Aqiqah untuk Anak atau Saya

Assalamualaikaum Wr.Wb Pak Ustadz.

Saya mau bertanya, istri Saya sedang hamil dan insya allah sebentar lagi kalau memang diizinkan oleh Allah  SWT akan melahirkan. Yang Saya tahu apabila anak telah lahir dianjurkan untuk diaqiqahkan. Kata orang tua Saya, Saya belum diaqiqahkan sampai sekarang. Yang mana yang lebih dahulu diaqiqahkan, anak Saya atau Saya atau kedua-duanya berhubung keuangan saya tidak mencukupi.

Terima kasih Pak Ustadz atas jawabannya.

Wa’alaikumussalam Wr Wb

Hukum pelaksanaan aqiqah ini adalah sunnah muakkadah, sebagaimana diriwayatkan dari Samurah bahwa Nabi saw bersabda,”Setiap anak yang dilahirkan itu terpelihara dengan aqiqahnya dan disembelihkan hewan untuknya pada hari ketujuh, dicukur dan diberikan nama untuknya.” (HR. Imam yang lima, Ahmad dan Ashabush Sunan dan dishohihkan oleh Tirmidzi)

Al Hafizh menyebutkan bahwa para ulama telah berbeda pendapat dalam makna ”Setiap anak yang dilahirkan itu terpelihara dengan aqiqahnya” al Khottobi berkata,”Orang-orang telah berbeda pendapat dalam hal ini namun pendapat yang diberikan Ahmad bin Hambal adalah yang paling tepat, dia mengatakan,’Ini dalam hal syafaat.’

Maksudnya bahwa apabila seseorang tidak diaqiqahkan dan anak itu meninggal masih dalam masa anak-anak maka dia tidak akan memberikan syafaat kepada kedua orang tuanya.’Ada juga yang mengatakan,’maksudnya adalah bahwa aqiqah adalah suatu keharusan. Hal itu ditunjukkan dengan mengibaratkan seorang bayi yang harus diaqiqahkan dengan barang gadaian yang berada ditangan orang yang memegang barang gadain itu. Makna ini memperkuat pendapat orang yang mengatakan bahwa aqiqah adalah wajib. (Fathul Bari juz IX hal 698)

Waktu pelaksanaan aqiqah ini adalah pada hari ketujuh dari hari kelahirannya namun jika ia tidak memiliki kesanggupan untuk menagqiqahkannya pada hari itu maka ia diperbolehkan mengaqiqahkannya pada hari keempat belas, dua puluh satu atau pada saat kapan pun ia memiliki kelapangan rezeki untuk itu, sebagaimana makna dari pendapat para ulama madzhab Syafi’i dan Hambali bahwa sembelihan untuk aqiqah bisa dilakukan sebelum atau setelah hari ketujuh.

Adapun yang bertanggung jawab melakukan aqiqah ini adalah ayah dari bayi yang terlahir namun para ulama berbeda pendapat apabila yang melakukannya adalah selain ayahnya :

1. Para ulama Syafi’i berpendapat bahwa sunnah ini dibebankan kepada orang yang menanggung nafkahnya.

2. Para ulama Hambali dan Maliki berpendapat bahwa tidak diperkenankan seseorang mengaqiqahkan kecuali ayahnya dan tidak dieperbolehkan seorang yang dilahirkan mengaqiqahkan dirinya sendiri walaupun dia sudah besar dikarenakan menurut syariat bahwa aqiqah ini adalah kewajiban ayah dan tidak bisa dilakukan oleh selainnya.

3. Sekelompok ulama Hambali berpendapat bahwa seseorang diperbolehkan mengaqiqahkan dirinya sendiri sebagai suatu yang disunnahkan. Aqiqah tidak mesti dilakukan saat masih kecil dan seorang ayah boleh mengaqiqahkan anak yang terlahir walaupun anak itu sudah baligh karena tidak ada batas waktu maksimalnya. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IV hal 2748)

Dari pendapat para ulama diatas maka mengaqiqahkan anaknya yang baru dilahirkan lebih diutamakan daripada mengaqiqahkan dirinya sendiri. Hal itu dikarenakan :

1. Tanggung jawab pelaksanaan aqiqah sebenarnya dibebankan kepada ayah dari anak yang baru dilahirkan dan tidak dibebankan kepada anak itu sendiri.

2. Aqiqah merupakan hak seorang anak terhadap ayahnya.

3. Disunnahkan bagi seorang ayah mengaqiqahkan anaknya merupakan kesepakatan para ulama sedangkan seorang anak yang mengaqiqahkan dirinya sendiri masih menjadi permasalahan yang diperselisihkan. Dalam hal ini berpegang dengan sesuatu yang sudah diyakini lebih diutamakan daripada sesuatu yang masih diragukan.

4. Apabila setelah dia melakukan aqiqah terhadap anaknya kemudian dia mengaqiqahkan dirinya sendiri yang pada asalnya adalah tanggung jawab ayahnya maka hal ini bisa dianggap sebagai kerja sama dalam hal takwa dan kebajikan .

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى

Artinya : “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al Maidah : 2)

Wallahu A’lam