Puasa Ikut 29, Sholat &#039Ied Ikut yang Puasanya 30

Assalamu’alaikum wr. wb.

Pak Ustadz yang baik, ada beberapa pertanyaan seputar perbedaan penentuan 1 Syawal

  1. Pada jam berapakah biasanya hilal itu nampak?
  2. Saat ini, siapa yang dimaksud "satu orang saja yang melihat hilal, maka puasa/lebaranlah", cukupkah 1 orang penduduk bumi yang melihat lalu diijabah dan sah, jika ya, bagaimana cara mengontak penduduk bumi belahan lain sampai di pedalaman? Bagaimana bila ada orang yang pura-pura masuk Islam yang mengaku melihat hilal? Bagaimana kalau saya sendiri yang melihat hilal, saya harus lapor ke mana, apa mungkin pemerintah percaya, karena disangka pengen terkenal, namanya masuk media?
  3. Jika saya ikut puasa yang 29, kemudian saya mudik, dan di daerah tersebut puasanya 30 hari karena ikut pemerintah, apakah kita boleh sholat ‘Ied pada tanggal 2 Syawal (menurut yang puasa 29)?
  4. Apakah boleh bagi kita puasa dan lebaran tidak mengikuti aturan yang ditetapkan pemerintah, berdosakah kita, bukankah setiap diri kita terikat oleh aturan negara? Seperti halnya hukum rajam dan hudud, walau belum berjalan, pemerintah yang bertanggung jawab, kita tidak berdosa. Hal ini saya tanyakan agar tidak terkesan kita mau enaknya saja.
  5. Mulai kapan sih perbedaan ini terjadi (sampai lupa saya), koq dulu sewaktu saya masih kecil sampai SMA adem-ayem saja ikut pemerintah?

Mohon penjelasannya.

Jazakallohu khoiron katsiron.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Assaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

1. Hilal awal bulan itu nampak dilihat bersamaan hampir dengan terbenamnya matahari di senja hari. Namun hanya pada tanggal 29 dari bulan tersebut untuk mementukan masuknya tanggal 1 bulan berikutnya.

Kemungkinannya satu di antara dua. Kalau pada sore hari menjelang matahari terbenam, terlihat hilal walau cuma sebantar, maka malam itu kita sudah meninggalkan bulan sebelumnya dan masuk bulan baru.

Kalau kita berada pada tanggal 29 Sya’ban dan sore hari hilal nampak, maka habis Maghrib sudah terhitung masuk tanggal 1 Ramadhan. Tapi kalau tak seorang pun melihatnya, maka malam itu masih tanggal 30 Sya’ban.

Begitu juga, kalau besok hari Ahad tanggal 29 Ramadhan kita melihat hilal Syawwal, maka habis Maghrib itu kita sudah masuk tanggal 1 Syawwal. Lebaran akan jatuh hari Senin. Sebaliknya, bila tak seorang pun melaporkan melihat hilal, maka malam itu kita tarawih lagi untuk malam yang ke-30 Ramadhan. Dan lebaran jauh hari Selasa.

Demikianlah Rasulullah SAW mengajarkan agama kepada kita.

2. Setiap muslim laki-laki yang sudah ‘aqil, baligh serta ‘adil, maka kesaksiannya bisa diterima. Termasuk dalam melihat hilal Syawwal. Dan hukum menerima kabar itu meski hanya satu orang yang melihatnya sah secara hukum. Para ulama menyebutnya sebagai khabar wahid/ ahad.

Hukumnya sah dan tidak ada keharusan untuk menolaknya. Apalagi yang bersangkutan telah bersumpah dan dia seorang muslim. Semua dalil mengarahkan kita kepada hal itu.

وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ تَرَاءَى اَلنَّاسُ اَلْهِلَالَ, فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اَللَّهِ أَنِّي رَأَيْتُهُ, فَصَامَ, وَأَمَرَ اَلنَّاسَ بِصِيَامِهِ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ

Dari Ibnu Umar ra. berkata, "Orang-orang berusaha melihat hilal (Ramadhan), lalu aku kabarkan kepada Rasulullah SAW bahwa aku telah melihatnya. Maka beliau mulai puasa dan memerintahkan orang-orang untuk puasa. (HR Abu Daud dan disahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim)

وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى اَلنَّبِيِّ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ اَلْهِلَالَ, فَقَالَ, " أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ? " قَالَ: نَعَمْ. قَالَ, " أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اَللَّهِ? " قَالَ: نَعَمْ. قَالَ, " فَأَذِّنْ فِي اَلنَّاسِ يَا بِلَالُ أَنْ يَصُومُوا غَدًا" رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَوَرَجَّحَ النَّسَائِيُّ إِرْسَالَهُ

Dari Ibnu Abbas ra. bahwa seorang a’rabi datang kepada nabi SAW dan berkata, "Sungguh aku telah melihat hilal." Beliau bertanya, "Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?" "Ya," jawabnya. "Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?" "Ya," jawabnya. Beliau bersabda, "Umumkan kepada orang-orang, wahai Bilal agar mereka mulai puasa besok." (HR Khamsah dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaemah dan Ibnu Hibban, sedangkan An-Nasa’i mesharihkan keirsalannya)

وَعَنْ أَبِي عُمَيْرِ بْنِ أَنَسٍ, عَنْ عُمُومَةٍ لَهُ مِنَ اَلصَّحَابَةِ, أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا, فَشَهِدُوا أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ, فَأَمَرَهُمْ اَلنَّبِيُّ أَنْ يُفْطِرُوا, وَإِذَا أَصْبَحُوا يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْرَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ -وَهَذَا لَفْظُهُ- وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ

Bahwa serombongan orang datang dan bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka Rasulullah SAW memerintahkan untuk berbuka puasa hari itu. Dan besoknya beliau perintahkan untuk berangkat ke mushalla (untuk shalat ‘Ied). (HR Ahmad dan Abu Daud dengan isnad yang shahih)

Dari tiga dalil ini, umumnya para ulama mengatakan bahwa untuk hilal 1 Ramadhan, sudah cukup bila dilihat oleh satu orang saja. Sebaliknya, untuk hilal 1 Syawwal, minimal dibutuhkan 2 orang laki-laki muslim yang melihatnya.

Selain karena hadits di atas, juga perbedaan ini dipicu oleh hilal melihat 1 Syawwal itu merupakan pembatalan atas kewajiban. Sehingga dibutuhakan saksi minimal dua orang.

Semua penjelasan itu bisa kita lihat di beberapa literatur fiqih, antara lain kitab Al-Majmu’ Syarah al-Muhazab karya Al-Imam An-Nawawi, jilid 6 halaman 303 s/d 306. Juga dalam kitab Al-Mughni jilid 3 halaman 159.

Namun oleh kalangan ahli Zhahir, bahkan hilal 1 Syawwal pun bisa diterima bila dilihat hanya oleh satu orang saja. Bahkan meski dia seorang wanita. Lihat kitab Al-Muhalla jilid 6 halaman 325.

Ihktilaful Mathali’ dan Ta’addudul Mathali’

Ada perbedaan pendapat tentang ru‘yatul hilal, yaitu apakah bila ada satu orang di dunia ini yang melihat bulan, maka seluruh dunia wajib mengikutinya atau tidak? Atau hanya berlaku bagi negeri di mana dia tinggal? Dalam hal ini para ulama memang berbeda pendapat:

a. Pendapat pertama adalah pendapat jumhur ulama.

Mereka (jumhur) menetapkan bahwa bila ada satu orang saja yang melihat bulan, maka semua wilayah negeri Islam di dunia ini wajib mengikutinya. Hal ini berdasarkan prinsip wihdatul matholi‘, yaitu bahwa mathla‘ (tempat terbitnya bulan) itu merupakan satu kesatuan di seluruh dunia. Jadi bila ada satu tempat yang melihat bulan, maka seluruh dunia wajib mengikutinya. Pendapat ini didukung oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal.

b. Pendapat Kedua adalah pendapat Imam Syafi‘i ra.

Beliau berpendapat bahwa bila ada seorang melihat bulan, maka hukumnya hanya mengikat pada negeri yang dekat saja, sedangkan negeri yang jauh memeliki hukum sendiri. Ini didasarkan pada prinsip ihktilaful matholi‘ atau beragamnya tempat terbitnya bulan. Ukuran jauh dekatnya adalah 24 farsakh. Jarak 1 farsakh itu 3 mil.

