Kalimat Laa ilaha illAllah

2. Meyakini makna yang terkandung

Poin selanjutnya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang pertama. Artinya, pada tataran ini kita perlu meyakini esensi makna dari apa yang kita ucapkan. Jika kita mengucapkan laa ilaha illa Allah, selain kita perlu paham artinya kita juga perlu meyakini maknanya.

Hal ini bertujuan agar kita tidak terlihat Muslim dan beriman di luar saja. Akan tetapi iman dan Islam kita merasuk di dalam sanubari kita.

3. Memahami dan menerima konsekuensinya

Syarat ini adalah konsekuensi dari apa yang kita yakini. Artinya, jika kita sudah meyakini bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Allah-lah yang maha mengatur segala sesuatu di dunia ini, maka secara otomatis kita harus mematuhi apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang.

Sikap patuh ini bisa tercermin melalui laku kita sehari-hari dalam mengamalkan syariat Islam sesuai dengan ajaran Alquran dan Sunah Nabi ﷺ.

4. Ikhlas dan tunduk (inqiyad)

Setelah memahami makna, meyakini dan menerima konsekuensinya, ternyata untuk menjadi seorang Mukmin dan Muslim lahir batin diperlukan juga sifat ikhlas dan tunduk. Dalam hal ini yang di maksudkan dengan ikhlas adalah kita mengucapkan kalimat tersebut dalam keadaan suka rela dan senang hati. Bukan  karena ada paksaan atau kondisi tertentu.

Sehingga dengan begitu jati diri yang kita dapat adalah jati diri yang didasari oleh ketaqwaan dan kepasrahan kepada Tuhan yang menguasai langit bumi dan seisinya ini.

Sedangkan untuk syarat inqiyad atau tunduk ini adalah ketika kita sudah mengucapkan kalimat tauhid ini, maka saat itu juga semua hati, lisan dan pikiran harus dipasrahkan kepada Allah Swt. Dengan kata lain, kita otomatis sudah meyakini dan mengakui bahwa Allah-lah yang akan membawa kita kepada jalan dan takdir kita.

Sikap kita selanjutnya hanya perlu melakukan apa yang diperintahkan dan menjauhi semua yang dilarang. Dengan begitu berarti kita telah patuh dan tunduk kepada apa yang sudah digariskan.

Implementasi Tauhid dalam Kehidupan Seorang Muslim

Demikian beberapa syarat yang perlu dan harus dipenuhi saat kita mengucapkan kalimat Tauhid. Semua syarat-syarat di atas barang kali bertujuan agar apa yang kita ucapkan tidak hanya sebatas ucapan bibir semata, tetapi juga masuk dalam hati dan kesadaran kita. Sehingga konsekuensi makna yang terkandung dari kalimat tersebut bisa terimplementasikan dengan baik dan benar oleh setiap orang Muslim.

Sepenggal kalimat sakral yang memiliki arti mendalam ini, merupakan titik tolak jati diri seseorang dari belum beriman menjadi beriman. Yakni dari seorang non Muslim menjadi Muslim. Jika kita menghubungkan lebih jauh lagi dengan persoalan keimanan, maka akan dapat kita simpulkan bahwa domain Iman nyatanya tidak cukup dengan ucapan semata. Namun juga diperlukan keyakinan di dalam hati dan implementasi melalui diri kita.

Walaupun beberapa ulama berbeda-beda memberikan definisi tentang iman ini, namun secara mayoritas sepakat bahwa iman mencakup tiga ranah yakni pengucapan dengan lisan, pengakuan dengan hati dan implementasi dengan amal perbuatan.

Tiga ranah ini tidak bisa dipisahkan dalam membangun fondasi keimanan seseorang. Sehingga syarat-syarat di atas diperlakukan, dan wajar jika hal tersebut harus dipenuhi dan disadari betul sebelum mengucapkan kalimat tauhid la ilaha illa Allah.

Di samping itu, beberapa ulama juga menyimpulkan, bahwa dari kalimat yang singkat dan sakral tersebut, terlahirlah beberapa jenis dan bentuk tauhid. Dalam tatanan ilmu kalam, konstruksi keesaan Tuhan itu mencakup tiga hal, yakni rububiyyah-Nya, uluhiyyah-Nya, dan tauhid asma wa shifat.

Masing-masing dari ketiga bentuk ini memiliki domainnya sendiri-sendiri. Yang mana ketika seseorang mengaku dirinya beriman, maka mau tidak mau, ia harus merangkul dan mengusai ketiga domain yang terbentuk dari masing-masing jenis di atas.

Karena untuk menjadi seorang Mukmin yang utuh dan sempurna, maka beberapa aspek dari sepenggal kalimat sakral di atas tidak bisa kita tinggalkan. Bahkan walau hanya satu bagian saja. Bagaikan satu bangunan yang utuh, masing-masing dari aspek di atas akan saling menguatkan menjadi jaminan bagi kamu yang mengaku beriman.

Referensi

  1. Al-Imam al-Akbar Fakhruddin ar-Razi, At-Tafsi al-Kabir  al-Musamma bi Mafatihu al-Ghaib, Dar ihyai at-Turats al-Arabi, cet. III, Beirut.
  2. Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Al-Qaulu al-Mufid ala kitabi at-Tauhid.
  3. Manna al-Qatthan, Tarikh at-Tasyri al-Islami, Maktabah Wahbah, cet. IV, Kairo.