Batasan Waktu Safar

sigit1Assalaamu’alaikum wr. wb.

Ada 2 hal yang saya tanyakan Ustad :

  1. Apakah ada batasan waktu safar misalnya saja waktu pulang kampung kadang sampai 2 minggu apakah kita tetap disebut safar dan tetap bisa menjamak sholat kita, bahkan ada yang berpendapat kalau kita pergi ke suatu tempat terus kita mengontrak rumah dalam jangka waktu lama 1 tahun misalnya tetap dianggap safar.
  2. Besar mana pahalanya antara kita mengambil kemudahan waktu kita safardengan tetap menjalankan ibadah misalnya tidak berpuasa Romadhon pada waktu perjalanan kemudian mengodonyaatau tetap menjalankan ibadah puasa.

Demikian terima kasih atas pencerahannya.

Yoko

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Yoko yang dimuliakan Allah swt

Lamanya Waktu Dibolehkan Mengqashar Shalat

Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang yang melakukan perjalanan (safar) dalam rangka ketaatan kepada Allah swt, seperti : berdakwah, haji, umrah, jihad di jalan-Nya, menyambung tali silaturahim atau pun safar yang bersifat mubah, seperti : mencari rezeki, bisnis dan jarak yang ditempuhnya itu mencapai 4 burud yang setara dengan 83 km maka dibolehkan baginya untuk menjama’ (menggabungkan) dan mengqashar (meringkas) shalat-shalatnya selama safarnya itu.
Firman Allah swt :

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ

Artinya : “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu).” (QS. An Nisaa : 101)

Imam Malik didalam kitabnya “al Muwattho” meriwayatkan dari Salim bin Abdullah bahwa Abdullah bin Umar berkendara menuju Dzatin Nushub. Lalu ia mengqashar shalat dalam perjalanan tersebut.” Malik berkata, “Jarak Dzatin Nushub dan Madinah sekitar empat Burud.”

Hak menjama’ dan mengqashar shalat bagi seorang musafir itu selama orang itu tidak berniat menetap di tempat tujuannya itu walaupun hingga bertahun-tahun. Para ulama kemudian berbeda pendapat tentang hak menjama’ dan mengqashar itu bagi orang yang berniat menetap di tempat tujuannya itu :

Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa dibolehkan bagi seorang yang bersafar untuk terus mengqashar shalatnya selama dia tidak berniat untuk menetap di negeri itu selama 15 hari. Apabila dia berniat untuk menetap selama 15 hari atau lebih (di sana) maka diwajibkan baginya untuk menyempurnakan (tidak menjama’ dan tidak mengqashar) shalat-shalatnya.

Para ulama madzhab Syafi’i, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa jika seorang musafir berniat untuk menetap selama 4 hari atau lebih maka diwajibkan baginya untuk menyempurnakan shalat-shalatnya itu meskipun terjadi perbedaan diantara mereka tentang perhitungan hari masuk dan hari keluar (dari negeri itu)

Sebagian ulama dari ahli hadits dan para ulama kontemporer berpendapat dibolehkan bagi seorang musafir mengqashar shalat-shalatnya selama dia menetap di suatu negeri hingga bertahun-tahun selama dia tidak berniat menjadikan negeri itu adalah negeri tempat tinggalnya. Mereka membolehkan—misalnya—seorang mahasiswa untuk mengqashar shalat-shalatnya selama dia berada di negeri tempat belajarnya itu selama dia masih berniat untuk kembali ke negeri asalnya.

Sementara itu Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya selama dirinya tidak berniat menetap secara mutlak karena Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya menetap di Mekah kurang lebih 20 hari dan selama itu mereka mengqashar shalat. Mereka juga menetap di Mekah selama 10 hari dan selama itu mereka tidak berpuasa ramadhan.

Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa dia butuh menetap di sana lebih dari 4 hari. Anas berkata bahwa para sahabat menetap di Ram Harmuz selama 9 bulan dan selama itu mereka mengqasahar shalat, diriwayatkan oleh al Baihaqi dengan sanad hasan.

Dari keempat pendapat tersebut maka untuk kehati-hatian adalah berpegang dengan pendapat jumhur ulama, yaitu Syafi’i, Malik dan Ahmad yang menyatakan bahwa barangsiapa yang berniat tinggal (menetap) di suatu negeri lebih dari empat hari maka diwajibkan baginya untuk menyempurnakan shalat-shalatnya tanpa menjama’ dan mengqasharnya.

Dengan demikian jika anda melakukan bepergian ke tempat yang sudah mencapai jarak safar serta berniat untuk menetap di sana selam 2 pekan maka diwajibkan bagi anda untuk menyempurnakan shalat-shalat anda.

