Syahganda Nainggolan: The Market For Lemons, Theory Of The Second-Best dan Pilpres 2019

Seorang wakil ketua Gerindra, sebut saja FJJ, misalnya saat itu kecewa dengan pakaian Prabowo ala Mao Zedong, itu-itu saja.

Saya memberi dia buku New Power untuk melihat perspektif old power berbasis loyal total pada brand sudah ditinggalkan. Prabowo, menurut konsep “New Prabowo” harusnya pakai pakaian yang modis, namun tidak terjadi.

Dan seharusnya lagi mempunyai pikiran-pikiran baru di luar jargon anti asing dan aseng, serta berdamai dengan kapitalisme global.

Karena ternyata Prabowo tetap sama dengan Prabowo tahun 2014, Sandi lah yang membuat sesuatu yang baru, melengkapi Prabowo. Sandi mengetengahkan ide-ide millenial dan emak-emak.

Tanpa ada yang baru, pemilih Prabowo akan berpikir second-best, memilih Prabowo dengan asumsi sama atau lebih baik daripada memilih Jokowi.

Pemilih Prabowo yang dominan massa 212 tidak melihat Prabowo ini mewakili keislaman mereka. Misalnya, ketika Prabowo menunjuk Djoko Santoso sebagai ketua tim sukses. Djoko adalah tokoh sekuler dan “pembabtisan” Djoko dilakukan dengan pemberian keris, ala Jawa, pada hari ulang tahun Djoko di kediamannya.

Namun, massa Islam yakin bahwa Prabowo akan lebih membela Islam dibanding Jokowi. Sehingga, kembali kepada teori, Prabowo adalah the second best.

Dalam pengembangan teori second-best yang dikaitkan para ahli dengan “arrow’s impossibility theorem”, hubungan preferensi sosial yang datang dari preferensi pemilih individulal, menuju aggregat, akan terjadi sempurna jika tidak ada diktator atau kekuatan yang merusak “social choice rule”. Dengan hanya dua calon, di mana Jokowi sebagai petahana, potensi mengendalikan “social choice” terjadi.

Teori the second-best kembali diperlihatkan Prabowo dan Jokowi pada akhir babak pertarungan mereka. Prabowo yang semula akan melawan Jokowi sampe titik darah penghabisan dan memanggil notaris untuk membuat surat wasiat, akhirnya memilih isu persatuan bangsa, bertemu Jokowi dan mengakui kekalahannya.

Jokowi juga melihat pilihan second-best untuk menjaga persatuan. Keduanya kemudian memilih dihujat pendukung-pendukungnya, karena mengurangi persepsi pendukung bahwa pilihan mereka selama ini murni, tidak terdistorsi.

Penutup

Penggunaan kedua teori di atas sebenarnya hanya untuk membuka diskusi. Teori ini sebenarnya teori mikro ekonomi dan welfare ekonomi, yang mungkin bisa dikembangkan untuk menganalisa situasi politik pilpres, dengan meminjam teori itu sebagai model logik.

Namun, itu tetap meninggalkan pertanyaan besar, jika kita memasukkan teori besar, seperti teori konspirasi, apakah pertarungan Jokowi vs Prabowo ini sudah di desain sempurna sejak awal? Apakah Prabowo terlibat dalam desain ini? Mengapa perlu ada desain ini?

Jika kita masuk ke arena itu, maka dua teori semula menjadi kurang indah digunakan. Dan kita menjadi akan bertanya, apakah Indonesia suatu saat punya kesempatan menentukan capres secara transparan, akuntabel dan jujur? [kl/glr]

*) Penulis: Dr. Syahganda Nainggolan, Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle