Taat kepada Sistem (Manhaj) atau Pemimpin

assalamu’alaikum wr. wb.

Ykh, Ustadz,  bagaimana sikap kita sebagai seorang muslim dalam kepemimpinan yang sudah ada dan tampak penyimpangan? Misalnya sudah mengabaikan rambu halal haram, subhat, kepatutan atau maksiat.

Bagaimana jika sistemnya diyakini cocok dengan Al Qur’an dan sunnah, tetapi diterapkan dalam kepemimpinan yg menabrak rambu-rambu syariah.

Mohon penjelasannya, jazakumullah ya ustadz.

A Haris

Waalaikumussalam Wr. Wb.

Makna Taat
Taat menurut Imam Hasan Al Banna adalah menunaikan dan melaksanakan perintah dengan serta merta baik dalam keadaan sulit maupun senang, semangat maupun terpaksa.” (Majmu’atur Rosail hal 274)

Beberapa dalil dari Al Qur’an dan Sunnah :

1. Firman Allah swt,”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisaa : 59)

2. Sabda Rasulullah saw,”Kami dahulu tatkala membaiat Rasulullah saw untuk mendengar dan taat beliau saw bersabda,’sesuai kesanggupan kalian.” (HR. Bukhori Muslim)

3. Sabda Rasulullah saw,”Akan datang kepada kalian para pemimpin yang mengakhirkan sholat dari waktunya, melakukan berbagai bid’ah.” Ibnu Masud berkata,’Apa yang harus aku lakukan?’ Beliau saw menjawab, ‘Engkau bertanya kepadaku wahai Ibnu Ummi ‘Abd apa yang kamu lakukan? Tidak ada taat terhadap orang yang bermaksiat kepada Allah.’ (HR. Ibnu Majah)

Said Hawwa dalam menjelaskan Rukun Taat menyebutkan bahwa ketaatan yang sempurna tidak dapat terwujud tanpa ilmu dan tsiqoh. (membina angkatan mujahid hal172)

Ilmu Landasan Taat yang Pertama

Ilmu adalah pondasi yang diatasnya dibangun suatu ketaatan. Karena sesuatu yang dibangun diataas kebodohan maka mafsadah (kerusakan) yang ditimbulkan akan jauh lebih besar daripada manfaatnya. Islam adalah agama ilmu yang menjadikannya sebagai jalan menuju keimanan dan amal. Dikarenakan ilmu ini pula Adam as dijadikan kholifah di bumi ini.

Islam melarang setiap umatnya untuk bersifat taqlid atau mengikuti tidak atas dasar ilmu, sebaimana firman-Nya,”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isro’ : 36)

Sayyid Qutb dalam menafsirkan ayat ini mengatakan,”Kalimat singkat ini menegakkan manhaj yang utuh bagi hati dan akal, ia mencakup metode ilmiah yang dikenal oleh manusia baru-baru ini. Ditambahkan pula didalamnya terdapat keteguhan hati dan perasaan diawasi oleh Allah swt.

Karakteristik islam tegak diatas manhaj-manhaj ilmu yang dalam, memperjelas segala kebaikan, segala yang lahiriyah dan segala gerakan sebelum menghukum atasnya adalah seruan Al Qur’an Al Karim. Dan setiap kali hati dan akal itu tegak diatas manhaj ini maka tidak ada ruang untuk keraguan dan khurafat dalam alam aqidah, tidak ada ruang bagi perasangka dan syubhat dalam alam hukum, peradilan dan pergaulan, tidak ada ruang bagi hukum-hukum dangkal dan khayalan dalam alam riset, penelitian dan pengetahuan.” Beliau melanjutkan,’Sesungguhnya itu adalah amanah anggota tubuh, panca indera, akal dan hati. Amanah yang akan ditanyakan kepada pemiliknya, ia akan ditanya tentang anggota tubuh, panca indera, akal dan hatinya secara keseluruhan.” (Fii Zhilalil Qur’an juz IV hal 2224)

Seorang makmum didalam sholat yang mengetahui tentang rukun dan sunnah sholat maka ia wajib mengingatkan sang imam ketika melakukan suatu kesalahan, namun sebaliknya ketika makmum itu tidak mengetahuinya maka kemungkinan besar ia akan menuruti sang imam walaupun sudah kelebihan rakaat atau ada satu rukunnya yang ditinggalkan. Musibah lainnya adalah ketika makmum mengetahui kekeliruan sang imam namun ia tidak berani atau sungkan untuk mengingatkannya dikarenakan tidak enak, ewuh pakewuh atau menganggap imamnya sudah berpengalaman maka akibatnya seluruh jamaah sholat menjadi salah.

