Sah Tidaknya Berwudhu dan Mandi dengan Mengusap Perban

sigit1Assalamualaikum ww.

Ustadz yang dirahmati Allah,

Kaki bagian bawah saya baru saja selesai dioperasi dan dibalut dengan perban, kata dokter tidak boleh kena air, kalau kena air bisa infeksi, sedangkan saya mau sholat harus ambil wudhu’, sekarang kalau saya berwudhu’ hanya diusap dengan air disekitar perban tersebut dan begitu pula dengan mandi wajib ( junub) saya lakukan.

Pertanyaan saya :

1. Sahkah Wudhu’ dan Mandi wajib saya tersebut.

2. Atau ada cara lain menurut Islam.

Atas jawaban Ustadz terlebih dahulu saya ucapkan terima kasih.

Wassalam……..

Waalaikumusslam Wr Wb

Saudara Jo yang dimuliakan Allah swt

Apabila seorang muslim mendapatkan uzur untuk mencuci salah satu anggota tubuhnya seperti pada bagian tubuh yang patah, digypsum, terluka, dibubuhkan obat diatasnya dan dilarang menggunakan air oleh dokter, luka bakar atau lainnya maka disyariatkan baginya untuk mengusapnya tanpa mencucinya dengan air. Hal ini—menurut para ulama—dinamakan mengusap diatas perban dan pembalut.

Perban dan pembalut terkadang memerlukan rentang waktu tertentu untuk dilepas tergantung keadaan luka atau patahnya sedangkan seorang muslim pada masa itu perlu bersuci baik wudhu atau mandi dan islam adalah agama yang memudahkan dan menggampangkan setiap hamba. Maka itu disyariatkan mengusap diatas perban atau pembalut untuk menghilangkan kesulitan dan kesusahan terhadap orang itu karena mencopot perban atau pembalut itu sebuah kesulitan dan dapat membawa mudharat baginya.

Diantara dalil disyariatkannya mengusap perban dan pembalut adalah riwayat dari Ibnu Umar yang mengatakan,”Barangsiapa memiliki luka yang diperban maka tetap diharuskan berwudhu dengan mengusap diatas perbannya serta mencuci daerah sekitar perbannya.”

Riwayat lain dari Ibnu Umar bahwa dia berwudhu sementara telapak tangannya diperban dengan mengusap perbannya dan mencuci selainnya.” Diriwayatkan oleh Baihaqi, dia berkata,”Apa yang berasal dari Ibnu Umar itu shahih.” –Sunan al Baihaqi 1/228
Terdapat riwayat beberapa hadits dhaif dari Nabi saw tentang mengusap diatas pembalut akan tetapi hadits-hadits itu tidaklah kukuh.

Baihaqi mengatakan,”Tidak terdapat riwayat yang kukuh dari Nabi saw dalam bab ini—yaitu mengusap diatas perban dan pembalut—yang lebih shahih dari hadits ‘Atho bin Abi Rabah bukan dikarenakan kekuatannya namun karena perkataan para ulama dari kalangan tabiin dan para ulama setelah mereka serta riwayat dari Ibnu Umar tentang mengusap diatas perban.” (Sunan al Baihaqi 1/228)

Jumhur ahli ilmu—termasuk para ulama madzhab yang empat—mengatakan disyariatkan mengusap diatas perban dan pembalut. Terdapat riwayat al Baihaqi dari sekelompok ulama-ulama besar dari kalangan tabiin tentang dibolehkannya mengusap diatas pembalut, diantara mereka adalah ‘Ubaid bin ‘Umair, Thawus, al Hasan al Bashri dan Ibrahim an Nakh’i.

Mengusap diatas perban dan pembalut adalah wajib. Wudhu dan mencuci tidaklah sah tanpanya dengan syarat-syarat berikut :

1. Bahwa pencucian anggota tubuh yang sakit yang diperban atau dibalut itu berbahaya bagi orang itu dan ia khawatir pencuciannya itu dapat menambah sakit atau memperlambat penyembuhan.

2. Hendaklah perban atau pembalut itu tidak menutupi bagian tubuh yang sehat—tidak sakit—kecuali bagian-bagian yang mau tidak mau harus ditutupinya. Hal ini sudah diketahui, khususnya pembalut, maka pembalutan itu memerlukan penutupan pula bagian tubuh yang tidak sakit yang terkait dengan bagian tubuh yang patah (sakit) sehingga pembalut itu menjadi kuat.

Adapun jika pembalutannya itu berlebihan dari daerah yang sakit yang tidak dibutuhkan maka perban itu harus dilepas dari bagian tubuh yang tidak sakit untuk dicuci. Tidak sah mengusapnya jika pelepasannya itu tidak membahayakan orang yang sakit itu.

Dan sifat bersuci bagi orang yang di tubuhnya terdapat perban atau pembalut adalah mencuci anggota-anggota tubuh yang sehat, mengusap bagian tubuh yang dibalut dan hendaklah dirinya mampu mengusap seluruh pembalut itu menurut madzhab jumhur fuqaha.

Berikut beberapa hukum mengusap perban dan pembalut :

1. Mengusap perban dan pembalut tidaklah dibatasi dengan tenggang waktu tertentu akan tetapi dibolehkan mengusapnya tanpa pembatasan waktu selama hal itu dibutuhkan terhadap perban dan pembalut tersebut, seperti : terkadang kaki yang patah perlu di gypsum untuk waktu satu bulan atau dua bulan maka mengusapnya sepanjang rentang waktu itu berbeda dengan mengusap diatas terompah atau kaos kaki yang dibatasi dengan sehari semalam bagi orang yang mukim dan tiga hari tiga malam bagi musafir, yaitu bahwa mengusap diatas perban dan pembalut dibatasi oleh kesembuhan bukan dengan hari-hari.

2. Tidak disyaratkan meletakkan perban dan pembalut diatas—bagian tubuh—yang berada dalam keadaan suci (berwudhu) dahulu, menurut pendapat yang kuat dari perkataan para ahli ilmu selama di situ terdapat luka dan kesukaran karena manusia terkadang mengalami kecelakaan mendadak langsung dibawa ke rumah sakit lalu tangan atau kakinya dibalut dengan gpsum sementara tidak memungkin baginya untuk bersuci sebelumnya.

3. Mengusap diatas pembalut atau perban saat berwudhu dan mandi. Hal ini berbeda dengan mengusap diatas terompah yang tidak diperbolehkan terhadapnya kecuali wudhu saja.

4. Tidak boleh mengusap diatas perban dan pembalut jika bagian tubuh itu telah sembuh dari luka atau patah karena mengusap diatasnya adalah sebuah rukhshah (keringanan) yang bergantung pada adanya uzur dan jika uzur itu telah hilang maka tidak sah pengusapan terhadapnya.

5. Apabila dia mengusap diatas perban atau pembalut lalu dia melepaskannya dikarenakan telah sembuh maka bersucinya itu tidaklah batal karena ia telah sempurna (selesai dilakukan) sesuai dengan aturan syar’i. (Fatawa Yasaluunaka juz IV hal 3 – 5)

Wallahu A’lam