Ikhtilath dan Hijab Syar'i

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Ustadz yang dirahmati Allah, saya ingin bertanya tentang apa yang dimaksud dengan ikhtilath dan hijab syar’i?

Lalu bila kami mengadakan ta’lim yang diikuti muslimin dan muslimah apa harus dibatasi dengan kain?

Apakah boleh bila dibatasi dengan pembatas yang ada celah-celahnya?

 JazakAllah Ustadz, atas jawabannya

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Waalaikumussalam Wr Wb

Perihal ikhtilath atau percampuran antara kaum pria dan wanita didalam suatu kesempatan seringkali kita dapati di masyarakat dan berbagai pendapat pun bermunculan didalam permasalahan ini dari yang sama sekali tidak memperbolehkannya secara mutlak hingga yang membolehkannya juga secara mutlak.

Syeikh Yusuf al Qaradhawi mengatakan bahwa pada zaman Rasulullah saw dan para Khulafaur Rasyidin tampak kaum wanita melakukan sholat berjama’ah dan jum’at di Masjid Rasul saw. Beliau saw juga menganjurkan mereka agar mencari shaff di bagian akhir di belakang kaum pria. Setiap shaff yang lebih dekat dengan bagian terakhir adalah lebih utama dikarenakan khawatir akan tampak aurat kaum pria terlebih lagi kebanyakan mereka tidak menggunakan celana panjang.. dan tidak ada pembatas antara kaum pria dan wanita baik pembatas yang terbuat dari kayu, kain atau yang lainnya.

Pada awalnya kaum pria dan wanita masuk dari pintu mana saja yang disepakati bagi mereka sehingga tampak padat saat memasuki dan keluar dari masjid. Rasulullah saw bersabda,”Seandainya saja kalian menjadikan satu pintu bagi kaum wanita.” Kemudian mereka pun mengkhususkan satu pintu bagi kaum wanita setelah itu yang saat ini dikenal dengan nama “Pintu Wanita”

Kaum wanita pada masa Nabi saw juga menghadiri sholat jum’at, mendengarkan khutbah sehingga salah satu dari mereka berhasil menghafalkan surat Qaff dari lisan Rasulullah saw dikarenakan sering mendengarnya dari atas mimbar jum’at.

Kaum wanita juga menghadiri sholat dua hari raya, pertemuan-pertemuan besar islami yang mengumpulkan orang-orang dewasa dan anak-anak, kaum pria dan wanita di suatu tanah lapang sambil bertahlil dan bertakbir. Diriwayatkan oleh Muslim dari Ummu ‘Athiyah berkata,”Kami diperintahkan untuk keluar pada waktu dua hari raya, dengan menutup aurat dan juga para perawannya.”..

Dahulu kaum wanitanya juga menghadiri berbagai pengajaran bersama dengan kaum pria. Mereka bertanya tentang berbagai permasalahan agama yang sering dirasakan malu oleh kebanyakan wanita pada hari ini sehingga Aisyah pernah memuji para wanita Anshor bahwa mereka tidak dihalangi oleh rasa malu untuk mengetahui perihal agama mereka, seperti tentang junub, bermimpi, mandi, haidh, istihadhoh dan lain-lain.

Mereka merasa belum cukup mendapatkan pengajaran bersama kaum laki-laki dalam berdialog dengan Rasulullah saw, untuk itu mereka meminta agar beliau menyediakan waktu (hari) khsusus bagi mereka yang tidak didominasi dan bersama-sama kaum pria. Mereka mengatakan secara terang-terangan,”Wahai Rasulullah kami telah dikalahkan oleh kaum laki-laki saat bersamamu maka jadikanlah bagi kami satu hari dari dirimu.” (HR. Bukhori)

Kaum wanita pernah ikut serta dalam peperangan membantu para tentara dan mujahidin dalam hal-hal yang mereka sanggupi dan pada posisi yang tetap baik bagi mereka, seperti memberikan perawatan, pengobatan, menjaga mereka yang terluka disamping bantuan-bantuan lainnya seperti menyediakan konsumsi dan berbagai peralatan yang dibutuhkan oleh para mujahidin.

Dari Ummu ‘Athiyah berkata,”Aku pernah berperang bersama Rasulullah saw sebanyak tujuh kali peperangan. Aku berada di bagian belakang saat berjalan, aku mempersiapkan makanan bagi mereka, mengobati yang terluka dan membantu yang sakit.” (HR. Muslim)

Bahkan pernah para wanita (sahabat) ikut serta didalam berbagai peperangan dan pertempuran islam dengan membawa senjata saat ada kesempatan bagi mereka. Seperti apa yang dilakukan ‘Amaroh Nusaibah binti Ka’ab pada peperangan Uhud sehingga Rasulullah saw mengatakan tentangnya,”Posisinya lebih baik dari posisi fulan dan fulan.” Demikian juga apa yang dilakukan Ummu Sulaim yang memegang sebilah pisau yang akan ditusukan terhadap musuh manakala ia mencoba mendekatinya pada saat perang Hunain.

