Ada ‘Ghost Fleet’ dalam Isu Aceh, Telaah Singkat Geopolitik

Eramuslim.com – “Wong wani kudu duwe bunci, wong kendel kudu duwe piandel”. Itulah ujaran leluhur Jawa yang hingga kini tetap beroperasi dalam alam pikir masyarakat pada umumnya dan orang Jawa pada khususnya.

Inti maknanya begini, bahwa macam apapun keberanian haruslah berbekal “modal”, dan macam manapun orang berani harus ada hal yang menjadi “andalan”. Selanjutnya, modal serta andalan tersebut mutlak harus sesuatu yang riil, bukan cuma mitos, bukan angan-angan, delusi atau tidak sekedar “angin surga”. Tanpa keduanya, maka keberanian itu cuma nekad. Nekad itu sikap dan tindakan yang cenderung putus asa. Tak elok. Itu perilaku suyyet, golongan lelah jiwa.

Pertanyaannya kini, apakah isu referendum yang ditebar oleh Mualem —ex Panglima GAM— ke publik ialah sesuatu tanpa modal dan andalan? Jawabannya: “Tidak”. Kenapa? Karena secara geopolitik, bagi Aceh —syarat eksistensi sebuah negara yang meliputi jaminan pasokan atas air (bersih), pangan dan energi (water, food and energy security) bagi rakyat Aceh niscaya mampu dipenuhinya. Ia ada, berserak, bahkan berlimpah. Artinya, jika kelak memisah diri dari NKRI kemungkinan Aceh justru lebih makmur dibanding kondisi dan keadaan sebelumnya, karena selain ketiga syarat di atas terpenuhi, Aceh juga memiliki unique resources (ganja terbaik di dunia).

Dalam beberapa hal, jika ada manajemen strategis yang mampu mengelola, ia akan punya industri kedokteran yang dipandang dunia dari produk ganja. Ia juga punya pelabuhan Sabang yang sangat strategis karena faktor posisi pada lintasan Selat Malaka, selat tersibuk kedua di dunia setelah Selat Hormuz, Iran.

Ya, bisa jadi Aceh lebih makmur daripada Brunei yang hanya bergantung minyak. Atau ia dapat maju seperti Singapura yang hanya mengandalkan jasa pelabuhan dan pariwisa, atau lebih hebat dibanding Korea yang tak ada SDA sama sekali. Itulah gambaran sekilas geopolitik Aceh.

Sekarang menengok geopolitik Jakarta. Ibarat pertarungan tinju, sang juara (pemerintah pusat) tengah menghadapi gempuran dari segala penjuru. Hampir lengkap serbuan. Entah pukulan jab-jab, straight, long hook, maupun upper cut dari si penantang. Double cover jebol. Ingin lempar handuk, malu. Soal harga diri. Mau terus bertahan kian babak belur.

Dan sesungguhnya, riil gempuran ialah gunungan utang yang tengah menunggu jatuh tempo, misalnya, atau rupiah kian melemah di mata US Dollar, defisit neraca perdagangan, ataupun viral dugaan dan tuduhan kecurangan pemilu dll. Kondisi si juara kini, seperti simalakama. Buah dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak yang mati. Guyon. Apabila diserahkan orang Minang, mungkin dijual. Selain terhindar dari mara bahaya juga malah dapat untung. Naluri pedagang memang jarang salah. Mereka tahu tentang “barang”. Ini selingan.

Dan tak boleh dipungkiri, isu referendum Aceh berhembus justru di tengah kegaduhan politik menuju “skema akhir” pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK), usai tahapan Quick Count (isu) dan penetapan KPU (tema) yang pro kontra. Memang menarik banyak kalangan terutama pihak dan kubu yang tengah berseteru. Dan isu Aceh bukanlah faktor tunggal berdiri sendiri, sebab hari ini, hampir tidak ada diksi kebetulan di setiap isu yang muncul di permukaan.

Ada yang mengatakan bahwa isu referendum merupakan reaksi “kegelian” atas peristiwa (dicolek) di Jakarta, ada yang bilang bahwa isu tersebut akibat MoU Helsinki tercederai, dll. Apapun asumsi dan praduga, sah-sah saja.

Apakah isu Aceh merupakan bola liar dilepas untung-untungan (berjudi) oleh Mualem? Bisa iya, pun bisa tidak. Tergantung persepsi. Tetapi telaah geopolitik memberi isyarat, bahwa bila tanpa penanganan yang cermat, konsepsional dan strategis dari pusat, bisa-bisa ia menjadi snawball proceess membesar serta kian meluas pada daerah-daerah lainnya. Vivere Pericoloso. Negara dalam keadaan bahaya.

Di sini pentingnya pemahaman geopolitik bagi stakeholders terutama para elit politik dan perumus kebijakan. Kenapa? Karena muara ilmu geopolitik ialah KESELAMATAN NEGARA, tidak seperti ilmu politik yang mana tujuannya merebut serta mempertahankan kekuasaan semata. Sekali lagi, tanpa pemahaman dan penyelesain berbasis geopolitik, sepertinya GHOST FLEET-nya PW Singer hendak berlabuh di Ibu Pertiwi.

Demikian telaah singkat geopolitik perihal isu referendum, semoga menjadi bahan kajian dan kontemplasi elit politik dan perumus kebijakan. []

*) Penulis: M. Arief Pranoto, Peneliti Senior Global Future Institute