Ketika Keperawanan Dimanipulasi

bungasegarlayuMiris, itulah kata yang setidaknya mewakili fakta remaja kita. Sederet berita tentang begitu mudahnya remaja ABG diperdaya oleh para dukun cabul cukup membuat bulu kuduk merinding. Sebutlah kisah tentang beberapa siswi SMP di Semarang awal April kemarin, yang bersedia dicabuli oleh dukun yang menjanjikan untuk mengembalikan keperawanan mereka. Kisah ini sudah ke sekian kalinya terulang. Sejak bulan November 2013, kejadian serupa terjadi di Deli Serdang, 20 ABG telah menjadi korban seorang dukun cabul yang berjanji akan memulihkan keperawanan dan memberikan pemanis untuk memikat lawan jenis mereka. Masih di Deli Serdang juga, 50 remaja belasan tahun menjadi korban  seorang dukun cabul, dengan alasan yang sama yaitu untuk memulihkan keperawanan. Ketika ditanya oleh penyidik, sang dukun mengaku sangat mudah mengelabui korbannya karena anak anak dibawah umur rata rata masih polos.

Keperawanan, antara tuntutan moral dan realitas

Masih pentingkah keperawanan bagi remaja saat ini? Pertanyaan ini cukup dilematis. Memang benar, pendidikan moral dalam adat masyarakat Indonesia masih menempatkan keperawanan sebagai tolok ukur  bagi seorang calon pengantin. Dia menjadi norma yang dipertahankan oleh masyarakat kita yang masih menjunjung tinggi nilai nilai ketimuran. Bagi sebuah keluarga, menikahkan putrinya dalam keadaan tidak perawan adalah aib yang akan mendapatkan sanksi moral dari masyarakat. Keluarga akan menjadi bahan gunjingan yang tentu tidak menyenangkan dan mencoreng martabat keluarga. Dari sini kita melihat bahwa keperawanan sesungguhnya masih dianggap penting oleh masyarakat kita.

Hanya saja, disisi lain remaja kita dengan gencarnya diserang oleh budaya permisiv yang memporak porandakan pertahanan moral mereka. Pergaulan bebas makin tak terkendali dan fakta di atas seolah seperti puncak gunung es persoalan pergaulan remaja kita. Penulis menilai, setidaknya ada 3 hal yang menyebabkan terjadinya fakta ini, yaitu:

  1. Lemahnya ketakwaan individu

Pendidikan agama yang tertanam dalam benak remaja kita lambat laun tereduksi hanya pada ranah ritual, itupun dalam kadar yang minimal. Betapa tidak, tolok ukur keberhasilan pendidikan agama seringkali ditakar dari aspek kognitif saja, sementara dari sisi praktis pun, evaluasi pendidikn agama hanya mampu menyentuh aspek ibadah dan akhlak. Padahal jika kita telusuri, terbentuknya kepribadian kuat harus mencakup dua hal yaitu pola pikir  dan pola sikap yang benar. Pola pikir yang benar harus mencakup aspek-aspek yang komprehensif mulai dari aqidah, akhlaq, ibadah,pemahaman terhadap alqur’an dan sunnah yang baik, serta penguasaan ilmu muamalah. Dengan pemahaman yang komprehensif, akan tertanam iman yang kuat kepada Allah SWT, sifat ihsan dan senantiasa bersikap wara’ dalam bersikap. Ini akan menjadi benteng tersendiri bagi remaja pada saat keluarga tidak mampu mengawasi, karena kesadarannya akan hubungan dengan Allah telah melekat.

 

  1. Menurunnya kontrol masyarakat

Pola hidup penuh kesibukan telah menjadi ritme masyarakat kita, sehingga lambat tapi pasti budaya kita meluncur menuju masyarakat cuek bebek terhadap sekitarnya. Pesatnya teknologi gadget dinilai juga cukup efektif menggerus kepedulian masyarakat terhadap lingkungan terdekatnya. Seperti sebuah ungkapan, “gadget, mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat”. Betapa berbedanya suasana masyarakat kita saat ini dengan saat belum ada gadget. Dulu, suasana di warung atau restoran sangat gaduh dengan pembeli yang saling bercerita dan berkomunikasi sambil menunggu pesanan menu disajikan, tapi Saat ini, apa yang kita saksikan, di warung yang sama? Mungkin hanya wajah-wajah yang khusyu tertunduk dan terkadang tersenyum simpul membaca update status orang-orang jauh dalam jejaring sosial mereka. Bahkan sepasang suami istripun enggan bertegur sapa, hingga pada kasus yang lebih parah yaitu ketika ditemukan kasus seorang bayi meninggal gara-gara sang ibu sibuk main facebook. Betapa berbahayanya sikap tidak peduli ini. Termasuk ketidakpedulian mereka dengan fakta remaja yang terabaikan oleh keluarga dan orang-orang terdekat karena kesibukan mereka. Maka fakta memilukan yaitu pergaulan bebas  bukan hal aneh ketika kontrol masyarakat sudah minim.