Ketaatan kepada pemimpin harus disesuaikan dengan kapasitas ilmunya, semakin tinggi kapasitas ilmunya maka harus semakin memberikan ketaatan secara penuh kepada pemimpin tetapi juga pada saat yang bersamaan ia juga yang paling bertanggung jawab untuk melakukan pemberitahuan dan perbaikan terhadap kekeliruan pemimpin ketimbang orang yang masih rendah keilmuannya. Seperti para makmum yang berada persis dibelakang imam atau di shaf pertama maka ia lebih bertanggung jawab untuk memberitahu kesalahan imam ketimbang para makmun yang ada dibarisan kedua, ketiga dan seterusnya.

Tsiqoh Landasan Taat yang Kedua

Imam Al Banna mendefinisikan tsiqoh dengan kepuasan (ithmi’nan) seorang pengikut kepada pemimpinnya dalam hal kapasitas dan keikhlasannya dengan kepuasan yang mendalam yang bisa melahirkan kecintaan, penghargaan, penghormatan dan ketaatan.

Firman Allah swt,”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa : 65)

Pemimpin adalah bagian dari da’wah, tidak ada da’wah tanpa kepemimpinan. Kadar kepercayaan yang muncul secara timbal-balik antara pemimpin dan pengikut adalah penentu kekuatan sistem jama’ah, ketahanan khitthohnya, keberhasilannya dalam mencapai tujuannya dan dalam menghalau berbagai halangan dan kesulitan, firman-Nya,”Maka lebih utama bagi mereka, ketaatan dan perkataan yang baik.” –(Majmu’atur Rosail hal 276)

Tsiqoh bukan hanya kewajiban yang harus diberikan oleh para pengikut saja tetapi haruslah juga ditunjukkan oleh sang pemimpin. Bagaimana seorang pemimpin juga harus menunjukkan kepada para pengikutnya bahwa ia telah menunaikan berbagai kewajibannya terhadap mereka didalam memerankan empat fungsinya, yaitu sebagai ayah, guru, syeikh, pemimpin politik dan militer. Ketika keempat sifat itu tidak terdapat didalam diri pemimpin maka akan mengakibatkan berkurangnya kadar ketsiqohan para junud dan semakin rapuhnya kekuatan sistem jama’ah.

Sang pemimpin juga dituntut bisa menunjukkan bahwa dirinya memang berhak untuk mendapatkan ketsiqohan dari para pengikutnya didalam prilaku kehidupannya sehari-hari. Perlunya pembuktian ini jangan diartikan bahwa para pengikut sudah tidak mempercayai pemimpinnya berada diatas kebenaran tetapi dalam rangka memunculkan ketenangan dan kepuasan (ithmi’nan) dalam diri mereka yang menjadi dasar dari ketsiqohan tersebut, sebagaimana firman-Nya,”Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).” (QS. Al Baqoroh : 260)

Manhaj Da’wah

Firman Allah swt,” Untuk tiap-tiap umat diantara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS Al Maidah : 48).

Asy Syir’ah dan asy Syariah pada dasarnya adalah jalan yang terang yang mengantarkannya kepada air namun kemudian kata ini digunakan untuk arahan dari Allah kepada hamba-hamba-Nya berupa agama sedangkan minhaj adalah jalan yang terang dan jelas. Abul ‘Abbas Muhammad bin Yazid al Mubarrod mengatakan bahwa syariat adalah permulaan jalan sedangkan minhaj adalah jalan yang berkesinambungan.” (Fathul Qodir juz II hal 320, Maktabah Syamilah)

Manhaj adalah sarana yang sangat penting dan dibutuhkan suatu jama’ah dalam mencapai berbagai tujuannya. Sebagaimana pengertian manhaj adalah jalan yang terang dan jelas maka manhaj da’wah sudah seharusnya bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah karena tidak ada yang lebih terang dan jelas dalam memberikan arahan dalam kehidupan ini daripada Al Qur’an dan Sunnah, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Sungguh aku telah tinggalkan kalian diatas (jalan) yang jelas yang malamnya bagai siangnya. Tidaklah seorang yang menyimpang darinya kecuali ia akan celaka.” (HR. Ibnu Majah)

Tidak ada satupun permasalahan kecuali nash-nash yang ada dalam Al Qur’an dan Sunnah telah menjelaskannya baik dalam urusan aqidah, manhaj kehidupan, masalah ketatanegaraan, ekonomi, akhlak, sosial, politik, perundang-undangan dan lainnya. Ketika suatu jama’ah tidak bersandar kepada keduanya maka sudah dipastikan ia akan menyimpang dan tersesat.