Dengan hitungan meter, 1 farsakh adalah 5.544 meter. Jadi 24 farsakh sama dengan 5.544 x 24 = 133,057 km. Jadi hukumnya hanya mengikat pada wilayah sekitar jarak itu. Sedangkan di luar jarak tersebut, tidak terikat hukum ru‘yatul hilal. Untuk sekedar diketahui bahwa jarak ini berbeda dengan jarak bolehnya qashar shalat yaitu 16 farsakh. Dalam ukuran meter sama dengan 89 km. (lihat Dr. Wahbah Az-Zhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu jilid 1 halaman 142)

Dasar pendapat ini adalah hadits Kuraib dan hadits Umar, juga qiyas perbedaan waktu shalat pada tiap wilayah dan juga pendekatan logika.

Peran Pemerintah

Sebanarnya peran pemerintah di sini sangat strategis dan menentukan sekali. Sayangnya, kita tidak pernah tahu apakah pemerintah kita sekarang ini punya pemahaman syariah yang kental atau tidak.

Sebab dari pengalaman selama ini, nampak sekali pemerintah agak ‘ogah-ogahan’ menjalankan ru’yatul-hilal. Sebab sejak awal pemerintah sudah menetapkan jatuh lebaran sejak jauh-jauh hari menurut hisab. Kalau pun dilakukan ru’yatul hilal, ada kesan sekedar menggugurkan kewajiban saja. Paling tidak, itulah opini yang berkembang di sebagian kalangan.

Sementara, ada banyak ormas Islam bahkan ulama ahli rukyat yang jelas-jelas melihat hilal. Tapi sepertinya pemerintah tidak mau peduli dengan hasil rukyat mereka. Entah apa yang ada dipikiran para pemegang kekuasaan di negeri ini.

Maka wajar ketika sebagian orang, termasuk ulama rukyat dan juga ormas sudah jelas-jelas menyaksikan hilal Syawwal, mereka pun segera melaporkan kepada pemerintah. Sayangnya, seringkali laporan itu tidak mendapatkan tanggapan. Ada-ada saja alasannya, misalnya, laporannya lambat diterima ke pusat.

Padahal kalau memang itu hambatannya, di zaman nabi SAW pernah terjadi hal itu. Beliau SAW dan para shahabat sudah beranggapan hari itu masih Ramadhan, bahkan sedang puasa, tiba-tiba dapat kabar bahwa orang serombongan orang yang bersaksi dan menyatakan kemarin telah melihat hilal Ramadhan. Dan apa yang beliau lakukan? Ya, beliau langsung mengumumkan hari itu sudah lebaran, bahkan memerintahkan orang-orang berbuka dan meminta agar besoknya mereka shalat Ied Fithri secara qadha’.

Nah, adakah dalam sejarah pemerintahan di negeri ini pernah melakukan apa yang pernah dilakukan oleh nabi kita?

Seandainya menteri Agama tidak menutup diri atas masukan dari orang yang memberi kabar telah melihat hilal, tentu tidak perlu terjadi perbedaan jatuhnya hari raya.

Kalau perlu justru Departemen Agama memfasilitasi proses ru’yatul hilal dengan beragam metode media massa. Misalnya, dengan menempatkan kamera TV yang siaran langsung dari tempat-tempat ru’yatul hilal. Sehingga kalau ada satu orang di satu lokasi mengaku melihat hilal, langsung saja juru kamera mengarahkan kameranya ke arah yang ditunjuk. Dan semua orang satu negara ini akan melihat hilal juga. Apalagi kamera TV bisa melakukan zoom ini dengan kekuatan puluhan atau ratusan kali. Bahkan bisa menggunakan beragam filter yang pasti bisa mendukung terlihatnya hilal.

Nah, kalau sudah langsung direlai oleh semua stasiun TV secara live dari semua lokasi rukyatul-hilal, tidak ada lagi alasan untuk menolak kesaksian. Dan masalah sudah selesai dengan sendirinya.

Wallahu a’lam bishshawab, wassaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.