Percaya pada Ramalan Apa Hukumnya?

Pak Ustadz yang terhormat, bagaimana hukumnya orang yang percaya pada suatu ramalan yang menggambarkan tentang kehidupannya. Dia beranggapan, mempercayai ramalan tersebut sebatas yang baik-baiknya saja merupakan sesuatu yang tidak salah sedangkan ramalan yang jelek dia tidak mempercayainya. Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Bahasa Arabnya peramal adalah ‘arraf. Istilah ini mencakup setiap orang yang mengklaim mengetahui hal-hal gaib, baik tentang masa mendatang atau yang ada pada hati manusia, baik dengan cara berhubungan dengan jin, atau melihat (mengamati), atau dengan menggaris-garis di pasir atau membaca alas gelas minum atau dengan cara lainnya.

Perbuatan menjadi peramal adalah perbuatan dosa. Dan tidak ada peramal kalau tidak ada orang yang datang minta diramal. Karena itu, hadits nabi bukan hanya melarang praktek meramal, tetapi mendatangi peramal pun juga dosa.

1. Shalatnya Tidak Diterima 40 Hari

Disebutkan bahwa shalatnya tidak diterima sebanyak empat puluh hari. Nauzu billahi min zalik. Rasulullah saw bersabda:

Siapa yang mendatangi ‘arraf lalu ia menanyakan sesuatu dan membenarkannya, maka tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari. (HR Muslii dan Ahmad)

2. Kufur kepada Agama Islam

Barangsiapa mendatangi Kahin (dukun), lalu membenarkan apa yang diucapkannya, niscaya ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. (HR Abu Daud, at-Tirmidz Ibnu Majah, Ahmad dan ad-Darimi)

Sebab, di antara (ajaran) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. adalah bahwa hal-hal yang gaib tidak ada yang mengetahuinya selain Allah.

Allah berfirman:

Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah." (QS An-Naml 65)

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya selain Dia sendiri. (QS AI-An’am: 59)

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya. (QS Jin: 26 – 27)

Bahkan Nabi Muhammad saw sendiri tidak mengetahui hal-hal ghaib kecuali yang diberitahukan Allah kepadanya melalui wahyu, karenanya Allah berfirman kepadanya:

Katakanlah, “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bag’i diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah, dan sekiranya aku men getahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman." (QS Al-A’raf: 188)

Begitu juga jin, yang oleh para tukang sihir dan dukun dimintai pertolongan, mereka juga tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui hal-hal gaib. Al-Qur’an menceritakan bahwa jin-jin Nabi Sulaiman ‘alaihis-salam tidak mengetahui kematian beliau.

Maka tatkala ia (Sulaiman ‘alaihis-salam) tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka men getahui yang ghaib, tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan. (QS Saba’: 14).

Karena itu, membenarkan para dukun dan peramal -yang mengaku mengetahui hal yang gaib- adalah pengingkaran (kufur) terhadap ayat-ayat yang telah diturunkan Allah.

Jika mendatangi dan membenarkan mereka demikian buruk kedudukannya dalam agama, maka bagaimana dengan para dukun dan peramalnya sendiri? Mereka telah melepaskan diri dan agama dan agama berlepas diri dan mereka, sebagaimana dalam hadits:

“Tidak termasuk golongan kami orang yang melakukan tathayyur atau minta di-tathayyur, atau menjadi dukun atau minta dibuatkan perdukunan untuknya, atau menyihir atau minta disihirkan untuknya.” (HR Al-Bazzar dengan isnad jayyid)

Tathayyur berfirasat buruk, merasa bernasib sial, atau meramal bernasib buruk karena melihat burung, binatang atau apa saja.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.