Hukum Tahlilan dan Doa Qunut

Assalamualaikum wr. wb.

Pak ustadz yang dirahmati Allah….

Bagaimana hukumnya kalau kita melakukan tahlil bersama dan menjalankan doa qunut. Kenapa ada golongan yang memarahi saya dan bilang kalau saya penganut bid’ah.

Pak ustadz, tolong beri penjelasan ya…!

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Hukum Tahlilan

Tahlilan adalah ritual / upacara selamatan yang dilakukan sebagian umat Islam, kebanyakan di Indonesia dan kemungkinan di Malaysia, untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal yang biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Ada pula yang melakukan tahlilan pada hari ke-1000. (sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Tahlilan)

Tahlilan ini dilakukan dengan mengucapkan berbagai dzikir dan pembacaan al Qur’an (seperti; surat Al Fatihah dan Yasin) bahkan tidak jarang juga keluarga si mayit secara khusus mengundang para qori untuk membacakannya bagi si mayit. Tahlilan kemudian ditutup dengan doa yang dipimpin oleh tokoh ulama setempat yang di-amini oleh para hadirin.

Ada dua hal yang perlu dilihat dari sudut pandang syari’ah di dalam permasalahan ini :

1. Pengiriman pahala amal-amal sholeh kepada si mayit.

Abu Hirairoh meriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau saw bersabda,”Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal : dari sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat atau anak sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Dalam penjelasan tentang hadits ini Imam Nawawi mengatakan, ”Doa, pahalanya akan sampai kepada si mayit demikian pula sedekahnya dan keduanya sudah menjadi kesepakatan para ulama. Demikian halnya dengan pelunasan utang-utangnya. Adapun haji bagi si mayit diperbolehkan menurut Syafi’i dan para pendukungnya, dan ini masuk dalam bab pelunasan utang apabila hajinya adalah yang wajib dan apabila yang sunnah serta telah diwasiatkan oleh si mayit maka ini masuk dalam bab wasiat. Adapun jika ia mati dan memiliki tanggungan puasa maka yang benar adalah walinya harus berpuasa baginya, masalah ini telah dibahas didalam bab puasa. Sedangkan bacaan al Qur’an dan menjadikan pahalanya bagi si mayit, sholat baginya atau yang sejenis itu maka didalam madzhab Syafi’i dan jumhur ulama bahwa itu semua tidaklah sampai kepada si mayit..” (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XI hal 122)

Sedangkan membaca Al Qur’an, ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan Ahlus Sunnah. Imam Nawawi berkata,”Yang lebih terkenal dan mazhab Syafi’i bahwa hal itu tidaklah sampai.” Ahmad bin Hambal dan para sahabat Syafi’i berpendapat bahwa hal itu sampai kepada si mayit. Maka sebaiknya si pembaca setelah membacanya mengucapkan,”Ya Allah aku sampaikan seperti pahala bacaanku ini kepada si fulan.”

Di dalam kitab “al Mughni” oleh Ibnu Qudamah disebutkan: Ahmad bin Hanbal mengatakan,”Segala kebajikan akan sampai kepada si mayit berdasarkan nash-nash yang ada tentang itu, karena kaum muslimin biasa berkumpul di setiap negeri kemudian membaca Al Qur’an dan menghadiahkannya bagi orang yang mati ditengah-tengah mereka dan tidak ada yang menentangnya, hingga menjadi kespekatan.”

Namun demikian mereka yang mengatakan bahwa pahala bacaan al Qur’an itu sampai kepada si mayit mensyaratkan bahwa yang membacanya tidak diperbolehkan menerima upah dari bacaannya tersebut. Dan jika dia mengambil upah atas bacaaannya itu maka yang demikian diharamkan bagi si pemberi dan si penerima serta tidak ada pahala baginya atas bacaannya itu., seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani, Baihaqi dari Abdurrahman bin Syibl bahwasanya Nabi saw bersabda,”Bacalah al Qur’an, amalkanlah…. dan janganlah engkau kekeringan darinya, janganlah terlalaikan darinya, janganlah makan dengannya dan janganlah memperbanyak harta dengannya.” (Fiqhus Sunnah juz I hal 569 Maktabah Syamilah)

Jadi tidak diperbolehkan seseorang membaca al Qur’an bagi si mayit dengan mengharapkan uang atau pembayaran atasnya karena hal itu memunculkan ketidak-ikhlasan terhadap amal tersebut, dan amal ini ditolak oleh Allah swt.

