Perempuan dan Pasangan Hidup, Sebuah Opini

Dialog Metro TV tadi pagi menghadirkan motivator kondang Mario Teguh dan Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Mariana. Topiknya, seputar postingan Mario Teguh di situ jejaring sosial Twitter yang memicu kontroversi sehingga Mario sampai memutuskan untuk menutup akun Twitternya.

Postingan yang kontroversial itu menyangkut wejangan Mario soal memilih calon pasangan hidup yang baik. Salah satu point wejangan yang ditulis Mario adalah "Wanita yang pantas untuk teman pesta, clubbing, begadang sampai pagi, chitcat yang snob, merokok dan kadang mabuk, tidak mungkin direncanakan jadi istri" yang ternyata memicu polemik.

Saya tidak tahu sedahsyat apa polemik yang terjadi (karena akunnya keburu ditutup dan saya tidak bisa menelusuri tanggapan-tanggapan atas pernyataan tersebut). Tapi saya menduga, banyak kaum perempuan yang keberatan dengan point yang ditulis Mario itu ditambah melihat nara sumber pembanding yang dhadirkan dalam dialog Metro TV tadi pagi adalah aktivis perempuan dari Jurnal Perempuan.

Saya pribadi, sebagai perempuan, tidak keberatan apalagi tersinggung dengan pernyataan itu dan merasa tidak ada yang salah dengan apa yang dikatakan Mario Teguh itu. Jadi, kenapa harus diributkan? Kalau dugaan saya benar bahwa banyak kaum perempuan yang keberatan dengan pernyataan itu, adakah argumen yang masuk akal untuk menyalahkan pernyataan itu?

Rasanya dari sisi manapun, sulit mengatakan bahwa kaum perempuan yang suka melakukan hal yang disebutkan Mario di atas adalah perempuan yang baik. Nilai-nilai moral dan sosial yang berlaku universal saja, rasanya sulit menerima jika keluar malam, begadang sampai pagi, merokok dan mabuk (apalagi dilakukan oleh seorang perempuan) dianggap sebagai sebuah kepantasan. Bahkan di negara Barat yang pergaulannya bebas sekalipun.

Perempuan yang baik tentu paham mana yang pantas dan tidak pantas. Dan saya yakin, laki-laki manapun pasti berpikir dua kali untuk menjadikan perempuan seperti yang disebut Mario sebagai calon isteri, kecuali laki-laki yang bersangkutan punya kebiasaan yang sama.

Ini sekedar pendapat pribadi saja, tanpa bermaksud memandang rendah siapa pun atau membanggakan diri sebagai perempuan baik-baik. Pengalaman pernah meliput dunia hiburan memberi pemahaman pada saya, bahwa kehidupan (hiburan) malam hampir pasti dekat dengan kemaksiatan.

Anyway, saya salut dengan sikap Mario Teguh yang rendah hati mau minta maaf atas pernyataannya itu, meski menurut saya hal itu tidak perlu dilakukan seorang Mario Teguh.

Tapi sebenarnya ada hal penting yang saya catat dari dialog di Metro TV tadi pagi. Ini terkait dengan pernyataan Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Mariana yang mengatakan bahwa Mario Teguh sudah mirip seorang ahli agama dan bukan motivator terkait pernyataan Mario di atas.

Jujur saja, saya sempat tercengang mendengar tudingan itu dilontarkan seorang aktivis perempuan yang organisasinya selama ini dikenal sebagai pembela hak-hak asasi perempuan. Kalau Mariana memprotes Mario berdasarkan alasan bias gender, saya mungkin masih maklum. Biasalah, wacana feminisme. Tapi kalau sudah disangkutpautkan dengan agama, menurut saya sangat serius. Adakah agama yang merendahkan kaum perempuan sedemikian rupa, sehingga membolehkan kaum perempuannya keluyuran malem untuk tujuan bersenang-senang, apalagi merokok dan mabuk? Rasanya enggak ada yang agama yang seperti itu.

Pernyataan Mariana mengisyaratkan bahwa masalah mencari jodoh tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Sebuah karakter sekularisme yang ingin menjauhkan agama dari aspek kehidupan manusia. Buat kaum Muslimin, tentu saja pernyataan Mariana tak berlaku. Karena agama adalah pertimbangan penting ketika seseorang mencari pasangan hidup.

Nabi Muhammad Saw. dalam sebuah hadisnya yang mengatakan, "Perempuan dinikahi karena empat faktor. Karena hartanya, nasabnya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka menangkanlah wanita yang baik agamanya, maka engkau akan beruntung."

(Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, al-Nasa’i, Abu Dawud Ibn Majah Ahmad ibn Hanbal, dan al-Darimi dalam kitabnya dari sahabat Abu Hurairah ra.)

Pada akhirnya, saya cuma mengelus dada mendengar pernyataan Mariana dan membuat saya makin skeptis dengan wacara feminisme dan perjuangan membela hak asasi perempuan yang didengung-dengungkan para aktivis perempuan yang cenderung sekular ini. Buat mereka, atas nama hak asasi perempuan, perempuan yang suka keluar malam dan begadang sampai pagi adalah hal wajar.

Suara mereka begitu lantang ketika ada kaum perempuan dari kelompok ini yang mereka anggap sudah dilanggar hak-haknya. Tapi ketika ada perempuan, muslimah yang dilanggar hak-haknya, seperti dilarang mengenakan jilbab di tempat kerjanya, suara para aktivis perempuan itu nyaris tak terdengar. Membela hak kaum perempuan seharusnya juga memuliakan kaum perempuan. Bukankah begitu? (Magdalena. K)

catatan: Tulisan ini ditulis di blog lenakei.multiply.com dengan judul "Mario Teguh, Perempuan dan Pasangan Hidup."