Menerima Proyek Pembangunan Gereja, Bolehkah?

sigitAssalamualaikum Wr Wb

Perusahaan kami punya kontrak proyek membangun geraja katedral di salah satu daerah di wilayah Indonesia Timur. Kami sudah mendapatkan DP pembayaran atas pekerjaan tersebut. Saya sudah bilang ke salah satu direksi agar proyek ini dibatalkan saja. Tapi, direksi tersebut tetap ngotot untuk tetap dikerjakan dengan dalih profesionalisme.

Saya sudah jelaskan kalau pekerjaan tersebut berarti mendukung kemusyrikan dan sangat haram. Karena dia terus jalan dan tidak mau dengarkan saya, maka saya ancam dia agar fee yang didapat tidak boleh masuk dalam keuangan kantor, karena perusahaan kami adalah 100 persen pegawainya muslim. Mereka punya keluarga.

Saya tidak mau dana-dana tersebut akhirnya untuk konsumsi kebutuhan keluarga mereka juga. Dan bisa menodai kebersihan mereka.

Kami mohon jawaban atas kebersihan penghasilan mereka, dan jawaban atas masalah ini.

Walaikumussalam Wr Wb

Hukum Kontrak Membangun Gereja

Sebagaimana diketahui bahwa gereja adalah tempat beribadah orang-orang Nasrani dan juga sekaligus menjadi salah satu ciri keagamaan mereka yang bertentangan dengan ajaran islam. Gereja adalah tempat berkumpul mereka untuk melakukan berbagai ritual keagamaan yang tidak pernah mendapatkan ridho dari Allah swt dikarenakan unsur kemusyrikan yang masuk kedalam ajarannya. Terlebih lagi berbagai upaya pengkristenan terhadap kaum muslimin yang lemah keimanannya sangat mungkin direncanakan di tempat ini.

Para ulama memisahkan antara orang-orang muslim yang bekerja untuk gereja kedalam dua kategori :

  1. Mereka yang bekerja tidak terkait dengan benda-benda atau segala sesuatu yang menjadi bagian dari ritual ibadah mereka, seperti seorang yang menyewakan kasur untuk tidur mereka, orang yang memasok peralatan mandi untuk gereja maka ini diperbolehkan.
  2. Mereka yang bekerja terkait dengan pengadaan benda-benda atau segala sesuatu yang menjadi bagian dari ritual ibadah mereka, seperti : para pembuat loncengnya, salib dan patung yesusnya, termasuk para pekerja bangunannya maka ini tidak diperbolehkan.

Kami akan sebutkan beberapa nash dari Ahmad. Ishaq bin Ibrahim yang berkata,”Aku mendengar Abu Abdullah ditanya seseorang pekerja bangunan,’Apakah aku bangunkan nawuus (tempat ibadah) bagi orang-orang majusi? Dia menjawab,’Jangan engkau bangunkan buat mereka dan jangan engkau membantu mereka dalam agama mereka.”

Muhammad bin Abdul Hakam berkata,”Aku bertanya kepada Abu Abdullah tentang lelaki muslim yang menggalikan kubur untuk ahli zimmah. Dia menjawab,’Tidak mengapa,’ tidak ada perbedaan riwayat dalam hal ini. Syeikh kami mengatakan,”Perbedaan diantara keduanya adalah bahwa nawuus adalah ciri khas agama mereka yang batil, ia seperti gereja, sangat berbeda dengan kuburan yang tidak ada kemaksiatan didalamnya dan bukan bagian dari ciri khas agama mereka…

Hal itu apabila penyewaan untuk pekerjaan yang tidak termasuk didalam pengagungan agama dan syi’ar mereka. Adapun jika penyewaan (kontrak) untuk pekerjaan yang seperti itu maka tidak diperbolehkan sebagaimana riwayat Ishaq bin Ibrahim tatkala (Abu Abdullah) ditanya oleh seorang pekerja bangunan,”Apakah aku bangunkan nawuus (tempat ibadah) bagi orang-orang Majusi? Beliau menjawab,”Jangan engkau bangunkan buat mereka.”

