Pengobatan dengan Air Kencing

Assalamualaikum wr wb

ustad, saya pernah mendengar dan membaca tentang pengobatan dengan menggunakan air seni/kencing, yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, mulai jerawatan sampai dengan kanker. Metode pengobatannya dari mulai diminum atau untuk sekedar dibilas/mandi dengan menggunakan air seni tersebut. Bagaimana dalam pandangan Islam pengobatan dengan cara ini?

Terima kasih sebelumnya.

NB. saya pernah mengirimkan pertanyaan lain sebelumnya, kenapa belum dibalas ya? lewat manakah akan dibalasnya (email / langsung dirubrik ini) ?

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Dita yang dirahmati Allah swt
Saya mohon maaf apabila pertanyaan anda yang sebelumnya belum terjawab—tanpa bermaksud mengabaikan apalagi meremehkannya—hal itu dikarenakan keterbatasan waktu untuk penayangan jawaban setiap harinya dibandingkan dengan pertanyaan yang masuk dari para pembaca rubrik ini.

Namun demikian—insya Allah—saya akan senantiasa berusaha sesuai dengan kemampuan saya untuk menjawab setiap pertanyaan yang masuk. Untuk itu saya ucapkan jazakumulloh khoiron kepada para pembaca dan juga yang telah mengirimkan berbagai pertanyaannya.

Saya juga mengharapkan kesabaran dari kawan-kawan yang telah mengirimkan pertanyaan dalam menanti jawabannya dan saya mohon doanya agar Allah senantiasa mencurahkan ilmu-Nya kepada saya dalam menjawabnya serta menjadikannya bermanfaat buat seluruh pembaca dan kaum muslimin.

Baiklah… kita kembali kepada pertanyaan yang diajukan oleh saudara kita, Dita, tentang pengobatan dengan air kencing manusia.

Memang di beberapa tempat di dunia ini dijumpai adanya kebiasaan dari masyarakat setempat yang memanfaatkan air kencing manusia untuk pengobatan terhadap suatu penyakit. Di India misalnya urine telah dianggap sebagai obat universal selama lebih dari 5.000 tahun. Di Eropa yang lebih dikenal dengan istilah ‘terapi urine‘.

Gennady Malakhov, terkenal sebagai penganut terapi urine di Rusia, mengatakan bahwa kita harus menggunakan sejumlah air seni hampir setiap hari yang baik untuk pemulihan kesehatan. Dia menawarkan untuk minum air kencing dan menggunakannya untuk rubdowns dan enemas. Para pengguna terapi ini, mengatakan bahwa hal ini dapat menjadi obat mujarab dalam perawatan usus, ginjal dan penyakit hati.

Sains modern tidak memiliki fakta untuk membuktikan efek positif dari terapi urine. Beberapa orang berkata bahwa penyembuhan dapat dicapai sebagai akibat dari efek placebo. Lain menggambarkan urine terapi sebagai contoh dari terapi hormon. Satu hal yang dikenal pasti: jika ada infeksi di urine, bisa mendapatkan satu penyakit lain ketika mereka menggunakan air kencing medis di tujuan.

Ada banyak kejadian, terinfeksi dengan gonococcal conjunctivitis setelah air seni mereka digunakan untuk mencuci mata mereka. Dahulu kala, orang menggunakan air seni untuk luka bakar. However, hal ini tidak dapat dibenarkan. (taradigadingdangdong.wordpress.com)

Adapun dari tinjauan syari’ah para ulama telah bersepakat bahwa muntah, air kencing dan kotoran manusia adalah najis kecuali jika muntah itu hanya sedikit maka dimaafkan atau air kencing bayi laki-laki yang hanya meminum air susu sehingga cara membersihkannya hanya dengan memercikkannya air keatasnya.

Dengan demikian air kencing manusia tidak boleh digunakan untuk pengobatan suatu penyakit baik dengan cara diminum atau dioleskan kecuali pernyataan dokter muslim yang bisa dipercaya atau ketika tidak ada lagi obat yang suci yang bisa dipakai untuk mengobati penyakit tersebut, sebagaimana disebutkan oleh al ‘Izz Abdus Salam,”Diperbolehkan pengobatan dengan menggunakan sesuatu yang najis apabila tidak ada lagi obat yang suci untuk mengobatinya. Hal itu dikarenakan kemaslahatan kesehatan dan keselamatan lebih diutamakan daripada kemaslahatan menjauhi sesuatu yang diharamkan.” (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IV hal 2610)

Para ulama mengatakan bahwa—pengobatan dengan sesuatu yang najis—tidak diperbolehkan kecuali darurat (terpaksa). Adapun ketika dalam keadaan banyak pilihan, banyak tersedia obat yang halal maka hal itu tidaklah dibolehkan. (Fatawa al Azhar juz X hal 109)

Wallahu A’lam