Untuk itu manhaj suatu gerakan da’wah haruslah senantiasa menjadi pijakan dalam perjuangan mencapai tujuan. Ia haruslah ditaati oleh seluruh elemen gerakan tersebut dari mulai pemimpin hingga paa pengikutnya. Manhaj ini kemudian dituangkan dalam suatu aturan / sistem yang sering disebut dengan AD/ ART jama’ah.

Menghormati Peraturan (AD/ART) Jamaah

Satu dari sepuluh perkara yang tsawabit didalam jamaah adalah Menghormati Peraturan Jama’ah adalah Akhlak Kita.

Tsawabit adalah perkara-perkara yang senantiasa tidak berubah atau berganti sepanjang zaman dan perbedaan tempat. Ia merupakan prinsip-prinsip yang mengikat para anggotanya, membingkai prilaku dan perangai mereka, neraca akurat yang tidak ada kesalahan serta yang membedakan mereka dari orang diluar mereka. Untuk itu tsawabit tidaklah bisa ditawar-tawar atau ditinjau ulang…

Sedangkan mutaghoyyirot adalah perkara-perkara yang memungkinkan terjadinya perubahan, pergantian, penta’wilan dan pengembangan. Perubahan didalam hal ini tidaklah dianggap keluar dari pokoknya yang berkesinambungan serta berkarakter dan tidak juga keluar dari asasnya. Mutaghoyyirot merupakan perkara yang fleksibel karena perubahan zaman dan tempat membutuhkan fleksibiltas, penyesuaian dan respon dengan tetap menjaga yang tsawabit. (Manhaj al Imam al Banna, ats Tsawabit wal mutaghoyyirot, hal 3)

Jum’ah Amin Abdul Aziz menyebutkan didalam bukunya Manhaj al Imam al Banna, ats tsawabit wal mutaghoyyirot mengatakan,”Imam Hasan Al Banna menerapkan manhaj akidah, manhaj ibadah dan manhaj harokah untuk jama’ah demi menyatukan pemahaman, menata perjalanan maka jadilah menghormati aturan merupakan tsawabit didalam jama’ah.”

Ia juga menambahkan,”Maka barangsiapa yang ingin masuk pintu jama’ah dan menjadi seorang akh serta ikut serta didalam harokah maka ia harus menghormati peratuan dan tidak melanggarnya, ini sudah aksiomatis. Karena didalam kehidupan ilmiah kita walaupun seseorang hanya sebatas bergabung dengan suatu perkumpulan maka ia mesti tunduk kepada AD/ART nya dan jika tidak, maka ia akan terkena sangsi atau bahkan pemecatan. Demikian pula sekolah, universitas, pekerjaan di suatu yayasan atau perusahan.

Seorang pekerja perusahaan harus tunduk dengan segala aturan kerja dan mentaati direkturnya dalam setiap yang dibebankan kepadanya, bahkan apabila seorang anggota parpol berbicara sembarangan dan bertentangan dengan pemikiran, pandangan dan arahan-arahan partainya maka ia harus segera dibawa kehadapan Lembaga Disiplin dan Nilai Partai atau Lembaga Keanggotaan yang berhak menghentikan tugasnya.” (Manhaj al Imam al Banna, ats Tsawabit wal mutaghoyyirot, hal 90)

Dari penjelasan diatas tampak begitu berwibawanya lembaga / insitusi yang berwenang untuk mengawasi prilaku para anggotanya dalam mengingatkan, menegur hingga memecat mereka sehingga mereka terjaga dari penyimpangan yang akan mengakibatkan rapuhnya jama’ah. Tentunya hal yang sama juga harus dilakukan terhadap para pemimpinnya (di semua level) yang diberikan amanah kepemimpinan didalam jama’ah terlebih lagi efek yang ditimbulkan dari penyimpangan mereka pasti akan luas tidak sebatas kepada dirinya tetapi juga kepada soliditas para anggotanya.

Jum’ah Amin juga menceritakan didalam bukunya itu tentang pemecatan Syeikh Ahmad Hasan Al Baquri saat menerima jabatan menteri di Departemen Wakaf pada pemerintahan Abdun Nasher tanpa seizin dari Mursyid Hasan al Hudhoibi. Kalaulah dilihat dari posisi yang ditawarkan oleh Abdun Nasher kepada Syeikh Al Baquri sepertinya dia pada saat itu bukanlah anggota biasa tapi sudah masuk dalam jajaran pemimpin dari jama’ah namun sikap tegas tanpa pandang bulu tetap diambil oleh Mursyid.
Landasan umum ketaatan kepada pemimpin adalah apa yang telah ditetapkan Islam yaitu tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah atau ketaatan hanya dalam hal yang ma’ruf (dalam perkara-perkara kebajikan dan kebaikan).

Sabda Rasulullah saw,”Taat kepada pemimpin adalah kewajiban setiap orang muslim selama ia tidak memerintahkan kemaksiatan kepada Allah, Jika dia memerintahkan maksiat kepada Allah maka tidak ada ketaatan baginya.” (HR. Baihaqi)

Ada yang berpendapat ketika seorang pengikut melihat kemaksiatan pemimpinnya selama dia belum melakukan kekufuran yang nyata dengan bukti-bukti yang jelas maka hendaklah ia tetap mentaatinya dan bersabar terhadapnya dan terhadap perbuatannya karena dikhawatirkan terjadi fitnah, sebagaimana Hadits Rasulullah saw,”Siapa yang tidak menyukai suatu perbuatan dari pemimpinnya maka bersabarlah terhadapnya. Tidaklah seorang manusia yang keluar dari penguasa sejengkal saja kemudian mati kecuali ia akan mati seperti matinya orang jahiliyah.” (HR. Muslim)

Namun bersabar bukan berarti berdiam diri terhadap kemaksiatan seseorang walaupun ia adalah pemimpinnya. Kesabaran harus memunculkan sikap dinamis yang selalu mencari perbaikan atas segala kekeliruan, perubahan atas segala keburukan dan pelurusan atas segala penyimpangan. Pengingatan yang dilakukan para pengikut terhadap kekeliruan dan kesalahan pemimpinnya termasuk dalam kategori sabar dalam menegakkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Masyarakat muslim bukanlah masyarakat yang negatif, yang melihat kemunkaran kemudian tidak memiliki sikap atau melihat pemimpin yang zhalim yang terus menerus melakukan kezhaliman kemudian diam saja!!! Sesungguhnya sikap diam diri terhadap orang yang zhalim adalah pada satu kondisi yaitu khawatir terjadi fitnah apabila ia keluar dari (ketaatan) kepada Hakim maka pada saat seperti itu haruslah pengingkaran dilakukan dengan lisan atau hati, yang penting ada satu pengingkaran agar tidak termasuk dalam ridho kepada kazhaliman dan orang yang zhalim.

Firman Allah swt,”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.” (QS. At Taubah : 71) –(Ruknut Tho’at hal 32)

Yang tidak diperbolehkan adalah ketika peneguran dan pengingatannya dilakukan dengan mengangkat senjata menentang kezhaliman pemimpin. Hal ini tentunya akan mengakibatkan terjadinya fitnah dan kekacauan dikalangan kaum muslimin, sebagaimana disebutkan Imam Asy Syaukani bahwa maksud dari “Dan barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal” adalah maksiat terhadap penguasa dan memeranginya. (Nailul Author juz XI hal 398, Maktabah Syamilah)

Ada hadits lain yang melarang seorang pengikut menentang pemimpinnya selama ia masih menegakkan sholat. Ia juga mengatakan bahwa hadits, ”Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat.” adalah dalil tidak diperbolehkan menentang para imam dengan pedang selama mereka masih menegakkan sholat. Dalil ini juga berarti diperbolehkannya menentang mereka ketika mereka meninggalkan sholat. (Nailul Author juz XI hal 405, Maktabah Syamilah)