Kaum wanita pun berpartisipasi didalam kehidupan sosial sebagai seorang da’i yang mengajak kepada kebaikan, menyeru yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, sebagaimana firman Allah swt :

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ

 
Artinya : “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.” (QS. At Taubah : 71)

Ada suatu peristiwa yang sudah masyhur saat seorang wanita muslimah menentang Umar di masjid tentang permasalahan mahar sehingga beliau ra mengambil pendapat wanita tersebut dengan mengatakan,”Wanita ini benar dan Umar salah.” Dan peristiwa ini disebutkan Ibnu Katsir dalam tafsir surat An Nisaa serta mengatakan bahwa sanadnya baik. Umar juga pernah menunjuk Syifa binti Abdullah al Adawiyah sebagai bendahara pasar.

Jadi pertemuan antara kaum pria dan wanita tidaklah diharamkan bahkan dibolehkan dan menjadi tuntutan selama untuk tujuan yang mulia, berupa mencari ilmu yang bermanfaat, amal sholeh, proyek kebaikan, jihad yang wajib atau yang lainnya selama didalam hal itu membutuhkan kerjasama diantara dua jenis tersebut didalam perencanaan, pengarahan dan pengimplementasian.

Namun bukan berarti bahwa hal itu melenyapkan batasan-batasan diantara kedua jenis tersebut serta melupakan rambu-rambu syari’ah pada setiap pertemuan diantara mereka… Diantara rambu-rambunya adalah :

1. Berkomitmen untuk senantiasa menjaga pandangan dari kedua belah pihak. Tidak melihat aurat, tidak memandangnya dengan syahwat, tidak melamakan pandangan tanpa suatu keperluan, firman Allah swt :

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya.” (QS. An Nuur : 30 – 31)

2. Para wanitanya berkomitmen dengan pakaian yang sesuai syari’ah (hijab syar’i) serta menjaga malu. Pakaian yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan, tidak transparan dan tidak ketat..

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

Artinya : “Dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya.” (QS. An Nuur : 31)

3. Komitmen dengan adab-adab islam khususnya dalam bermuamalah dengan kaum pria :
a. Dalam berbicara hendaknya menghindari perkataan-perkataan yang mengarah kepada godaan atau rangsangan, firman Allah swt :

فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا

Artinya : “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah Perkataan yang baik.” (QS. Al Ahzab : 32)

b. Dalam berjalan, sebagaimana firman Allah swt :

وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ

Artinya : “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS. An Nuur : 24)

فَجَاءتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاء

 
Artinya : “kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan.” (QS. Al Qoshosh : 25)

c. Dalam bergerak; tidak berlenggak-lenggok seperti wanita-wanita yang disebutkan didalam hadits,”Wanita-wanita yang berlenggak-lenggok kesana kemari.” Serta menghindari dari berhias seperti hiasan wanita-wanita jahiliyah pertama atau pun terakhir.

4. Menghindari segala sesuatu yang dapat menggoda atau merangsang seperti minyak wangi, warna-warna perhiasan yang seharusnya digunakan di rumahnya bukan di jalan atau di tempat pertemuan dengan kaum pria.

5. Berhati-hati untuk tidak terjadi kholwat (berdua-duaan) antara pria dan wanita yang tidak ada mahramnya, sebagaimana larangan didalam hadits-hadits tentang itu, seperti : “Sesungguhnya yang ketiganya adalah setan.” Jadi tidak boleh adanya kholwat diantara ‘api’ dan ‘kayu bakar’ Terlebih lagi apabila kholwat terjadi dengan kaum kerabat daru suami.

6. Hendaklah pertemuan tersebut untuk sesuatu keperluan yang mengharuskan adanya kerja sama (diantara kaum pria dan wanita) tanpa berlebih-lebihan atau terlalu melapangkan wanita keluar dari fitrah kewanitaannya, menjadikannya sebagai bahan pembicaraan orang, menghambatnya dari kewajibannya yang mulia berupa mengurus rumah tangga dan mendidik generasi (anak-anak). (www.qaradawi.net)

Adapun tentang pembatas yang membatasi antara kaum pria dan wanita dengan menggunakan kain, kayu dan lainnya bukanlah menjadi suatu kewajiban. Yang demikian dikarenakan bahwa pada masa Rasulullah saw dan para sahabat tidak ditemukan hal seperti itu. Akan tetapi mereka tetap bisa menjaga diri untuk tidak terjadi kholwat antara orang yang menyampaikan pengajaran dengan kaum wanita yang mendengarkannya.
Akan tetapi apabila dikhawatirkan terjadi fitnah antara para peserta pria dan wanita didalam pertemuan-pertemuan besar seperti pernikahan, tabligh bulanan, rapat umum di tempat yang luas atau yang lainnya dan juga apabila kaum wanitanya ditempatkan bersebelahan dengan tempat duduk khusus kaum prianya maka menggunakan pembatas diantara mereka adalah lebih baik dan lebih utama.

Wallahu A’lam