Ibu: Jangan Lupa Salat

siluet ibuOleh: Hanif Hawari

Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta

 

“Hari boleh kemana saja, asal jangan lupa salat ya.”

Kalimat itu yang paling saya ingat dari sosok wanita cantik yang saya panggil Mama. Ia selalu memberikan kesempatan untuk melakukan apa yang saya mau. Mau pergi ke mana saja, berteman dengan siapa saja. Ya, apapun itu.

Kemudian, jangan tanya seberapa cinta saya padanya. Sangat cinta. Itu jawabannya. Jangan pula ditanya seberapa dekat saat dengannya karena saya merasa dialah orang yang paling dekat selama ini.

Apapun yang saya alami dan rasakan selalu saya curahkan padanya. Dia pendengar yang baik. Dia pemberi motivasi yang sangat berpengaruh. Dia juga seorang sahabat yang selalu ada untuk saya.

Ya, saya tahu itu. Saya sadar semua itu. Namun, saya juga tak luput dari sikap mengecewakan. Sulit rasanya saya menceritakan semua tentang saya dan dia. Pernah suatu saat saya bertindak bodoh hingga bertengkar dengannya.

“Kalau Hari seperti ini, lebih baik keluar dari rumah,” teriak Mama pada saya saat itu.

Karena perasaan kesal, saya malah menjawab semuanya, “Ya, sudah. Hari pergi dari sini.”

Saya benar-benar pergi dari rumah. Selama tiga hari saya tak kembali. Saya malah menginap di rumah teman dan sama sekali tak menghubungi.

Umur saya yang baru tujuh belas tahun saat itu membuat saya tak bertahan lama. Saya merasa bersalah seiring uang dan pakaian yang habis tak bisa terpakai lagi. Sungguh apa jadinya saya tanpa seorang Mama. Tak bisa mengurus hidup sendiri walau saya seorang laki-laki. Semua terasa tak bisa terkendali. Entah jasmani entah rohani.

Seketika saya diam merenungi yang telah terjadi. Mengapa saya bisa melakukan hal yang sangat mengecewakan itu? Bahkan saya tak berpikir bahwa Mama bisa saja menangis mendengar anak pertamanya yang sangat dekat membentak dengan begitu kasarnya. Di tambah lagi malah memutuskan untuk meninggalkan rumah bukan meminta maaf.

Saya ingin kembali. Namun, selalu rasa bersalah dan pertanyaan, akan ditaruh dimana wajah pembangkang ini saat bertemu dengan Mama? Tak peduli, saya harus kembali dan memperbaiki segalanya. Saya tak bisa hidup tanpanya. Saya benar-benar tak terkendali tanpanya.

Akhirnya, saya pulang ke rumah dengan hampa dan rasa bersalah. Saya datang dan ternyata Mama masih tidak peduli dengan saya. Sampai keesokan harinya, tidak butuh waktu lama, Mama langsung memafkan kesalahan saya yang fatal itu. Saya benar-benar terharu. Malu. Sungguh, seorang Mama adalah malaikat yang tak pernah tega pada anaknya. Segalanya ia lakukan semata-mata demi seorang anak tercinta.

Itu hanya sedikit cerita saya dengan Mama. Sebuah kisah yang pernah saya alami. Sebuah cerita yang ternyata tak selalu saya jadikan pelajaran. Saya terus dan terus melakukan kesalahan yang bisa menyakiti hatinya.

Namun, Mama selalu memaafkan segalanya. Mama masih mendengarkan cerita saya. Mama masih mengingatkanku akan salat. Mama masih mengingat anaknya sepanjang doa. Mama masih terus menyayangi saya ketika kenakalan-kenakalan terus saya lakukan.

Saya benar-benar mencintainya. Lebih dari apapun. Kasihnya memang sepanjang masa. Tak akan pernah habis. Salah satu aktor Indonesia pernah berkata dalam sebuah acara, “Pilihan orang tua belum tentu pilihan anak. Tapi membahagiakan orang tua adalah sebuah pilihan yang wajib bagi anaknya.”

Kini, saya sudah mulai dewasa. Pikiran saya mulai terus bertanya, “Sampai kapan saya terus mengecewakannya, menyia-nyiakan kasih sayangnya? Mulai kapan saya berusaha menjadi orang yang dibanggakannya?”