Cerai dan Janji Setia

ass, saya mau bertanya masalah keluarga pak ustadz.

Begini saya mahasiswa sekaligus ibu rumah tangga usia 22 tahun. Suami saya juga mahasiswa 22 tahun. pada saat sebelum nikah (pacaran)saya pernah melakukan sumpah setia berdua sama suami saya dengan menggunakan alquran yang intinya bahwa saya tidak akan meninggalkan dia, cuma dia sampai akhir hayat saya. begitu pula sebaliknya, dia juga menambahkan akan membahagiakan saya.

Namun kenyataannya begitu menikah dia tidak membahagiakan saya, sering membuat saya sakit hati, kasar, suka main tangan (memukul, mendorong hingga jatuh,dsb) bahkan saya sampai opname di RS pun dia tidak peduli. hingga orang tua saya juga tidak rela saya diperlakukan seperti itu. dalam hati saya yang paling dalam saya juga sudah benci dengannya.

Pertanyaannya menurut pak ustadz bagaimana sebaiknya saya bertindak? apakah melanjutkan perkawinan yang penuh dengan kemudharatan, ataukah menceraikannya, lantas kalau saya menceriakannya bagaiman janji saya dengan Allah pak Ustadz? saya kan masih muda masih pingin didampingi, salahkah sya bila menikah lagi? Lantas bagaimana status anak saya yang sekarang berusia 7 Bulan?

Waalaikumussalam Wr Wb

Semoga Allah swt senantiasa memberikan kesabaran dan meringankan beban anda.

Melanjutkan Pernikahan atau Bercerai

Diantara kewajiban seorang suami kepada isterinya adalah menggaulinya dengan baik, menghormatinya dan tidak berlaku kasar terhadapnya dan kalaupun ia mendapatkan kekurangan didalam isterinya yang masih mungkin untuk ditolerir olehnya maka dianjurkan baginya untuk bisa bersikap sabar karena didalam kesabarannya itu terdapat kebaikan, sebagaimana firman Allah swt :

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Artinya : “dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An Nisaa : 19)

Begitupula sebaliknya diantara kewajiban isteri adalah mentaati suaminya didalam perkara-perkara yang tidak mengandung maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan ketika memang dia mendapati adanya kekurangan didalam diri suaminya yang masih bisa dia tolerir maka hendaklah dia bersabar terhadapnya.

Akan tetapi manakala kekurangan yang ada didalam diri masing-masing sudah tidak bisa lagi ditolerir dikarenakan perlakuan menyimpang yang sudah berlebihan seperti yang saat ini tengah anda alami berupa penganiayaan yang sering dilakukan suami anda terhadap diri anda maka diperbolehkan bagi anda untuk menuntut perceraian.

Hal yang demikian dikarenakan bahwa asas dibentuknya suatu rumah tangga adalah rasa cinta dan sayang antara suami-isteri yang dengan ini akan mewujudkan keluarga yang penuh kedamaian, ketentraman dan menjadi surga dunia bagi mereka, sebagaimana firman Allah swt :

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ 

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum : 21)

Langkah apapun yang akan anda ambil didalam menghadapi prolematika keluarga seperti ini hendaklah dipikirkan secara matang dan jangan lupa meminta petunjuk dari Allah swt dengan shalat-shalat istikharah.

Bersumpah dengan Al Qur’an

Para ulama bersepakat bahwa sumpah yang dilakukan dengan menggunakan mushaf (Al Qur’an) maka sumpahnya sah dan ketika sumpah itu dilanggar maka diwajibkan atasnya untuk membayar kafarat, sebagaimana firman Allah swt :

لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya : “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al Maidah : 89)

Dan seandainya yang dimaksud dengan sumpah setia anda adalah untuk tidak akan berpisah selamanya dengan suami anda maka ketika anda mengambil pilihan untuk berpisah dikarenakan perlakuan buruknya kepada anda maka diwajibkan bagi anda untuk memilih salah satu dari ketiga macam kafarat berikut :

1. Memberi makan 10 orang miskin dengan makanan yang biasa diberikan kepada keluarganya ½ sha’ dari makanan pokoknya yang setara kurang lebih dengan 1.5 kg dan hendaklah dia juga memberikan lauknya.

2. Memberikan pakaian kepada 10 orang miskin dengan pakaian yang layak dikenakan.

3. Membebaskan seorang budak.

Dan apabila anda tidak memiliki kesanggupan atau tidak mendapatkannya maka diharuskan bagi anda untuk berpuasa selama tiga hari berturut-turut.

Bolehkah Menikah Lagi

Dibolehkan bagi seorang yang sudah tidak bersuami, baik dikarenakan kematian atau dicerai suaminya untuk menikah lagi dengan lelaki lainnya.

Status Anak Setelah Bercerai

Adapun status anak tersebut seandainya terjadi perceraian maka tetap menjadi anak dari kalian berdua sebagai ibu dan ayah kandungnya.

Sedangkan hak pengasuhannya ada ditangan anda sebagai ibunya selama anda belum menikah lagi dan jika anda kelak menikah maka hak pengasuhannya berpindah dari anda kepada orang setelahnya. Jumhur ulama berpendapat bahwa hak asuhnya berpindah kepada ibu anda (neneknya) karena dirinya memiliki kasih sayang pula terhadapnya sementara itu Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah lebih memilih pendapat yang mengatakan bahwa hak asuhnya berpindah kepada ayahnya karena rasa kasih sayangnya melebihi yang lainnya, sebagaimana sabda Rasulullah kepada seorang wanita yang telah dicerai suaminya dan ia memiliki seorang anak,”Engkau lebih berhak (atas pengasuhannya) selama engkau belum menikah.” (HR. Abu Daud)

Hendaknya si ayah tetap memberikan perhatian terhadap anaknya meskipun hak asuhnya berada ditangan ibunya atau selainnya dan senantiasa menanyakan keadaannya. Tidak diperbolehkan bagi ibunya yang memiliki hak asuhnya melarang ayahnya untuk berkunjung menjenguk anaknya atau berhubungan dengannya namun tetap dengan menjaga adab-adabnya.

Wallahu A’lam