Al-Quran Membolehkan Menyetubuhi Budak?

Assalamualaikum,

Pak Ustadz yang saya hormati karena Allah, langsung saja, saya ingin menanyakan: pada Surat Al-Mu’minuun ayat 5 – 6:

"Dan orang – orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isti – isteri mereka atau budak – budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.

"Saya telah mengerti yang dimaksud dengan isteri, namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah yang dimaksud dengan budak dalam ayat tersebut?

Mungkinkah Tenaga Kerja yang diperjualbelikan (maaf: seperti TKI, Pembantu yang melalui Penyalur) termasuk dalam kategori Budak?

Apakah Ayat tersebut masih cocok untuk diamalkan pada zaman kita sekarang ini?

Saya mohon penjelasan dari Pak Ustadz, dan atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu alaikum

Gunawan

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Budak yang dimaksud di dalam ayat tersebut bukan pembantu, bukan TKW dan bukan orang yang diperlakukan seperti budak. Budak yang dimaksud adalah budak betulan, lengkap dengan tatanan masyarakat, tatanan hukum dan tatanan ekonomi yang mengakui perbudakaan itu.

Boleh dibilang, budak yang dimaksud di dalam ayat itu pada saat sekarang ini nyaris sudah tidak kita temukan lagi. Namun hukum yang terkandung pada ayat itu tetap berlaku, tidak pernah dinasakh (dihapus). Yang terhapus adalah fenomenanya. Maksudnya, perbudakaan itu di zaman sekarang ini dengan segala perangkat dan sistemnya, sudah tidak ada lagi. Tetapi ayat dan hukumnya tetap ada.

Mungkin saja suatu saat nanti, manusia bisa sadar sepenuhnya sehingga memusnahkan semua jenis khamar. Sehingga tidak ada lagi khamar di muka bumi untuk kurun waktu berabad-abad. Maka dengan tidak adanya khamar dalam peradaban manusia, apakah ayat Al-Quran yang mengharamkan khamar lantas dihapus?

Jawabnya tentu tidak.

Ayat Al-Quran tidak akan pernah dihapus, baik hukumnya atau pun lafadznya. Sebab kalau kita mengatakan bahwa ada ayat yang dihapus, baik lafadznya atau hukumnya, maka kita telah mengingkari salah satu dari ayat Al-Quran. Dan hukumnya kufur.

Yang terhapus bukan ayat dan hukumnya, tetapi kondisinya. Dan sebuah kondisi bersifat sementara. Akan ada suatu zaman di mana kondisi bisa berubah. Sehingga khamar yang sudah musnah kemudian akan beredar lagi. Demikian juga dengan sistem perbudakan, mungkin sekarang ini sudah tidak ada, tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa perbudakan akan hilang selamanya?

Tidak pernah ada yang bisa menjamin bahwa suatu saat umat manusia kembali lagi masuk ke zaman perbudakan. Di mana budak itu secara hukum negara diakui secara formal sebagai komoditi yang bisa diperjual-belikan. Budak tidak punya hak untuk memiliki suatu harta, tetapi sebaliknya, dia malah dimiliki sebagai sebuah harta.

Di dalam sistem perbudakan, budak tidak dianggap sebagai manusia, secara de jure dan de facto. Dan seluruh manusia mengakuinya, termasuk para pakar hukum. Budak di mata hukum, hanyalah setengah manusia, sdangkan setengahnya lagi hanyalah hewan melata.Realita ini olehhukum positif yang berlaku diakui sebagai sesuatu yang legal.

Dan seorang laki-laki yang punya budak, boleh menyetubuhi budak perempuannya. Ini pun legal dan dibenarkan di dalam sistem hukum di masa perbudakan berlaku. Bukan hanya di tanah arab, tetapi juga di berbagai kerajaan baik yang ada di benya Eropa, Afrikamaupun Asia. Dan keadaan ini berlangsung berabad-abad lamanya, hingga syariat Islam turun di jazirah arabia.

Misi syariat Islam justu membebaskan manusia dari perbudakan. Bukan sekedar mengubah hukum yang berlaku untuk tiap budak. Sebab masalah budak terkait dengan konvensi dan hukum yang berlaku di tiap peradaban. Islam tidak bisa begitu saja tidak memberlakukan perbudakan. Yang dilakukan Islam adalah menutup semua pintu menuju perbudakan dan membuka lebar-lebar semua pintu untuk menuju ke arah bebasnya para budak.

Menyetubuhi Budak: Sebuah Kerendahan

Mungkin sebagian dari kita berpikir, wah enak juga ya punya budak, bisa menyetubuhi tanpa dinikahi’. Padahal sesungguhnya yang terjadi tidak demikian. Terutama untuk bangsa arab yang sangat menjunjung tinggi nilai seorang isteri.

Sudah menjadi adat dan tradisi bagi bangsa itu untuk menikahi dengan wanita terhormat. Dan untuk itu, secara finansial mereka punya level bargaining yang tinggi. Laki-laki arab tidak segan-segan untuk menggelontorkan seluruh hartanya demi untuk membayar mahar (maskawin) yang sedemikian mahal. Semakin tinggi nilai dan derajat seorang wanita yang akan dinikahi, maka semakin malah nilai maharnya. Dan semakin naik gengsi si laki-laki yang menikahinya. Dan urusan gengsi ini menjadi ukuran status sosial yang punya kedudukan tersendiri.

Mereka yang menikah dengan wanita bermahar murah, biasanya langsung mengalami penurunan ‘indeks harga diri’. Minimal sedikit terkucil dari pergaulan. Hanya karena menikah dengan wanita yang nilai maharnya agak rendah. Sebab kemurahan nilai mahar sedikit banyak menggambarkan status dan derajat keluarga si wanita. Dan buat bangsa arab saat itu, menikahi wanita yang maharnya murah akan sangat menjatuhkan gengsi dan wibawa.

Apalagi kalau sampai menikahi budaknya sendiri, maka ‘indeks harga diri’ akan langsung melorot jatuh. Dia akan tidak punya ‘muka’ di hadapan teman-temannya, karena bersetubuh atau menikah dengan budak. Sama sekali tidak ada yang bisa dibanggakan, bahkan memalukan.

Maka meski ayat ini menghalalkan hal itu, bukan berarti orang arab lantas senang. Sebab buat mereka, menikah dengan wanita yang berderajat tinggi adalah sebuah prestise tersendiri. Dan menikah dengan budak adalah sebuah ‘catatan tersendiri’ meski dihalalkan.

Maka di akhir ayat, Allah SWT menegaskan bahwa hal itu tidak tercela. Sebab memang buat bangsa arab saat itu, menyetubuhi dan menikahi budak memang agak membuat mereka terhina.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc