Membangun Masjid di Atas Kuburan

Ini adalah pertanyaan dari teman saya yang belum bisa saya jawab, yaitu tentang hukum membuat kuburan di dalam masjid. Bukan dengan niat mengkultuskan mayat orang yang telah mati tersebut, tapi agar lebih terjaga. Saya pernah membaca kalau kuburan nabi Muhammad itu terletak di dalam masjid dan yang saya tahu ulama tidak mempermasalahkannya. Dan saya pernah membaca juga kuburan Husain bin Ali yang di Mesir juga di dalam masjid. Namun ulama berbeda pendapat tentang hal itu.

Demikian yang mungkin bisa saya tanyakan, semoga ustadz bisa menjelaskan seputar masalah ini. Dan saya harap diberikan dalil dari nash dan buku rujukan yangyang berbahasa Indonesia dan turatsnya. Sekian jazakumullah khairol jaza.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, baik berbentuk masjid, mushalla, atau pesarean dan sejenisnya adalah haram hukumnya. Baik kubur itu kubur nabi Muhammad SAW, atau kuburan nabi-nabi yang lainnya. Apalagi kuburan orang biasa, meski punya derajat yang tinggi di tengah kemasyhuran umat.

Keharaman membangun tempat ibadah di atas kuburan telah disepakati oleh para ulama, karena telah ditegaskan di dalam hadits-hadits berikut ini:

Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur Nabi mereka sebagai masjid, (Aisyah berkata),’Kalau bukan karena hal itu, niscaya kubur beliau akan dinampakkan, hanya saja beliau takut atau ditakutkan kuburnya akan dijadikan masjid. (HR Bukhari)

Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah, tetapi janganlah kamu sekalian menjadikan kubur sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu dari perbuatan itu. (HR Muslim)

Ya Allah! Janganlah Engkau jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah. Allah sangat murka kepada orang-orang yang menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah.” (HR Bukhari)

Aisyah dan Ibnu Abbas ra berkata, “Tatkala Nabi menjelang wafat, beliau menutupkan kain ke wajahnya, lalu beliau buka lagi kain itu tatkala terasa menyesakkan nafas. Ketika beliau dalam keadaan itulah, Nabi SAW bersabda, “Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah.” (HR Bukhari dan Muslim)

Kuburan Nabi Muhammad SAW di dalam Masjid

Namun bagaimana dengan kenyataan bahwa di dalam masjid nabawi ada kuburan nabi Muhammad SAW? Bahkan bukan hanya ada kubur beliau SAW saja, juga ada kubur dua orang shahabatnya, Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Al-Khattab ra. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Dan bagaimana korelasinya dengan hadits-hadits di atas?

Untuk itu kita perlu mencermati dua hal, yaitu esensi dari hadits-hadits di atas serta sejarah kubur nabi SAW.

Hadits-hadits di atas secara tegas melarang membangun masjid di atas kuburan. Perbuatan ini disinyalir merupakan kebiasaan buruk umat terdahulu yang suka membangun tempat ibadah di kubur nabi dan orang shalih mereka.

Realitas kubur nabi Muhammad SAW yang kini ada di dalam masjid nabawi punya sejarah yang berbeda. Dahulu, kubur nabi Muhammad SAW itu tidak berada di dalam masjid. Sebelum nabi SAW wafat, masjid nabawi sudah tegak berdiri, berdampingan dengan rumah kediaman beliau. Selama lebih dari 10 tahun, umat Islam bersama Rasulullah SAW telah memanfaatkan masjid nabawi itu untuk beragam aktifitas,dari shalat sampai mengatur negara.

Ketika Rasulullah SAW wafat, beliau dikuburkan di dalam rumahnya sendiri, atau lebih tepatnya, di dalam kamar beliau. Dan begitu juga ketika khalifah Abu Bakar dan Umar wafat, keduanya juga dikuburkan di samping kuburan beliau SAW.

Sampai di sini, tidak ada masalah. Karena masjid dan kubur nabi SAW serta kedua shahabatnya tidak saling bercampur, masing-masing menempati lahan sendiri dan berdampingan.