Bai’at kepada imam / khalifah kaum muslimin yang disebut juga dengan baiat umum (bai’ah ammah) termasuk didalam perkara tsawabit yang dilarang untuk melepaskannya seperti yang disebutkan Imam Ahmad,”Barangsiapa yang mati dan diatas tengkuknya tidak ada baiat, maka ia mati jahiliyah.” Apa maksudnya? Ia menjawab,”Tahukah kamu, siapakah imam itu? Dia adalah imam seluruh umat islam bersatu dibawahnya dan semua mengakui bahwa dia adalah imam. Inilah maksudnya. Baiat seperti ini tidak boleh ganda, karena Rasulullah saw bersabda,”Apabila dua khalifah dibaiat, maka bunuhlah yang keduanya.” (Prinsip-prinsip Gerakan Da’wah hal 262)

Ibnu Taimiyah juga menyebutkan bahwa para pembangkang yang keluar dari ketaatan terhadap penguasa dan dari Jamaatul Muslimin maka setiap mereka yang membangkang apabila mati maka matinya seperti mati orang jahiliyah. Sesungguhnya orang-orang jahiliyah, mereka tidak memiliki para imam. (Majmu’ Fatawa juz VI hal 421 Maktabah Syamilah)

Termasuk perkara yang tsawabit dan tidak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya mengikuti Jama’atul Muslimin jika mereka bersatu menunjuk imam yang memimpin mereka sesuai tuntutan Al Qur’an dan Sunnah (mengikuti para imam selain dalam maksiat). (Prinsip-prinsip Gerakan Da’wah, hal 257)

DR Shalah Shawi menyebutkan pula bahwa Imam Ahmad dalam kitab Al i’tiqad telah megatakan,”Adalah wajib mendengar dan taat kepada para imam dan amirul mukminin, baik yang adil atau zhalim, dan kepada orang yang memegang tampuk khilafah dimana umat bersatu dan ridha kepadanya, dan kepada orang yang mengalahkan mereka dengan pedang, sehingga menjadi khalifah dan disebut amirul mukminin, tidak boleh ditinggalkan, baik Amirnya adil maupun zhalim.”

Ia (Imam Ahmad) juga mengatakan,”Barangsiapa memberontak imam kaum muslimin padahal umat telah bersatu dibawahnya dan mengakui kekhalifahannya, baik dengan kerelaan maupun dengan kekuatan maka ia telah memecah-belah kesatuan umat islam dan menyalahi hadits-hadits Rasulullah saw. Kalau ia mati, maka ia mati dengan kematian jahiliyah. Tidak halal bagi seorang pun memerangi dan menyerang sultan (penguasa). Barangsiapa melakukannya, maka ia adalah pelaku bid’ah, menyimpang dari sunnah dan jalannya.” (Prinsip-prinsip Gerakan Da’wah hal 257 – 258)

Untuk saat ini tidak ada Jamatul Muslimin yang dipimpin oleh seorang khalifah namun yang ada adalah Jamaah Minal Muslimin sehingga baiat yang diberikan kepada para pemimpinnya adalah perjanjian untuk melaksanakan ketaatan, dan ia tidak termasuk didalam kategori tsawabit namun ia termasuk mutaghoyyirot .Perbedaan antara jenis baiat ini dengan baiat umum yang diberikan kepada khalifah adalah :

1. Baiat kepada imam ditetapkan oleh ahlul hal wal ‘aqd kepada umat untuk orang yang memenuhi persyaratan imamah dalam rangka memelihara agama dan mengatur dunia. Baiat ini mewajibkan ketaatan dalam sal selain maksiat dan hukumnya wajib bagi seluruh umat.

2. Adapun baiat dalam arti perjanjian di atas, maka yang menetapkannya adalah sekelompok umat islam untuk diberikan kepada orang yang mereka akui ilmu dan kecakapannya, untuk mengerjakan satu atau lebih amal kebaikan. Kewajiban yang ditimbulkan adalah dalam batas tugas yang diperjanjikan. Pada dasarnya baiat jenis ini tidak diwajibkan oleh syariat kepada seorang pun. Akan tetapi, ia menjadi wajib bagi orang yang memasukinya dan berkomitmen dengannya secara sukarela.” (Prinsip-prinsip Gerakan Da’wah hal 275 – 276)

Dari penjelasan diatas terdapat kesepakatan bahwa ketaatan kepada manhaj yang bersumber kepada Al Qur’an dan Sunnah haruslah didahulukan ketimbang ketaatan kepada seorang pemimpin yang menyalahi manhaj itu.

Wallahu A’lam