajarannya dari Negara, namun ini juga akan menimbulkan “huru-hara” di masyarakat jika ada para pemeluk agama yang ngamuk karena sakralitas agama mereka dihinakan. Dalam pandangan pemeluk agama liberal netralitas akan melahirkan kebebasan, namun tidak disadair bahwa dengan cara pikir semacam ini mereka telah dengan sengaja akan mendorong keras pemeluk agama untuk melakukan pembelaan sendiri terhadap agamanya karena peran Negara telah dimandulkan oleh penganut agama liberal. Jika terjadi kericuhan di masyarakat siapa yang berhak menjadi hakim. Bukankah para penganut agama itu adalah warga Negara yang seharusnya bukan hanya fisiknya yang mendapat perlindungan tapi seluruh kepercayaan dan keyakinannya mendapat perlindungan oleh Negara agar Negara tidak mengalami kekacauan.

Liberalisme penuh sebenarnya hanya bisa ada di hutan dimana kebebasan mutlak tidak pernah akan digugat dan dipermasalahkan. Liberalisme mutlak akan menyeret kita pada pola hidup dengan perspektif “ragunan”. Dimana penghuninya bisa menghina, memakan yang lain, memojokkan yang lain, meremehkan yang lain. Telanjang bulat, berhubungan badan di depan penghuni lainnya, dan seterusnya. Kebebasan mutlak artinya kita kembali ke zaman purba, tanpa agama.