Namun ketika zaman semakin berkembang, Masjid Nabawi sudah tidak mampu lagi menampung jamaah yang membeludak, maka tidak ada jalan lain kecuali memperluas masjid. Hingga pada akhirnya, terpaksa kubur nabi SAW harus tergusur untuk lahan masjid. Tentu saja rencana itu mendapat tentangan keras dari umat Islam. Bayangkan, memindahkan kubur nabi SAW, Abu Bakar dan Umar ra? Tentu sebuah penghinaan besar atas jasad mereka.

Maka akhirnya disepakati bahwa kubur itu tidak boleh dipindahkan, hanya karena alasan masjid harus diperluas. Maka jadilah seperti sekarang ini, kubur mereka ada di dalam masjid.

Untuk menghindarkan dari larangan shalat menghadap kuburan, maka dibangunlah dinding pemisah yang memisahkan kuburan dengan shaf jamaah yang shalat. Dan cara inilah yang telah disepakati oleh para ulama sepanjang sejarah hingga hari ini.

Adapun kasus kuburan imam Al-Husein di Kairo Mesir, juga kuburan Sayyidah Zaenab di Damaskus dan Kairo, bahkan kuburan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumullah memang menjadi bahan khilaf di tengah para ulama.

Mengingat sekarang di atas kuburan mereka itu kini berdiri masjid. Dan posisi kuburannya memang tepat berada di dalamnya. Padahal sebelumnya tidak ada masjid, kecuali setelah ada kuburan. Itu berarti masjid-masjid itu memang dibangun setelah kuburannya ada.

Misalnya kuburan Al-Imam Asy-Syafi’i di Kairo yang pernah kami datangi, berada tepat di tengah masjid, sehingga di sekelilingnya ada ruang untuk berkeliling (bertawaf). Perbuatan ini sungguh merupakan bid’ah sesat yang dilakukan oleh orang bodoh. Seandainya Al-Imam Asy-Syafi’i bangun dari kematiannya dan menyaksikan orang-orang bertawaf di sekeliling kuburannya, pastilah beliau murka. Sebab ilmu-ilmu yang beliau wariskan kepada kita sangat bertentangan dengan prilaku orang-orang itu.

Seharusnya kalau mau meniru kasus kuburan nabi SAW, paling tidak kuburan itu diposisikan di luar masjid, lalu diberi dinding pemisah. Apalagi mengingat masjid itu tidak terlalu banyak menyedot jamaah sebagaimana Masjid Nabawi yang memang dianjurkan untuk diziarahi.

Adapun pendapat sebagian kalangan yang mengharuskan kuburan itu dibongkar dan dipindah ke tempat lain, memang bisa saja diterima. Namun tentu masalahnya tidak sederhana. Sebab terkait dengan kerelaan pihak kelurga, juga masalah biaya, ketersediaan lahan dan seterusnya.

Sementara merobohkan masjid yang sudah terlanjur berdiri juga bukan jalan keluar yang bijaksana. Bukankah seharusnya kita membangun dan memakmurkan masjid, mengapa justru kita malah harus merobohkan masjid, hanya lantaran?

Namun ke depan, seandainya ada tokoh yang dimuliakan wafat, jangan sampai ada lagi keinginan untuk membangun masjid dan tempat ibadah di atas kuburannya. Sebab hal itu memang dilarang dalam syariat Islam. Apalagi kita tidak diperbolehkan untuk meminta-minta sesuatu kepada kuburan. Jadi buat apa harus mendirikan masjid di atas kuburan?

Apabila engkau meminta, maka mintalah kepada Allah dan apabila engkau memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah.” (HR Tirmidzi, hasan shahih).

Dirikanlah masjid di tempat-tempat manusia yang hidup membutuhkan sarana ibadah. Misalnya, di kantor-kantor, mal, pusat perbelanjaan, stasiun, airport, tepi jalan tol (bukan di tengah-tengahnya), kampus, sekolah dan lainnya. Mengingat di tempat-tempat itu banyak terkonsentrasi manusia dengan sangat padatnya, tapi fasilitas tempat shalat justru sangat minim.

Wallahu a’lam bishshawab, wasalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.