Haruskah Wanita ke Palestina?

Terus terang rasa iri dan juga rasa sesal, mengapa ketika ditawari untuk ikut ke gaza Bulan Mei kemarin, aku tidak begitu memperhatikan. Oh ya, karena Bulan Mei aku sampaikan pada mbak Upi (dikoran terkenal dengan Nurfitri Taheer), karibku di Jisc, bahwa Bulan Mei kami sedang sibuk dengan penerimaan anak baru. Dan Bulan Juni awal anakku yang ada di boarding tahfidz school mau ambil raport, jadi tawaran itu berlalu seperti angin. Kemudian ketika di televisi pagi terdengar kabar bahwa Mavi Marmara dikepung oleh tentara Israel di lautan marmara yang pernah ku arungi dengan kawan-kawan dari KNRP (Komite Nasional Rakyat Palestina) membuat lamunanku terhenti. Aku tercekat dan suamiku tercinta mengajak aku berdoa untuk mereka. Maka dzuhur itu, ku tambah setengah jam lagi untuk duduk dan berdoa, sambil terus mengikuti perkembangan keadaan 800 penumpang di kapal Navi Marmara yang di tayangkan detik ke detik tentang pengepungan tentara Israel yang begitu mencekam. Bahkan kami pun bisa menyaksikan detik-detik menegangkan yang kami lihat beramai-ramai dari kantor kepala sekolah, IHH sebuah badan organisasi pembebasan palestina yang bertempat di turki, menyiarkan langsung melalui web yang bisa kami akses dengan bebas.

Kring… kring… bulu kudukku meremang, ketika sederet sms muncul di layar handphone bututku. Mbak Diana, istri pak Hidayat Nur Wahid, bertanya: “kamu lagi dimana”, dan jawabku “disini mbak”, lagi melihat berita dari IHH, “Hai… kamu tahu tidak, Upi itu ada di kapal Navi Marmara tersebut, Alhamdulillah kamu gak jadi ikut ya Fi”, demikian sms mbak Diana menunjukkan perhatiannya. “Aduh Upi…” dan aku terngiang kembali, candaannya di pesawat telepon, seminggu sebelum kami berpisah, aku ke Saudi dan Upi ke Turki. “Fi… belikan aku minyak wangi yang ada di depan gate Masjid Abdul Azizi, murah kok cuma 15 real, wanginya yang jasmine, dan doakan aku langsing ya… he… oh ya, mau ikut gak ke Gaza, ikut nyook, aku dah gabung di mercy, kami baru mau buat rumah sakit, tanahnya sudah ada dikasih Ismael…” terangnya seru.

“Mau Pi, ada lagi kapan? kalau yang Mei ini aku gak bisa karena aku sudah janjian sama anakku mau ambil raport, karena udah 2 bulan ni gak ketemu, anakku kan di Boarding, sendirian di negeri orang, kalau dia sudah hafal 2 juz lagi, ngejar target 10 juz satu semester, aku mau ikut kamu ke gaza, via mercy ya Pi, aku jadi asisten dokter aja, aku belajar nyuntik, masang perban dan latihan lari dulu” gurauku lepas. Namun terbersit niat kuat dihatiku, setelah Mei ini, aku akan ke gaza, iri pada Upi yang sudah dua kali ke sana. Bulan januari lalu, lagi-lagi aku tidak ikut karena anak perempuanku mau masuk pesantren dan isak tangisnya masih terngiang di telingaku karena suasana sekolah baru, kawan baru serta target hafalan yang baginya cukup berat. Namun setelah ku damaikan hatinya, akhirnya bebannya lepas juga, dan ketika anakku berhasil ku lepas tinggal di pesantren putri, maka lepas juga kesempatan bagiku untuk ikut Longmarch Gaza New Year pada 31 januari tahun 2010, 6 bulan yang lalu.

Dua kesempatan emas untuk bermalam di gaza lepas, satu karena anak perempuanku, yang kedua karena anak lelakiku yang sulung. ‘”Hmm… rejekimu, ya Pi, jabatan kita sih hari-hari cuma guru, ngurus buku, anak murid, bikin soal, nyetor nilai, sesekali makan enak di kantin, tapi semangat kita sebagai perempuan untuk ke gaza tak kunjung padam. Kita selalu berbagi motivasi, jika sedang sebal dengan lingkungan, karena gaji yang belum terbayar dikarenakan kabarnya banyak tunggakan dari iuran bulanan, juga ketika sedang kesal dengan pembantu yang pulang kampung dan tidak balik-balik, maka kita segera sama-sama mengibur. Wanita di Gaza lebih parah lagi, mereka tak ada suami, tak ada gaji, tak punya uang, tak ada anak yang lucu yang juga pada hilang kelucuannya begitu mendengar dentuman bom yang mencekam. Boro-boro kesal dengan pembantu, mau masak apa saja belum tahu, andai ada pembantu juga belum tahu apa yang mau disuruh, karena rumah yang akan dibereskan pun tidak lama lagi, ada kemungkinan luluh lantak terserempet rudal yang terbang bebas ke rumah sebelah.

Ketika membicarakan para suami pun, tak ada lagi rasa kesal, karena membayangkan banyaknya wanita pelastina yang sudah tak sempat lagi cemburu dan kesal pada suaminya, karena para suami wanita palestina sudah syahid satu persatu. Mereka sekarang mungkin sedang asyik bercanda dengan Ainun Mardhiyah, bidadari surga bermata jelita yang tidak menoleh kesana kesini. Tekad kami pun sebagai guru adalah, setelah ini dan itu selesai, maka kami akan rihlah ke Gaza. Sayang, impian pembelaan pada muslimin Palestina, bagi saya baru sebatas niat yang kuat, kaki belum juga terjun melangkah, sementara Upi, saudaraku tercinta sudah ada di Gaza dan sampai hari ini belum jelas dimana rimbanya. Andai aku anggukan kepala serta juga anakku tidak merengek untuk ku ambilkan raport semesterannya, mungkin Juni ini aku bisa memiliki mimpi semalam di Gaza. Mimpi yang tak pernah hilang dari bawah sadarku yang terus memukul sanubariku untuk segera berangkat ke Gaza. Dan dilema itu datang lagi, antara ketiga anakku yang membutuhkan ibu dan keinginan seorang wanita biasa yang berprofesi sebagai guru untuk menolong anak-anak palestina di Gaza.

Bungsuku yang lucu, hanya bisa menghitung hari. “Hari ini tanggal 6, tanggal 8 bulan Juni, hari lahirku, dan bila umi ke Gaza, aku mau mati saja, agar hari lahirku bisa ku rayakan dengan umi dan kita bertemu di awan sana,” sambil matanya menatap ke langit biru. Selain itu, bisiknya sendu, “jangan pergi umi, umi gak boleh pergi, Zaki gak mau umi ke Gaza, Zaki masih mau sama umi…” linangnya seru dan aku hanya memeluknya dengan gundah, melawan nafsu seorang wanita yang ingin ke gaza, padahal jujur belum tahu buat apa?. Hanya semangat membara namun tak jelas, apa yang akan ku lakukan dengan konsekuensi meninggalkan suami dan anak-anak.

Sejenak, rasa haruku membuatku membiru. Dengan iri ku bisikkan do’a, aku belum sekuat kamu Pi, dalam pelukanku aku belum rela melepaskan cintaku pada anak-anakku yang juga memerlukan ibu. Aku belum siap meninggalkan suamiku mengurus dirinya sendirian, walau mungkin sangat mudah mencari pengganti diriku, namun suamiku hanya menoleh tak setuju ketika ku ungkapkan niatku untuk berlabuh ke Gaza.

Aku belum sekuat kamu, sehingga ketika Diva anak sulungmu aku tanya, hanya menatapku sejenak dan tidak menolak ketika ku sodori satu kotak susu ultra dan satu kotak juz buavita rasa jambu ketika petang hari aku berada dirumah ibumu. ”Apakah kamu siap Diva bila bundamu syahid di Gaza?” Diva pun sambil mengelus rambut Harun adiknya mengangguk pilu, ”Insya Allah siap, Umi kembali lagi ke Gaza, katanya mau ambil baju kok, katanya bajunya tertinggal di Gaza, tapi kalau Umi tidak kembali dari Gaza, Diva sudah siap,” jawab Diva yakin. ”Tapi, kata Umi, kalau sudah SMP, Diva mau disekolahkan Umi di JIBBS (Jakarta Islamic Boys Boarding school), sekolahnya tante Fifi” lho… dan Umi mau pindah rumahnya di atas gunung, dekat JIBBS“.

Ala kulli hal, kamu pulang atau tidak dari Gaza, Piii… do’a dan cintaku pada Gaza, ku titipkan padamu, do’a dan cintaku padamu, wahai mujahidah ku titipkan pada awan yang terbang di langit biru. Tepat 2 minggu lalu, ketika ada wajahmu di televisi, (awan di Gaza sama kan Pi dengan awan disini?) sementara ini biarlah aku yang lemah merawat dan mendidik ketiga anakku dan ketiga anakmu, sampai engkau kembali pulang dengan membawa sejuta cerita untuk kami wanita Indonesia yang tidak juga berangkat ke Palestina, dikarenakan berat pada keluarga. Dan bagiku berjihadlah para wanita dengan kemampuan dan berbagai kesempatan yang ada.”

Dimanapun kalian berada, salam dari aku, wanita biasa yang hatiku erat ingin ke Gaza, namun kakiku terjerat cinta pada keluarga di Indonesia.

"Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya diantar ke dalam surga secara berombongan. Sehingga apabila mereka sampai kepadanya (surga) dan pintu-pintunya telah dibukakan, penjaga-penjaganya berkata kepada mereka, ‘Kesejahteraan (dilimpahkan) atasmu, berbahagialah kamu! Maka masuklah, kamu kekal di dalammya.’ Dan mereka berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah memberikan tempat ini kepada kami sedang kami (diperkenankan) menempati surga dimana saja yang kami kehendaki.’ Maka (surga itulah) sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal." [QS. 39: 73-74]

***

Quiz: Perlukah wanita berjihad sampai ke Palestina?