Aksi Revolusioner Lawan “Pengkerdilan” Pancasila

Seharusnya, hal hal krusial seperti ideologi, harus dibahas di masa normal, bukan di saat orang ketakutan akibat situasi pandemik coronavirus. Rakyat menganggap, struktur elit telah memanipulasi situasi kesedihan dan penderitaan bangsa saat pandemik ini untuk membuat berbagai produk

Undang-Undang, yang tidak memihak rakyat. Seperti sebelumnya juga UU atas Perpu Corona, UU Minerba dan RUU Omnibus Law.

Jika ideologi negara yang diindikasikan “versi Komunis” tersebut berhasil menjadi UU, maka dikhawatirkan Indonesia akan dikooptasi segelintir elit, bukan untuk kepentingan rakyat, tapi hanya untuk kepentingan oligarki modal dan segelintir elit tersebut tadi.

Perasaan rakyat yang marah terhadap kekuasaan tidak dapat ditahan lagi. Aksi massa 24 Juni lalu telah menghilangkan rasa takut atas pandemik coronavirus, sebuah rasa takut yang maha dahsyat dibandingkan ketakutan atas sebuah kekuasaan. Dengan demikian, secara teoritik, aksi tersebut benar-benar revolusioner, baik dari kacamata “social movement theory” maupun “new social movement theory”. Bukan sebuah tindakan reformasi melainkan revolusioner.

 

Arah Pertarungan Ke Depan

Ketika Eddy Mulyadi menyatakan pembakaran bendera PKI dan PDIP adalah “accident” bukan “incident”, tersirat bahwa aksi tersebut secara umum adalah pertarungan besar yang bersifat ideologi. Bahwa secara aksidental ada pembakaran bendera PKI dan PDIP, meski bukan direncanakan organisasi aksi, namun menurut Eddy tidak merubah tujuan aksi, yakni perang ideologi. Bahkan, karena sebab pembakaran bendera itu akan terjadi perang saudara di Indonesia, sebagai bagian aksi reaksi, Eddy menyatakan sudah siap.

Arah Pertarungan Ke Depan

Secara ideologi, Islamisme yang dikendalikan kepemimpinan ulama, khususnya Habib Rizieq Shihab, sangat matang dan dalam, baik dari tingkat gagasan maupun aksi. Di tingkat gagasan ideologi Islam yang ditawarkan adalah keadilan sosial yang hilang selama ini. Habib Rizieq, seperti juga HOS Tjokroaminoto dan Soekarno di jaman penjajahan, menunjukkan gagasan dan gerakan anti tesis atas kapitalisme dan dominasi kaum kapitalis. Simbol perjuangan 212 yang dikomandoi ulama selama ini menunjukkan permusuhan atas dominasi sepihak pemilik modal alias 9 NAGA. Bahkan, para ulama bertekad mengembalikan tanah yang dikuasai cukong puluhan juta hektar kepada semua rakyat miskin.

Di sisi lainnya, ideologi non Islam, yang di masa penjajahan Belanda, seperti Komunisme dan Marhaenisme, saat ini tidak menunjukkan konsistensi sejarah mereka berjuang untuk keadilan sosial. Partai Rakyat Demokratik (PRD), misalnya, sekali lagi haya umpama, meski tetap menunjukkan perlawanan terhadap kapitalisme dan pemilik modal, tidak mampu menjelaskan posisinya di mata rakyat, apakah dia sebagai oposisi atau bagian kekuasaan. Padahal, kekuasaan yang eksis saat ini adalah kekuasaan kapitalistik (lihat pernyataan bagian rezim kuasa Surya Paloh: Indonesia Kini Adalah Negara Kapitalis Liberal, Agustus 2019).

Kekuasaan saat ini meskipun mengagungkan kelanjutan sejarah Soekarnoisme atau Marhaenisme, tidak menunjukkan jejak anti kolonialisme dan anti kapitalisme itu.

Sehingga terjadi paradoks antara gagasan dengan praxisnya. Bagaimana ingin membangun kekuatan dan keadilan untuk rakyat kalau kekuasaan dan rezimnya menyusun agenda bangsa ini dengan kolaborasi pemilik modal?

Belum lagi sebuah paradoks kiri internasional, di mana kerjasama dengan RRC bukannya membangun keadilan sosial, malah terkesan memberikan dominasi RRC semakin dalam di Indonesia.

Paradoks dari the ideology of the ruling class adalah fatal. Alhasil Islam sebagai ajaran keadilan tidak tertandingi ideologi non Islam.

Dan sepanjang ideologi Islam menjadi tafsir bagi Pancasila dan cita-cita mulianya untuk keadilan, maka peranan Islam cepat atau lambat tidak mungkin dibendung lagi.