Surat Cinta untuk Bu Risma

rismaAnastasia

Alumni Pendidikan Bahasa Jerman UPI Bandung

Siapa yang tak kenal dengan sosok walikota Surabaya, setelah dinobatkan menjadi  wali kota terbaik dunia versi Citymayors, nama Risma kian melambung. Karir politik  Risma diawali dengan pengabdiaannya di pemerintah kota, saat menjabat Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan sampai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan hingga awal-awal menjabat Wali Kota Surabaya, Risma sering  mementingkan amanahnya. menurut penuturan  pengamat politik dari Universitas Airlangga Hariadi pribadi  Risma jarang mengeluh di depan media dan masyarakat. “Dia dikenal pejabat yang bekerja dengan diam,”. Tak jarang  Risma sering merogok kocek dari gajinya sendiri sampai ludes untuk menyumbang proposal-proposal permohonan bantuan dana yang menumpuk di mejanya. Proposal permintaan dana yang masuk umumnya untuk pembangunan masjid, panti asuhan, dan individu yang ingin memulai berwirausaha,  namun keadaan sedikit berubah setelah karir politiknya mulai digoyang-goyong wajah Risma mulai keluyuran curhat dibeberapa media, tentu saja hal ini terkait dengan isu sensitif pengunduran dirinya, padahal selama ini Risma  telah bekerja dengan sepenuh hatinya membenahi Surabaya.

Islam, menakar politik perempuan

Kalau kita lihat serpak terjang masa kepemimpinan Risma memang begitu banyak perjuangan dan pengorbanan, di sisi lain saat Risma di wawancarai secara ekslusif sambil mengucurkan air mata dia menuturkan keresahaan hatinya yang cape menghadapi tekanan politik yang begitu hebat, kita tidak bisa menggelak bahwa sosok walikota Risma adalah perempuan biasa, yang mempunyai nurani untuk menanggis, di sinilah letak permasalahannya karena dalam pandangan posisi perempuan begitu mulia, Allah mencipatkan fitrah peremupan penuh dengan kelembutan atas dasar itulah kepemimpinan tidak dibebankan kepada perempuan, bukan berarti kedudukan perempuan rendah dibandingkan laki-laki, namun perempuan mempunyai hak sama dengan laki-laki berserikat dalam memperoleh pahala sebagai dasar motivasi aktivitasnya. Sebagaimana Allâh berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ

“Siapa yang beramal shalih dari kalangan laki-laki ataupun perempuan sedangkan ia dalam keadaan beriman maka Kami akan menganugerahkan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan memberikan balasan pahala kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang mereka amalkan.” (QS al-Nahl [16]: 97).

Lantas bagaimana dengan ruang politik perempuan, perlu disadari bersama politik dalam pandangan islam tidaklah sesempit sistem demokrasi yang identik duduk dalam kekuasaan, politik islam jauh lebih produktif, dimana perempuan dan laki laki-lak mempunyai kewajiban sama  untuk mewujudkan kebaikan di masyarakat dengan cara amar ma’ruf nahi munkar, seperti Firman Allah dalam surat Ali-Imrân [3] ayat 110, “Kamu adalah sebaik-baiknya umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar”.  Inilah jaminan kesetraan politik bagi perempuan dan laki-laki, islam memandang peran keduanya sama, hanya saja Allah menciptakan kadar yang berbeda misalnya fitrah seorang perempuan Allah jadikan mereka mahkluk lembut sehingga amanah mendidik dan mengasuh anak ada dipundak perempuan, sehingga sifat feminim ini Allah ciptakan sebagai bentuk penjagaan kemulian dan kasih sayang, sedangkan laki-laki Allah berikan kekuataan fisik yang lebih kuat untuk menjadi seorang pemimpin, mencari nafkah memberikan perlindungan kepada isterinya sampai berjihad, atas dasar inilah kita melihat kondisi Risma begitu rawan  goncangan akan kekuasaan,  padahal Allah Maha Adil  memberikan porsi keduanya pada masing-masing tempat sesuai kadar fitrahnya, tentu saja ini semua semata-mata Allah ciptakan untuk kebaikan hamba-hambanya. Wallahu Alam.