I&#039tikaf Sambil Bekerja

Assalamu’alaikum wr. wb.

Pak ustadz, singkat saja, saya mau tanya, boleh apa tidak kita i’tikaf sambil bekerja? Misal siang kita bekerja pulang kerja kita langsung ke masjid. Sedangkan Rasul saja menyisir rambut dilakukan oleh isterinya. Terima kasih.

Wassalam,

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebagaimana kita ketahui bahwa i’tikaf itu adalah ibadah berbentuk taqarrub kepada Allah yang dilakukan di dalam masjid. Esensinya justru keberadaan kita di dalam masjid itu sendiri.

Sehingga bila kita lakukan ibadah taqarrub itu di luar masjid, misalnya shalat, baca Quran, zikir dan doa di rumah atau di kantor, tentu istilah i’tikafnya sudah tidak lagi lekat di dalamnya. Pahalanya tetap kita terima, tapi namanya bukan lagi i’tikaf.

Tapi kalau pertanyaannya, bolehkah kita tidak sepenuhnya beri’tikaf di 10 hari terakhir Ramdhan, tapi sebagian waktunya untuk bekerja di kantor, maka jawabnya tentu saja boleh. Sebab meski nabi SAW selalu melakukan i’tikaf 10 hari terakhir tiap tahun di bulan Ramadhan, namun beliau tidak pernah mewajibkannya kepada umatnya. Artinya, secara syar’i, hukumnya tidak wajib. Dan orang yang tidak i’tikaf di bulan Ramadhan tidak menanggung dosa apa pun.

Tetapi kalau kita bicara dari sudut pandang lain, misalnya dari segi keutamaan ibadah, tentunya mengikuti i’tikaf itu sangat diutamakan dan dianjurkan. Mengingat besarnya pahala yang dijanjikan, serta contoh praktek nabi SAW atasnya.

Yang paling utama adalah beri’tikaf dengan sempurna, 10 hari 10 malam tanpa keluar sekalipun dari masjid. Namun bila keadaan seseorang tidak bisa demikian, karena misalnya masih ada kewajiban dari kantor atau tempat kerjanya, tentu tidak ada keharusan untuk bolos atau mangkir dari kerja. Toh meski tidak bisa siang malam terus terusan, kita boleh saja ikut i’tikaf sebagiannya. Misalnya hanya malam hari saja, tapi siangnya kembali ke rumah atau ke kantor.

Toh pahala i’tikaf itu tidak gugur total bila keluar dari masjid. Tidak seperti orang bayar puasa kaffarat yang harus 2 bulan berturut-turut, bila sekali saja tidak puasa meski sudah hari ke 59, maka puasa selama 59 hari itu dianggap gugur.

Nah, i’tikaf tidak demikian peraturannya. Bila memang masih ada udzur atau keperluan manusiawi lalu seseorang tidak bisa lengkap 10 hari 10 malam, boleh saja dia menyelesaikan dulu urusannya. Biar saja ada bolong-bolongnya, toh tidak menggugurkan pahala i’tikaf lainnya yang sudah dikerjakan. Meski bila bisa melakukannya dengan sempurna, tentu pahalanya lebih besar.

Bahkan Asy-Syafi’i puya pendapat, sesebentar apa pun kita masuk masjid, asal diniatkan beri’tikaf, kita sudah dapat pahalanya. Tentu tidak sama dengan pahala yang 10 hari 10 malam itu.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.