Cemburu dengan Mertua

hijabiyahJam 10:25, tiba-tiba nada dering hp ku berbunyi, terlihat nama “Uwi Imoet”.
“Assalamualaikum, Ya, Wi… naon?”
“Ri… loe sibuk ga?? mau curhaaatt…”
“Gak juga.. Curhat apa Wi?” (begitu saya biasa panggil namanya – Uwi)
“Biasa soal si Mas dan mertua. Aku ke rumah mu ya say … sore ini. Gapapa ya…”
“Oo… oke silahkan sayang…” jawab ku

Singkat cerita, datanglah Uwi ke rumah saya sore harinya ketika cuaca di luar masih lumayan panas saat itu. Tanpa panjang lebar setelah berbasa-basi dan menyapa orang tua saya sebentar, Uwi nampaknya sudah tak sabar ingin menumpahkan isi hati dan kepalanya pada saya saat itu.

“Kenapa lagi Wi??” Tanya saya
“Ri… ampun deh. Si Mas nyebelin banget, masih aja dia sering bohong sama aku dan sering banget belain ibunya. Dia gak bilang kalo dia mau ngasih uang ke ibunya. Dia kayanya lebih belain ibunya ketimbang aku, Ri. Kalau kasih uang ke ibunya gak pernah bilang-bilang… kan sebel!” dengan muka nyinyir Uwi terus melanjutkan ceritanya.

“Aku juga kan butuh uang nya Ri, buat ini buat itu, bukan cuma ibu nya terus…” lanjut Uwi
“Terus?” tanya saya balik ditengah ceritanya.
“Gitu aja sih Ri… aku cuma ingin dia itu nggak fokus ke ibunya terus. Kan dia dah berkeluarga Ri, ada aku. Kalaupun dia mau kasih uang ke ibunya, ya bilang kek ma…” Jawab Uwi.
“Ooo.. . gitu toh…” jawab saya sambil senyum.
“Terus aku harus ngasih saran atau cukup dengarkan aja? “ lanjut saya dengan wajah sedikit meledek Uwi.
“Emang menurut kamu, aku mesti gimana?” tanya Uwi
“Hey cantik… aku paham banget soal kesel mu dengan si Mas. Tapi sudahkah kamu komunikasikan hal ini ke Mas?” tanya saya sebelum lanjut memberi masukan.
“Udah, cuma dia selalu bilang ‘ya itu kan ibu Wi…’ aku juga tahu itu ibunya..! “ jawab Dewi sambil menunjukan muka sebel.

****
Singkat cerita, curhat Uwi masih terus berlanjut ke saya tentang dirinya, suami dan mertuanya. Hmm.. sebetulnya saya mungkin bukanlah orang yang tepat untuk bisa memberikan masukan mengenai hal ini, karena saya pun belum mempunyai pengalaman menikah dan mempunyai mertua. Bukan hanya Uwi yang seringkali menyampaikan persoalan rumah tangganya ke saya, tapi ada juga beberapa kawan saya yang lainnya. Meski kadang saya bingung sendiri, mengapa kawan-kawan saya yang telah menikah justru menceritakan persoalan rumah tangganya ke saya yang belum mempunyai pengalaman menikah? Sampai pada akhirnya saya berpikir, mungkin mereka hanya butuh didengarkan keluhannya sekaligus saya bersyukur karena dari hal ini saya banyak mendapatkan pelajaran.

Kembali ke curhat kawan saya Uwi, bagi saya curhat ini menarik sekaligus membuat saya cengengesan sendiri. Kenapa begitu?

Ya, karena boleh dibilang Uwi sedang “cemburu” dengan mertuanya, yang sebetulnya menurut saya tidak perlu istri “cemburu” kepada mertua, terlebih mertua perempuan (ibu mertua). Simpel saja, toh suami yang dicintai dan disayangi ada, kan karena peran ibu mertua.

Darinya para suami hadir ke dunia sampai akhirnya mengenal dan menikah bersama sang istri. Alasan berikutnya, mertua sama saja dengan orang tua sendiri. Menghormati dan menghargai mertua sama dengan menghormati dan menghargai orang tua sendiri. So, berbakti dengan mertua sama dengan berbakti dengan orang tua sendiri.