2. Berkumpulnya masyarakat pada hari-hari tertentu di rumah si mayit untuk melaksanakan acara tersebut.

Ta’ziyah adalah upaya menghibur keluarga si mayit dari rasa berduka dan menyabarkannya atas musibah yang menimpanya dikarenakan kehilangan anggota keluarganya.

Ta’ziyah ini hukumnya sunnah sebagaimana sabda Rasulullah saw tatkala beliau melewati seorang wanita yang sedang menangisi anaknya yang meninggal, Beliau mengatakan, ”Bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah.” Kemudian beliau bersabda lagi, ”Sesungguhnya sabar itu pada saat pertama kali.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Dan juga sabdanya SAW, “Tidak seorang mukmin pun datang berta’ziyah kepada saudaranya yang ditimpa musibah, kecuali akan diberi pakaian kebesaran oleh Allah pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)

Berkumpul dan Menyediakan Makanan dan Minuman

Adapun terkait dengan keharusan keluarga dekat si mayit menyediakan makanan dan minuman bagi mereka yang datang dan berkumpul di rumahnya maka dijelaskan di dalam hadits-hadits berikut :

  1. Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Ja’far bahwa Rasulullah saw bersabda,”Buatkanlah untuk keluarga Ja’far makanan karena dia sedang disibukkan oleh satu urusan.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
  2. Dari Jarir bin Abdullah al Bajaliy mengatakan,”Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sama dengan meratapi mayat.” (HR. Ibnu Majah)
    Ibnu Humam dalam Fathil Qodir Syarhul Hidayah mengatakan,”Disunnahkan bagi tetangga dari keluarga yang meninggal dan para kerabatnya yang jauh untuk mempersiapkan makanan bagi mereka yang dapat mengenyangkan mereka sehari semalam. “ (Aunul Ma’bud juz VII hal. 119, Makatabah Syamilah)Al Qoriy mengatakan,”Pembuatan makanan yang dilakukan oleh keluarga si mayit untuk menyajikan orang-orang yang berkumpul baginya adalah bid’ah makruhah sehingga tepat apa yang diriwayatkan oleh Jarir diatas,’Bahwa kami menganggapnya bagian dari meratapi.” Dan hal ini tampak keharamannya.” (Tuhfatul Ahwaziy juz III hal 54 Maktabah Syamilah)

Tahlilan ini sudah menjadi suatu tradisi dan kebiasaan yang sudah mendarah-daging di masyarakat kita dan sudah berlangsung dari generasi ke generasi, konon ini tradisi yang dilakukan sejak zaman Wali Songo untuk mengganti kebiasaan masyarakat saat itu yang masih bercampur dengan budaya hindu, Wallahu A’lam. Yang pasti, tradisi ini sudah begitu melekat di masyrakat kita.

Sebagian masyarakat bahkan ada yang mengatakan bahwa tahlilan ini adalah bagian dari keutamaan yang harus dilakukan oleh keluarga si mayit demi membantunya di alam barzahnya, mereka merasa ada yang kurang (tidak lengkap) dalam penyelenggaraan pengurusan jenazah jika tidak ada tahlilan. Bahkan di masyarakat kerap kali keluarga yang tidak melakukan tradisi ini menjadi buah bibir dan omongan negative diantara mereka, meskipun hal ini biasanya hanya berlangsung sebentar saja.

Untuk itu dalam menyikapi masalah ini perlu hati-hati dan perlahan namun wajib untuk dilakukan perbaikan ke arah yang ideal. Tindakan perlahan-lahan dalam perubahan ini bukan berarti kita harus menyalahi syari’at atau hukum.

Dari penjelasan beberapa hal yang menjadi isi suatu acara tahlilan di atas bisa disimpulkan :

  1. Bahwa amal-amal yang dilakukan, seperti dzikir, doa, sedekah yang pahalanya untuk dikirimkan kepada si mayit diperbolehkan. Khusus pengiriman pahala bacaan Al Qur’an, —seperti al Fatihah, Yasin atau yang lainnya— kepada si mayit hendaklah dilakukan ikhlas karena Allah, tanpa mengeluarkan atau meminta bayaran.
  2. Penyediaan makanan dan minuman bagi para penta’ziyah atau para hadirin haruslah disiapkan oleh para tetangga atau keluarga jauh dari si mayit tanpa membebankan keluarga dekat si mayit. Dalam penyediaan ini juga harus dihindari kemubadziran dalam penyediaannya.
  3. Adapun berkumpulnya masyarakat di rumah keluarga si mayit bisa dikategorikan ke dalam bentuk ta’ziyah namun hendaknya ta’ziyah tidak dilakukan terlalu sering karena akan menambah kesedihan mereka, cukup dilakukan satu kali saja. Acara ini tidak mesti terpaku dengan hari-hari tertentu yang selama ini terjadi di masyarakat serta harus menghindari hal-hal yang dilarang oleh agama.

Disebutkan di dalam buku Fiqhus Sunnah bahwa Ahmad dan banyak ulama golongan Hanafi menganut pendapat di atas (bid’ah). Akan tetapi orang-orang terdahulu dari golongan Hanafi berpendapat bahwa tidak ada salahnya duduk bukan di masjid dalam waktu tiga hari untuk ta’ziyah, asal tidak melakukan hal-hal yang terlarang. (Fiqhus Sunnah edisi terjemah juz II hal 203 – 204)

Membaca Doa Qunut

Membaca qunut ini disunnahkan di dalam sholat, namun para ulama berbeda pendapat tentang sholat apa saja yang di dalamnya dibacakan qunut..

  1. Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa qunut dibaca didalam sholat witir. Mereka berpendapat qunut ini dilakukan sebelum ruku’. Qunut tidak dilakukan pada sholat-sholat selain witir kecuali apabila terjadi suatu bencana maka ia dilakukan di sholat-sholat yang dikeraskan bacaannya. Adapun bahwa nabi telah melakukan qunut selama satu bulan saat sholat subuh ini telah dimansukh (dihapus) menurut ijma, dengan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau saw pernah melakukan qunut didalam sholat subuh selam satu bulan kemudian dia saw meninggalkannya.” (HR. al Bazaar, Thabrani dan Ibnu Abi syaibah).
  2. Para ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa disunnahkan qunut dibaca dengan suara pelan didalam sholat shubuh saja dan tidak disaat sholat witir dan selainnya karena hal itu makruh. Qunut itu afdhol dilakukan sebelum ruku’ walaupun jika dilakukan setelah ruku’ juga boleh.
  3. Para ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa disunnahkan qunut itu dilakukan saat i’tidal (bangun dari ruku’) di raka’at kedua sholat subuh, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw melakukan qunut sholat subuh hingga beliau meninggal dunia.” (HR. Ahmad, Abdur Razaq dan Daru Quthni). Dan Umar ra juga melakukan qunut di sholat subuh dan dihadiri oleh para sahabat yang lainnya.
  4. Para ulama madzhab Hambali berpendapat seperti para ulama madzhab Hanafi bahwa qunut disunnahkan di dalam sholat witir yang satu rakaat.sepanjang tahun, ia dilakukan setelah ruku’. Dan sebagaimana pendapat Syafi’i bahwa qunut juga dilakukan pada sholat witir di bagian kedua akhir dari bulan Ramadhan, namun jika ada yang melakukan qunut sebelum ruku’ pun tidak masalah, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi saw melakukan qunut setelah ruku’.” (HR. Muslim) serta yang diriwayatkan dari Humaid berkata, “Bahwa Anas pernah ditanya tentang qunut didalam sholat shubuh? Dia menjawa,’Kami dahulu melakukan qunut sebelum ruku’ juga sesudahnya.” (HR. Ibnu Majah) – (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz 2 hal 1001 -1008)

Jadi menurut pendapat Imam Malik dan Syafi’i bahwa membaca qunut bisa dilakukan didalam sholat shubuh, meskipun pandapat ini tidak sejalan dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad.

Di sinilah kaum muslimin diminta lebih arif dalam melihat perbedaan dikalangan para ulama tersebut sebagai suatu khazanah ilmiyah yang dimiliki umat ini dengan saling menghargai dan tidak menyerang orang-orang yang berbeda dengannya dalam hal yang furu’iyah seperti diatas.

Qunut saat ada musibah atau bencana

Dalam hal ini, para ulama madzhab Hanafi, Syafi’i dan juga Hambali berpendapat bahwa qunut saat ada bencana ini disyariatkan tapi tidak secara mutlak. Menurut para ulama madzhab Hanafi ia disyariatkan hanya di sholat-sholat yang bacaannya dikeraskan saja. Sedangkan menurut para ulama madzhab lainnya disetiap sholat yang wajib namun para ulama Hambali mengecualikan sholat jum’at karena hal itu sudah cukup dengan khutbahnya. Dianjurkan juga doa qunut tersebut dibaca dengan suara keras. …

Qunut Nazilah ini mengikuti contoh dari Rasulullah saw yang telah melakukan qunut selama satu bulan untuk mendoakan agar pembunuh-pembunuh para sahabat pemnghafal Qur’an di sumur Ma’unah itu dibalas oleh Allah swt.” (HR.Bukhori Muslim) – (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz 2 hal 1008)
Wallahu A’lam.