Demikian pula bagi seorang yang mengontrak rumah di daerah yang sudah mencapai jarak safar dari daerah asalnya dengan niat menetap di sana hinga satu tahun maka diwajibkan baginya untuk menyempurnakan shalat-shalatnya kecuali jika orang itu mengontrak rumah di daerah itu karena ada satu keperluan yang dia tidak bisa memprediksikan berapa lama keperluannya itu selesai, hari-harinya selama itu adalah berusaha menyelesaikan atau menunggu urusannya itu selesai dan ternyata keperluannya itu baru selesai setelah dia tinggal di kontrakannya itu selama setahun maka selama itu pula—sejak dirinya tinggal di kontrakannya hingga selesai urusannya—diperbolehkan baginya menjama’ dan mengqasahar shalatnya, demikian menurut pendapat jumhur ulama.

Berbuka Puasa atau Meneruskannya di Saat Safar

Jumhur ulama sahabat, salaf dan imam yang empat membolehkan berpuasa disaat seseorang melakukan perjalanan (safar) dan menyatakan bahwa puasanya itu sah. Namun mereka berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama, berpuasa ataukah berbuka ataukah kedua-duanya sama ?

Para ulama Hanafi, Maliki dan Syafi’i dan ini juga satu pendapat dari Hambali bahwa puasa lebih utama jika puasanya itu tidak menjadikannya mengalami kepayahan. Bahkan para ulama Hanafi dan Syafi’i menegaskan bahwa hal itu sunnah.

Al Ghazali mengatakan bahwa puasa lebih dicintai daripada berbuka disaat safar karena itu adalah menunaikan kewajiban kecuali apabila didalamnya terdapat kemudharatan baginya.

Mereka berdalil dengan firman Allah swt :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ .. ﴿١٨٣﴾

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” (QS. Al Baqoroh : 183)

Ayat-ayat tersebut (2 : 183 – 185) menunjukkan bahwa puasa adalah azimah (keharusan) sedangkan berbuka adalah rukhshah (keringanan) dan tidaklah diragukan bahwa azimah lebih utama, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Rusyd,”Selama ia adalah rukhshah maka meninggalkannya adalah lebih utama.” Juga hadits Abu Darda’ yang menyebutkan bahwa Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadlan saat terik matahari…… Di antara kami tidak ada yang berpuasa kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abdullah bin Rawahah.”

Sementara itu madzhab Hambali berpendapat bahwa berbuka disaat safar lebih utama, bahkan al Kharaqi mengatakan,”Seorang musafir diaanjurkan untuk berbuka.” Al Mardawi mengatakan bahwa inilah pendapat madzhab (Hambali)

Didalam kitab “Al Iqna” disebutkan bahwa seorang musafir yang melakukan safar mencapai jarak dibolehkannya mengqashar (shalat) disunnahkan baginya berbuka dan dimakruhkan baginya berpuasa selama dirinya tidak mendapatkan kepayahan, demikianlah pendapat para ulama (madzhab Hambali). Terdapat pula nash darinya yang menyebutkan bahwa sama apakah terdapat kepayahan atau tidak, inilah madzhab Ibnu Umar dan Ibnu Abbas serta Said, asy Sya’bi dan al Auza’i.

Mereka berdalil dengan hadits Jabir,”Bukanlah bagian dari kabajikan berpuasa disaat safar.” Terdapat tambahan didalam riwayat,”Hendaklah kalian mengambil keringanan yang Allah berikan kepada kalian, terimalah keringanan tersebut.”

Imam Nawawi dan al Kamal bin al Hammam berkata bahwa hadits-hadits yang menunjukkan tentang keutamaan berbuka diperuntukan bagi orang yang mengalami kemudharatan dengan berpuasa, dan di sebagian (riwaat) lainnya terdapat kejelasan hal itu oleh karena itu mesti ditakwil dengan menggabungkan hadits-hadits dan hal ini lebih utama daripada mengabaikan sebagiannya atau menganggapnya dimansukh tanpa adanya dalil yang qoth’i.

Sedangkan mereka yang menyamakan diantara puasa dan berbuka berdalil dengan hadits Aisyah bahwa Hamzah bin ‘Amru Al Aslamiy berkata, kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apakah aku boleh berpuasa saat bepergian? Dia adalah orang yang banyak berpuasa. Maka Beliau menjawab: “Jika kamu mau berpuasalah dan jika kamu mau berbukalah”. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 9948 – 9949)

Dengan demikian yang paling utama—insya Allah juga yang paling besar pahalanya—bagi seorang yang melakukan perjalanan (safar) adalah berpuasa jika dirinya memiliki kesanggupan serta tidak merasakan adanya kemudharatan atau kepayahan didalam berpuasanya itu kecuali jika dirinya mengalami kepayahan maka hendaklah dia berbuka.

اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqoroh : 185)

Artinya : “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj : 78)

Wallahu A’lam