Membatalkan Baiat, Apakah Ada Kaffarahnya?

Assalamu alaikum wr. wb.

Ustadz Ahmad Sarwat yang semoga selalu dirahmati Allah. Saya mohon penjelasan terhadap masalah yang dihadapi. Saya pernah berbaiat amal dengan salah satu harakah Islam yang "baik" menurut saya. Setelah berjalan sekian lama, ada beberapa hal yang saya merasa tidak sanggup terus tetap dengan jamaah tersebut, dan bermaksud "mundur" dari jamaah tersebut. Apakah ada kafarah bagi saya? Mohon jawaban dari Ustadz. Atas jawaban dari Ustadz saya ucapkan terimakasih.

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Bai’at adalah janji setiap kepada imam atau kelompok tertentu, atas ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dahulu Rasulullah memita kepada para shahabat untuk berbai’at anshar, saat menjelang hijrah ke Madinah. Tersebut ada dua kali bai’at khusus untuk masalah ini, yaitu Bai’at Aqabah I dan II.

Selain itu di masa Rasulullah SAW juga kita kenal ada Bai’at Ridhwan, yang dilakukan di bawah pohon. Peristiwa ini diabadikan di dalam Al-Quran Al-Kariem:

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat. (QS Al-Fath: 18)

Pada masa berikutnya, bai’at identik dengan pernyataan kesetiaan dari para shahabat untuk mengangkat Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. sebagai khalifah Rasulullah SAW dan amirul-mukminin (pemimpin tertinggi orang-orang beriman). Demikian juga Umar bin Al-Khattab ra, Utsman bin Al-Affan ra dan Ali bin Abi Thalib, ketika merekamenjadi khalifah-khalifah berikutnya, prosesinya dengan cara orang-orang berba’iat kepada mereka.

Di zaman sekarang ini, beberapa jamaah dan kelompok Islam juga menggunakan prosesi bai’at untuk mengangkat pemimpin di antara mereka. Jamaah yang menjadi anggota kelompok itu berbai’at untuk mengakui pimpinan mereka sebagai orang yang akan dipatuhi dan ditaati, dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Namun dalam suatu kasus tertentu, mungkin saja terjadi ketidak-sepakatan antara anggota dengan pimpinan yang terlanjur diba’atnya, baik karena faktor internal maupun eksternal.

Kejadian seperti ini bukan hal yang aneh, sebab sepanjang sejarah, memang seringkali terjadi. Dan kejadian seperti ini sangat manusiawi, karena tidak selamanya seorang imam itu berjalan di atas manhaj yang benar, ada kalanya seseorang itu lalai. Demikian juga, tidak menutup kemungkinan ijtihad suatu jamaah itu meleset dari arah semula. Dan masih banyak hal lain yang bisa menjadi faktor hilangnya tsiqah (kepercayaan) dari seorang anggota kepada jamaahnya.

Kita tidak bisa memudahkan masalah dengan langsung memberi vonis bahwa siapa yang pernah berbai’at, lalu mencabut kembali kesetiaannya, adalah pengkhiatan yang halal darahnya. Sebab yang namanya bai’at itu berbeda dengan syahadat. Bai’at hanya ikrar kesetiaan kepada imam atau jamaah tertentu, sedangkan syahadat adalah ikrar untuk menjadi muslim. Keduanya tentu sangat berbeda dan aneh kalau dicampur-aduk.

Melanggar Sumpah

Dalam syariah Islam, orang yang sudah terlanjur berjanji atau bersumpah, lalu karena satu dan lain hal, dia tidak mampu melaksanakan janji dan sumpahnya itu, maka dia wajib membayar denda (kaffarat). Sebagaimana yang telah didijelaskan di dalam Al-Quran Al-Kariem.

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud, tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur. (QS Al-Maidah: 89).

Jadi pilihan kaffarahnya ada tiga macam ditambah satu macam bila tidak sanggup, yaitu:

  1. Memberi makan sepuluh orang miskin
  2. Memberi pakaian kepada mereka
  3. Memerdekakan seorang budak
  4. Puasa selama tiga hari

Namun tidak ada salahnya sebelum seseorang mencabut kesetiaan kepada pemimpin yang telah dibai’atnya, perlu dipikirkan masak-masak dan dipertimbangkan dengan kepala dingin. Agar jangan sampai tindakan keluar dari jamaah itu malah memperparah hubungan persaudaraan kita dengan sesama muslim.

Dan kondisi di mana seseorang atau sebuah faksi di dalam sebuah jamaah menyempal dan membuat kelompok kecil adalah fenomena yang tidak terlalu bisa dibanggakan. Apalagi bila urusannya sekedar pergesekan (friksi) masalah kekuasaan di dalamnya serta pengaruh persaingan jabatan dan kepentingan. Tentu hal ini justru memalukan. Wajah umat Islam yang selama ini memang sudah agak tercoreng akan semakin tidak menarik lagi. Dan semakin banyak sempalan-sempalan yang menyempal lalu saling dorong, saling jegal dan saling menghabisi di antara mereka, bukanlah pemandangan yang indah.

Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (QS Ar-Ruum: 31-32).

Sesungguhnya ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka. (QS Al-Mu’minun: 52-53).

Semoga Allah SWT menyatukan hati kita di dalam iman dan taat kepada-Nya dan menjadikan kasih sayang di antara kita sebagai ikatan yang terbaik.

Wallahu a`lam bishshowab. Wassalamu `alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ahmad Sarwat, Lc.