Syarat Jarak dalam Shalat Jama’ dan Qashar

sigitAssalaamu’laikum wr. wb.

Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada Ustadz Sigit dan keluarga, amin…!

Ustadz, saya ada beberapa pertanyaan mengenai Sholat Jama’ dan Qoshor, yaitu :

1. Sebagaimana saya ketahui bahwa dasar pelaksanaan Sholat Jama’ adalah jarak namun ada pendapat bahwa sholat tersebut bisa dilakukan jika kondisinya tidak memungkinkan (misalnya : macet), apakah kedua alasan tersebut bisa dibenarkan ?

2. Jika seseorang yang berdomisili Jakarta akan bepergian ke Bandung, apakah Sholat Jama’nya bisa diawalkan (dilakukan di Jakarta, sebelum berangkat) ?

3. Apakah setiap pelaksanaan Sholat Jama’ bisa dilakukan dengan Qoshor ?

Demikian pertanyaan saya, mohon penjelasannya. Terima kasih !

Wassalaamu’alaikum wr. wb.

Waalaikumussalam Wr Wb

Shalat yang dilakukan dengan cara dijama’ (digabungkan) maupun qashar (dipotong) merupakan keringanan yang diberikan Allah swt kepada hamba-hamba-Nya yang tengah bepergian, disaat hujan, sakit atau uzur sebagaimana di katakan Imam Ahmad dan bagi orang yang memiliki keperluan selama tidak dijadikan sebuah kebiasaan sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi. (Baca : Shalat Jama’ dan Qashar)

Diantara dalil yang menyebutkan disyariatkannya pelaksanaan shalat dengan cara dijama’ adalah hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari Muadz bahwasanya pada suatu hari Nabi saw pernah mengakhirkan sholat di waktu peperangan Tabuk kemudian berliau saw pergi keluar dan mengerjakan sholat zhuhur dan ashar secara jama’. Setelah itu beliau saw masuk kemudian keluar dan mengerjakan sholat maghrib dan isya secara jama’.” Sedangkan dalil untuk sholat dengan cara diqoshor adalah apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu Daud dan baihqi dari Yahya bin Yazid, ia berkata,”Aku bertanya kepada Anas bin Malik mengenai mengqoshor sholat. Ia menjawab, Rasulullah saw mengerjakan sholat dua rakaat jika sudah berjalan sejauh tiga mil atau satu farsakh.”

Pada dasarnya setiap shalat haruslah dilakukan pada waktunya dan dilarang bagi seorang pun untuk menyia-nyiakan atau mengakhirkannya tanpa adanya suatu alasan yang dibenarkan.

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

Artinya : “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam : 59)

Hendaklah setiap orang yang ingin berkendaraan dan mengetahui bahwa ia akan terjebak dalam kemacetan untuk memperhatikan waktu-waktu shalatnya. Seorang yang berkendaraan berangkat pada waktu zhuhur dan memperkirakan bahwa dia akan mendapatkan waktu ashar di kendaraannya lalu terjebak didalam kemacetan. Jika dia memiliki kesempatan ditengah kemacetannya itu untuk menghampiri tempat shalat maka hal itu haruslah dilakukannya untuk melaksanakan shalat ashar.

Akan tetapi jika dia memperkirakan sebelum berangkat bahwa kemacetannya akan panjang sehingga dia merasa akan kehilangan waktu shalat asharnya sementara tidak memungkinkan baginya untuk keluar darinya dan mampir ke tempat shalat untuk melakukan shalat ashar maka dibolehkan baginya untuk menjama’ shalat zhuhur dan ashar di waktu zhuhur sebelum dirinya berangkat. Dibolehkan bagi seseorang menjama’ shalatnya disebabkan adanya keperluan, sebagaimana dikatakan Imam Nawawi, Ibnu Sirin dan Asuhab dari golongan Maliki. Menurut al Khottobi bahwa ini juga pendapat dari Qoffal dan asy Syasyil Kabir dari golongan Syafi’i juga dari Ishaq Marwazi dan dari jama’ah ahli hadits.

Dalam keadaan seperti ini ukuran jarak tidaklah menjadi pertimbangan karena diperbolehkan bagi seseorang menjama’ shalat di tempat tinggalnya berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Abbas katanya; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat zhuhur dan ashar semuanya, dan antara maghrib dan isya’ semuanya bukan karena ketakutan dan tidak pula ketika safar.”

Demikian halnya dengan pertanyaan anda ketika seorang yang berdomisili Jakarta akan bepergian ke Bandung, apakah Sholat Jama’nya bisa diawalkan (dilakukan di Jakarta, sebelum berangkat) ? maka berdasarkan riwayat Ibnu Abbas hal itu—menjama’ shalat zhuhur dan ashar di tempat tinggalnya (Jakarta)—bisa dilakukan. Namun tidak dibolehkan baginya untuk mengqashar (memotong) kedua shalat itu masing-masing menjadi dua rakaat karena saat itu dirinya belumlah melakukan suatu perjalanan.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa qashar shalat hanya disebabkan oleh safar (bepergian) dan tidak diperbolehkan bagi orang yang tidak safar. Adapun jama’ shalat disebabkan adanya keperluan dan uzur. Apabila seseorang membutuhkannya (adanya seuatu keperluan) maka dibolehkan baginya melakukan jama’ shalat dalam suatu perjalanan jarak jauh maupun dekat, demikian pula jama’ shalat juga disebabkan hujan atau sejenisnya, juga bagi seorang yang sedang sakit atau sejenisnya atau sebab-sebab lainnya karena tujuan dari itu semua adalah mengangkat kesulitan yang dihadapi umatnya.” (Majmu’ al Fatawa juz XXII hal 293)

Dari penjelasan Syeikhul Islam diatas bisa kita katakan bahwa tidak setiap shalat jama’ harus diikuti oleh qashar, seperti contoh diatas atau seorang yang melakukan shalat dikarenakan hujan maka dirinya dibolehkan melakukan jama’ tidak qashar.

Wallahu A’lam