 

  1. Kurangnya peran negara

Negara adalah benteng yang kuat bagi masyarakat, pemerintah ibarat perisai bagi rakyatnya dari berbagai makar buruk maupun pengaruh budaya yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Pemerintah memiliki kewenangan luar biasa dalam membuat dan menerapkan hukum bagi masyarakat. Pemerintah pula yang punya kewenangan  menegakkan sistem hukum yang melindungi bangsa dengan menerapkan sanksi yang memberikan kepastian hukum sehingga rakyat bisa merasakan kenyamanan hidup berbangsa dan bernegara. Pemerintah yang baik setidaknya didukung oleh dua hal yaitu sistem hukum yang adil dan aparat yang bersih dan amanah. Ketika peran pemerintah melemah, maka sangat wajar jika arus budaya negatif tak bisa dibendung lagi. Ibarat tanggul yang jebol, airnya akan menghanyutkan apa saja yang dilewatinya, rumah, ternak bahkan masjid sekalipun.

 

Pergaulan bebas yang amoral ini setidaknya diperparah oleh tiga hal tadi.Remaja mendapatkan inspirasi dari sosial media informasi dan telekomunikasi yang tidak tersensor dengan baik. Demikian pula rusaknya moral aparat seringkal menjadi pemicu bagi masyarakat untuk meniru mereka.

Hal ini tali temali dengan perundang-undangan kita yang juga tidak mantap dalam mendefinisikan tentang perzinaan yang dikenai delik hukum, sehingga para pelaku pencabulan ini begitu mudahnya melenggang dengan alasan, mereka melakukannya suka sama suka. Sebut saja pasal 287 KUHP yang menyebutkan bahwa, bukanlah dikatakan zina apabila persetubuhan dilakukan dengan perempuan yang belum cukup umur lima belas tahun.  Demikian pula dalam pasal 284 ayat (1) KUHP tentang perzinaan yang berbunyi,” dihukum penjara selama lamanya sembilan bulan, 1. a. Bagi laki laki yang beristri, berbuat zina sedang diketahuinya, bahwa pasal 27 KUH Perdata (sipil) berlaku padanya; b.Perempuan yang bersuami berbuat zina; 2.a. Laki-laki yang turut melakukan perbuatan itu sedang diketahuinya bahwa kawannya itu bersuami; b. Perempuan yang tiada bersuami yang turut melakukan perbuatan itu, sedangkan diketahuinya bahwa kawannya itu beristri dan pasal 27 KUH Perdata berlaku pada kawannya”. Pasal ini melegalkan apabila ada seseorang baik laki laki atau perempuan belum menikah untuk berzina.

Peliknya masalah undang undang ini juga karena masing masing berangka dari asas yang berbeda beda, sehingga antara satu undang-undang dengan undang-undang lain saling tumpang tindih dan bertabrakan. Siapa yang bermodal besar berhak untuk menetapkan aturan agar kepentingan mereka bisa dibuat mulus. Termasuk kepentingan bisnis. Maka kebebasan ala demokrasi pun menjadi laku untk membuat dan menetapkan aturan di negeri ini. Layakny hukum rimba, siapa kuat  dia berkuasa.

 

Remaja berfikir pragmatis

 

Pergaulan bebas membudaya, menggerus siapa saja yang ada dalam sistem ini. Kerusakan menjadi sistemik dalam segala aspek. Kebebasan berperilaku dan berekspresi menjadi jaminan  dalam demokrsi kita maka tak heran semua kerusakan ini seringkali berlindung dibawah nama kebebasan dan HAM. Sulit menguraikannya kembali seoalah ia seutas benang kusut. Disisi lain tuntutan moral dan adat masih sedikit terbawa dalam tradisi. Maka berfikir pragmatis adalah jalan pintas untuk mencari solusi. Keperawanan pun bisa dimanipulasi. Sebutlah ada seorang artis yang sanggup membayar ratusan juta rupiah untuk menempuh perawatan dokter demi mengembalikan keperawanannya. Nah bagaimana dengan remaja ABG yang terlanjur jatuh ke dunia pergaulan bebas? Maka tawaran dukun yang menjanjikan alternatif untuk mengembalikan keperawananpun menjadi solusi bagi mereka yang akalnya belum sepenuhnya matang. Anak-anak di bawah umur yang telah terpapar materi seksual ini begitu mudahnya mempercayai janji manis yang ditawarkan. Pola pikir rasional menjadi hilang ketika tuntutan kebutuhan menjadi mendesak.

Islam sebagai solusi Alternatif

Rusaknya kehidupan remaja ini menjadi PR kita bersama. Sudah waktunya kita mengembalikan identitas bangsa ini dengan melaksanakan hukum-hukum Allah. Mulai dari individu kita sendiri, menanamkan ketakwaan dengan memperbanyak menuntut ilmu untuk disampaikan kepada keluarga dan orang orang sekitar. Mengedukasi masyarakat dengan pola pikir dan pola sikap islami, agar terbentuk suasana persaudaraan dan saling menjaga satu sama lain, amar ma’ruf nahy munkarpun menjadi budaya. Lebih penting lagi adalah memilih para wakil rakyat dan pemimpin yang amanah dan mau mengimplementasikan nilai-nilai islam dalam kehidupan bernegara dalam semua bidang termasuk aspek hukum.

Wallahu a’lam bi shawab

Penulis : Endah Dwi Rohayati

Mahasiswi pasca sarjana, Hukum Tata Negara  di UIN Sunan Ampel surabaya

[email protected]