Syahganda Nainggolan: The Market For Lemons, Theory Of The Second-Best dan Pilpres 2019

Kedua teori ini coba kita gunakan untuk menjelaskan fenomena politik kita pada pilpres kemarin.

Pada pertengahan tahun 2017, sahabat saya ketika mahasiswa, sebut saja PA, memberitahu saya, bahwa dia (mengaku) mendesain hanya dua capres yang berlaga pada 2019. Hanya Jokowi melawan Prabowo.

Dengan hanya Jokowi dan Prabowo menguasai bursa pilpres, maka masyarakat terjebak pada dua pilihan saja. Dua pilihan ini tidak menimbulkan gairah keingintahuan tentang kandidat, karena mereka sudah pernah dipertarungkan pada tahun 2014.

Bahkan kepada PA saya mengkritik desain dia itu akan membuat perpecahan di masyarakat pasca Pilkada DKI akan semakin tajam. Sebaiknya capres harus lebih dari dua pasang.

Jika kandidat yang muncul bisa bebas sebanyak2nya, dengan membebaskan Presidential Threshold mendekati nol persen, maka akan muncul beberapa nama besar seperti Anies Baswedan, Gatot Nurmantyo, Sukarwo, Puan Maharani, dan lain sebagainya.

Tanpa gairah baru, situasi pertarungan “rematch” Jokowi vs. Prabowo membuat informasi yang perlu digali terkait keberhasilan incumbent, tidak menjadi penting. Sebaliknya informasi tentang penantang juga tidak ada yang menarik.

Asimetri informasi dalam kasus pilpres Jokowi vs Prabowo terjadi karena pilihan pasar terperangkap pada ketidakingintahuan.

Dalam kasus Arkelof, asimetri informasi terjadi karena memang sulit mengetahui informasi “used car”, baik kondisi-konsidi komponennya, maupun karena adanya informasi yang disembunyikan penjualnya untuk bisa mempunyai harga bersaing.

Pada pilpres, tidak terjadi penilaian kinerja petahana, seperti 66 janji kampanyenya di tahun 2014, termasuk “buyback” Indosat, misalnya, maupun di sisi penantang, soal bagaimana kehidupan Prabowo, yang lebih baru infonya.

Pasar tidak bergairah, yang ada hanyalah cenderung fanatisme buta.

Berbeda pada pilpres 2004, persaingan sempurna terjadi di pasar, karena incumbent (petahana) bersaing dengan SBY dan Wiranto, dengan juga wakil-wakilnya, yang menawarkan berbagai hal-hal baru, sehingga masyarakat bergairah dan mencari “produk terbaik” dengan “harga terbaik” pula. Begitu juga ketika Jokowi masuk ke bursa capres, 2014, ada gairah di masyarakat.

Pada tahun 2019, Gatot Nurmantyo berusaha masuk ke pasar pilpres dengan menggoda parpol PKB, PD, dan PAN, menggandeng Cak Imin atau Sutrisno Bachir, namun gagal atau digagalkan.

Anies Baswedan sendiri berusaha masuk ke bursa capres, namun hanya ditawarkan cawapres oleh Prabowo.

Kondisi dua capres pada pilpres 2019 mendorong second best theory mendapatkan tempat. Pemilih Prabowo awalnya coba melihat “jualan” New Prabowo yang digadang-gadang Sandiaga Uno.