Persoalan seperti kawan saya, Uwi, hanya dibutuhkan perngertian dan pemahaman. Persoalan tentang berbagi rezeki kepada sang ibu yang dilakukan oleh suaminya, menurut saya bukanlah persoalan besar yang harus diperdebatkan dalam rumah tangga, jika sang suami juga bisa mengomunikasikan hal ini dengan baik dan Uwi sebagai istri bisa lebih mengerti sekaligus memahami.

Seringkali saya juga berbincang-bincang dengan mereka yang sudah menikah mengenai persoalan-persoalan semacam ini, karena hal seperti ini lazim sekali terjadi diantara mereka-mereka yang sudah menikah. Banyak dari mereka berpendapat sama dengan yang ada dipikiran saya.

Mengapa mesti harus cemburu dengan mertua? semua bisa dibicarakan. Asalkan sepasang suami istri tersebut mau saling memahami dan mengerti keberatan masing-masing. Begitu kurang lebih apa yang disampaikan oleh rekan-rekan senior saya yang sudah menikah.

Untuk kisah yang seperti kawan saya, Uwi, saya memberikan masukan padanya agar mengajak suami bicara baik-baik dan menanyakan mengapa sang suami enggan menyampaikan padanya tentang rezeki yang dibagi untuk ibu mertuanya.

Bisa saja hal itu terjadi karena Uwi sendiri yang selalu berpandangan kurang baik dan kurang setuju dengan apa yang suaminya sampaikan dan lakukan. Termasuk soal pembagian rezeki untuk ibunya. Selalu ada alasan mengapa satu hal terjadi.

Begitu pun sang suami, melalui Uwi saya sampaikan untuk mendiskusikan dan menyampaikan segala sesuatu dengan Uwi (sebagai istri) tidak boleh ada yang ditutup-tutupi, karena hal ini untuk menjaga keduanya dari kesalahpahaman. Apalagi kalau sudah menyangkut uang, ini memang lebih sensitif.

Sepantasnya segala sesuatunya memang mesti dibicarakan bersama.

Sekali lagi, mungkin masukan yang saya sampaikan kepada Uwi masih ada yang kurang. Karena memang saya belum mempunyai ilmunya dalam hal ini. Terlebih menerapkannya. Saya hanya belajar dari orang-orang yang sudah menikah dan sari baiknya saya ambil sebagai pembelajaran kelak nanti jika saya menikah.

Namun satu hal yang memang penting saya sampaikan pula ke Uwi, bagaimanapun berbijak hatilah kepada mertua. Terlebih jika mertua itu baik dan selalu mendukung kebahagian rumah tangganya. Karena ketika menikah pada hakikatnya, mereka bukan sekedar mertua, tapi lebih daripada itu, mereka adalah orang tua yang mesti kita hormati dan sayangi seperti kita menyayangi dan menghormati orang tua kita sendiri. Pada saat saya menyampaikan kata-kata itu, Uwi hanya terdiam. Entah mungkin ia sambil berpikir.

“Cemburu kepada mertua seharusnya memang nggak perlu Wi… jika seandainya kita memahami posisi kita dan bagaimana bakti suami kita pada orang tuanya. Justru istri yang baik menurut ku adalah yang mendukung dan selalu mengingatkan suami untuk tetap menjaga baktinya dalam bentuk apapun pada kedua orang tuanya terutama ibunya…” Sambil melihat wajah Uwi yang masih terdiam tapi sudah sedikit mengeluarkan senyuman.

“Hehehe jadi nggak enak cerita kaya gini sama kamu Ri… “ Ucap uwi sambil cengengesan.
“Santai aja kali Wi, aku juga kan jadi banyak belajar,” sahut saya.
“Iya belajar terus, kapan prakteknya?!!” balik Uwi meledek
“Hahaha.. . Iya InsyaAllah, segera Wi!! Doa’in aja ya…” jawab saya sambil keki.

Perbincangan antara saya dan Uwi pun selesai. Uwi memeluk saya hangat dan pulang dengan senyum. Saya hanya berharap semoga saja Uwi bisa menerima apa yang saya sampaikan, tanpa terkesan saya sok tahu. Di akhir, saya sangat bersyukur, karena lagi-lagi saya sudah mendapatkan pembelajaran baru, agar lebih cerdas dalam berumah tangga kelak.

Rie
Ciputat, 08 Mei 2011, 22.30