Agnez Mo, Anies Baswedan, dan Sukanto Tanoto dalam Nasionalisme Kita

Lalu bagaimana soal pribumi vs nonpribumi? Senator Mc Cain, 2008, di Pilpres USA, sebagai penantang Obama, pernah mengatakan, Obama bukanlah pribumi. Lebih tepatnya Mc Cain menyebut “American Heritage” berasal dari Anglo Saxon, bukan Afrika seperti Obama.

Namun, McCain gagal memberi perspektif yang bertentangan soal siapa Bangsa Amerika. Sebab, semua orang Amerika adalah pendatang, setidaknya mereka menganggap begitu. Warga negara Amerika kemudahan adalah siapapun yang lahir di Amerika.

Anies juga bicara soal kemajuan kaum pribumi, pada tahun 2017, ketika  pidato kemenangan dia sebagai Gubernur DKI, 2018 (lihat Syahganda dalam “Anies, Mandela dan Evo Morales: Aspek Teoritik dan Sejarah Perjuangan Pribumi”). Kala itu dia menyebutkan akan berjuang untuk kemajuan pribumi. Namun isu itu surut ketika Anies dilaporkan warga ke polisi karena dianggap rasis, dan dia juga diejek bukan pribumi alias Arab, oleh sebagain nitizen.

Namun, jika melihat kasus Bahlil yang besar di Papua dan anak-anak “pendatang” (lahir dan besar di Papua) korban kebiadaban Wamena beberapa waktu lalu, bukan dianggap asli maupun pribumi di sana, maka asli dan pribumi itu terlihat pula memiliki tempat dalam khazanah politik kita. Bahkan di Papua, hanya orang Papua asli alias pribumi yang boleh jadi Gubernur di sana.

Lalu apakah Anies membedakan antara pribumi vs asli? Dari apa yang terlihat, semangat Anies memperjuangkan pribumi adalah nyata. Jika Anies, yang pasti sadar bahwa dia adalah turunan Arab, bukan asli namun cinta pribumi, maka dapat dipastikan itu adalah spirit ke-Indonesiaan dan patriotisme yang dimilikinya sama dengan kakeknya, A. R, Baswedan, memilih berjuang bersama pribumi Indonesia melawan Belanda.

Sikap Anies ini berbeda dengan Sukanto Tanoto.  Sukanto Tanoto, yang kekayaannya melimpah ruah karena berbagai “kemudahan” bisnis di Indonesia malah menyatakan bahwa RRC-lah ayah kandung dia. Ini tentu sebuah gambaran buruk dwi identitas dibanding Anies tadi. Seharusnya Sukanto menjadikan Indonesia “ayah kandung” untuk berbakti, bukan sebaliknya.

Tantangan Nasionalisme Kita

Apakah Agnez perlu pindah ke neraka? Soal Agnez ini adalah soal identitas sosial belaka. Masalah kontestasi identitas ini mungkin menyakitkan masyarakat awam, khususnya, jika Agnez yang sudah dianggap Indonesia, kemudian terkesan menyepelekan Indonesia.

Saya bukanlah orang awam yang larut dalam perdebatan semu soal Agnez. Sedikit kecewa, mungkin. Tapi bagi saya, Agnez adalah gadis jujur belaka, yang mengungkapkan tentang dirinya, sebagai sebuah klarifikasi sosial.

Dalam zaman global ini, Agnez dan fenomena sebagian masyarakat sebagai anggota atau bagian “global community” merupakan keniscayaan, khususnya di kota-kota besar. Mengapa saya tidak menganggap ini terlalu penting, karena Agnes tidak melibatkan negara, bangsa dan masyarakat Indonesia pada urusannya tersebut.

Tentu hanya orang awam pula yang perlu atau punya “hak” menista Agnez, sebaliknya orang-orang politik atau mengerti politik, akan menjadi “misleading” ikut dalam polemik isu Agnez. Artinya, dalam “political sphere” maupun “public domain”, soal Agnez ini tidak merugikan.

Namun, soal “Anies dan Pribumi”, “Archandra dan Dwi Kewarganegaran”, “Sukanto Tanoto dan Bapak Kandung” serta “Bahlil dan Asli Papua”, merupakan tema politik dan harus dibahas serius oleh pemimpin-pemimpin bangsa ini. Apakah pribumi, asli dan Nasionalisme akan kita anggap sebagai produk modernisme, sebuah yang akan kita biarkan sirna?