Imam Syafi’i didalam Bab Jizyah didalam kitab al Umm, memakruhkan seorang muslim sebagai pekerja bangunan atau tukang kayu atau yang lainnya di gereja-gereja mereka yang menjadi tempat ibadah mereka. Abul Hasan al Amidi berkata,”Tidak diperbolehkan seorang muslim yang dikontrak untuk bekerja membangun nawuus dan sejenisnya. (Ahkam Ahli adz Dzimmah juz I hal 94 – 95, Maktabah Syamilah)

Dari penjelasan diatas bahwa membantu membangunkan gereja buat orang-orang Nasrani adalah sudah masuk dalam kategori saling membantu didalam hal aqidah mereka yang dilarang oleh syariat, sebagaimana firman Allah swt,”Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. Al Maidah : 2)

Didalam ayat ini Allah swt memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk saling tolong-menolong didalam berbagai perbuatan baik, yaitu kebajikan dan meninggalkan berbagai kemunkaran yaitu takwa serta melarang mereka dari saling membantu didalam kebatilan dan saling tolong-menolong didalam dosa dan hal-hal yang diharamkan. Ibnu Jarir mengatakan,”Dosa adalah meninggalkan apa-apa yang diperintahkan Allah untuk dikerjakan sedangkan permusuhan adalah melampaui apa-apa yang telah dibatasi oleh Allah didalam urusan agama kalian dan melampaui apa-apa yang diwajibkan Allah atas dirimu dan orang lain.” (Tafsir Ibnu Katsir juz VI hal 12 – 13)

Bagaimana dengan Akadnya?

Didalam permasalahan ini ada persyaratan dari sahnya suatu kontrak yang tidak terpenuhi, yaitu hendaklah jasa tersebut betul-betul bisa diketahui dan dibolehkan memanfaatkannya menurut syariat. Tidak diperbolehkan kontrak untuk mengeluarkan jin dari diri seseorang atau untuk melepaskan seseorang dari pengaruh sihir dikarenakan sulit diketahui secara pasti apakah jin itu sudah keluar atau belum atau apakah sihirnya sudah betul-betul hilang atau belum, sebagaimana juga tidak diperbolehkannya kontrak untuk sesuatu yang diharamkan pemanfaatannya seperti nyanyian, seruling, meratapi sesuatu serta berbagai perbuatan haram lainnya.

Kaidah didalam permasalahan ini adalah,”Bahwa segala sesuatu yang diperbolehkan mengambil ganti atasnya dalam persewaan maka diperbolehkan mengambil bayaran atasnya dalam kontrak dan segala sesuatu yang tidak diperbolehkan mengambil ganti dalam persewaan maka tidak diperbolehkan mengambil bayaran atasnya dalam kontrak.” Berdasarkan firman Allah swt,” ,”Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. Al Maidah : 2) –al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz V hal 3869

Jadi akad kontrak untuk membangun gereja tidak sah menurut prespektif hukum islam, dikarenakan ada satu kaidah bahwa jika Islam telah mengharamkan sesuatu, maka Islam juga mengharamkan segala sesuatu yang dapat menjadi perantara dan membawa kepada yang haram itu.

Didalam hal ini, islam mengharamkan membangunkan gereja bagi orang-orang Nasrani maka segala sesuatu yang menjadi perantara terwujudnya sesuatu yang haram itu seperti, akad kontrak pembangunannya juga termasuk yang diharamkan.

Islam juga menetapkan bahwa dosa perbuatan haram tidak terbatas pada pelakunya saja, bahkan meliputi wilayah yang luas, meliputi semua orang yang turut andil didalamnya, baik dengan tenaga, materi, maupun dukungan moral. Semuanya mendapatkan dosa sesuai dengan kadar keterlibatannya. (Halal dan Haram, edisi terjemah hal 34)

Terkait dengan akad kontrak yang telah ditanda-tangani :

  1. Jika memang pembatalan akad tersebut tidaklah membawa efek kepada perusahaan secara hukum perdata di negeri ini maka perusahaan tersebut harus membatalkannya berdasarkan penjelasan diatas. Firman Allah swt,”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An Nisaa : 65)
  2. Jika memang pembatalan akad tersebut akan membawa efek secara hukum perdata terhadap perusahaan maka dalam kondisi seperti ini akad tersebut bisa dijalankan karena adanya keterpaksaan (darurat). Sesuatu yang darurat hendaklah dipersempit seminimal mungkin dan diukur dengan kadar keterpaksaannya. Firman Allah swt,”Tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqoroh : 173)

Adapun perlakuan terhadap penghasilan yang didapat oleh suatu akad yang diharamkan maka terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama.

Jika ditanyakan,”Bagaimana pendapatmu terhadap orang yang telah memberikan jasa yang diharamkan kepada yang mengontraknya seperti menyanyi, meratap, berzina, dan liwath (berhubungan dengan sesama jenis). Dan dikatakan,’Apabila dia (orang yang dikontrak) belum menerima bayarannya dari mereka maka hendaklah ia tidak mengambilnya, ini adalah kesepakatan umat. Namun jika ia telah menerima bayaran maka tidak baik untuk dikonsumsi (makan) dan tidak juga untuk dimiliki.

Jumhur ulama mengatakan,”Dia harus mengembalikannya kepada mereka dikarenakan pembayarannya ini rusak.” Dalam hal ini terdapat dua riwayat yang telah ditetapkan dari Imam Ahmad, yang pertama bahwa hendaklah dikembalikan sedang yang kedua tidak boleh dimakan dan tidak dikembalikan namun disedekahkan. Syeikh kami mengatakan : Dari dua riwayat itu yang paling tepat adalah tidak dikembalikan dan tidak boleh dimiliki namun dibelanjakan untuk kemaslahatan kaum muslimin sebagaimana nash pendapat Ahmad didalam masalah upah orang yang membawa arak. (Ahkam Ahli adz Dzimmah juz I hal 97, Maktabah Syamilah)

Jika memang perusahaan anda darus melaksanakan proyek tersebut meski dengan keterpaksaan maka pemanfaatan dari penghasilan yang didapat perusahaan juga haruslah dipersempit. Penjelasan didalam kitab Ahkam diatas menyebutkan bahwa penghasilan tersebut tetaplah diambil, tidak dikembalikan namun tidak untuk dimiliki tapi dibelanjakan untuk kemaslahatan kaum muslimin.

Namun satu hal yang sangat sulit jika penghasilan dari proyek tersebut tidak bisa dimiliki sama sekali dikarenakan proyek ini tidak dikerjakan oleh satu orang tetapi menyangkut banyak orang, mulai dari orang-orang yang merencanakan (design) sampai dengan mereka yang kerja di lapangan yang mereka semua juga harus diberikan upah kerjanya. Hal ini berbeda dengan beberapa contoh yang disebutkan diatas, seperti : menyanyi, meratap, berzina ataupun melakukan liwath yang lebih kepada pekerjaan pribadi dan tidak terkait dengan orang lain.

Jadi penghasilan perusahaan dari proyek ini bisa diambil dan dimiliki namun tidak berarti perlakuannya sama dengan perlakuan terhadap penghasilan-penghasilan perusahaan dari jalan yang halal. Prinsip darurat tetaplah harus diterapkan dalam perlakuannya, misalnya menganggarkan sejumlah prosentase tertentu—diatas prosentase yang lazim—untuk membantu proyek-proyak kemaslahatan kaum muslimin.

Demikianlah penjelasan terkait dengan pertanyaan saudara, semoga Allah swt memudahkan segala urusan kita dan kaum muslimin.

Wallahu A’lam

-Ustadz Sigit Pranowo,Lc-

Bila ingin memiliki  karya beliau dari  kumpulan jawaban jawaban dari Ustadz Sigit Pranowo LC di Rubrik Ustadz Menjawab , silahkan kunjungi link ini :

Resensi Buku : Fiqh Kontemporer yang membahas 100 Solusi Masalah Kehidupan…