Berjima' Ketika Haid

 Kafarat berhubungan dengan istri ketika haid

Assalamu alaikum, saya ingin menanyakan kafarat (sanksi) yang harus saya lakukan karena telah melakukan dosa besar itu, kami sudah berazam untuk bertobat tetapi saya baca di beberapa buku fikih saya harus membayar kafarat 1 dinar (apabila darah haidh merah) atau 1/2 dinar (apabila darah haidh sudah kuning (akhir haidh)).
Di referensi lain (buku fikih sunah) dijelaskan bahwa dalil yang terkuat adalah dengan bertobat dan tidak perlu membayar kafarat sejumlah dinar tersebut. mana diantara dua referensi ini yang benar terhadap kafarat yang harus saya terima?
kondisi keuangan saya tidak mencukupi untuk membayar kafarat (walau 1/2 dinarpun) apakah bisa diganti kafaratnya dengan puasa?

Terima kasih ustadz atas perhatiannya

Waalaikumussalam Wr Wb

Para ulama telah bersepakat bahwa menggauli istri saat dia sedang dalam keadaan haidh adalah haram, sebagaimana firman Allah swt :

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqoroh : 222)

Telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang seorang yang menggauli istrinya dalam kedaan haidh :

1. Para ulama Maliki, Syafi’i, Abu Hanifah berpendapat wajib baginya beristighfar (memohon ampunan kepada Allah swt) dan tidak ada kewajiban baginya kafarat, demikian pula pendapat Rabi’ah, Yahya bin Said dan juga Daud.

2. Diriwayatkan dari Muhammad bin al Hasan adalah wajib baginya bersedekah dengan setengah dinar., Ahmad mengatakan bahwa alangkah baiknya hadits Abdul Hamid dari Muqsim dari Ibnu Abbas dari Nabi saw,”Bersedekah dengan satu dinar atau setengah dinar.” (HR. Abu Daud). Dia berkata,”Demikianlah riwayat yang shahih.” Dia mengatakan,”Dinar atau setengah dinar.” Dan disukai oleh Ath Thabari. Dan jika orang itu tidak melakukannya maka tidaklah mengapa.

3. Sekelompok Ahli hadits mengatakan jika dia menyetubuhinya pada saat darah masih keluar maka diwajibkan atasnya satu dinar dan jika dia menyetubuhinya setelah darah itu berhenti maka wajib atasnya setengah dinar.

4. Al Auza’i mengatakan bahwa barangsiapa yang menyetubuhi istrinya dalam keadaan haidh maka hendaklah dia bersedekah dengan 2/5 dinar. Seluruh jalan hadits ini ada di “Sunan Abu Daud dan ad Daru Quthni” dan selainnya.

5. Didalam kitab at Tirmidzi dari Ibnu Abbas dari Nabi saw bersabda,”Apabila darah masih memerah maka (atasnya) satu dinar dan jika darah berwarna kuning maka (atasnya) setengah dinar. (Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an jilid II hal 78 – 79)

Pada asalnya dibolehkan bagi seorang yang menggauli istrinya dalam keadaan haidh mencukupkan dirinya dengan bertaubat dan beristighfar kepada Allah swt tanpa mengeluarkan sedekah sebagai kafaratnya, sebagaimana pendapat sebagian ulama diatas.

Namun jika kita ingin keluar dari perbedaan para ulama diatas maka hendaklah dia bertekad didalam dirinya untuk berupaya mengeluarkan sedekahnya dengan satu atau setengah dinar sebagai kafaratnya meski baru ia akan keluarkan sedekah itu pada masa-masa yang akan datang saat Allah swt memberikan kepadanya kelapangan rezeki dan kesanggupan untuk membayarkannya. (1 dinar kurang lebih sebanding dengan 4 ¼ gr emas)

Adapun menggantinya dengan berpuasa maka tidak ditemukan satu riwayat—wallahu a’lam—yang menceritakan hal itu dengan demikian cukuplah kita berpegang dengan nash-nash yang sudah diriwayatkan dari Rasulullah saw.

Wallahu A’lam