Anies Baswedan: Antara Medellin dan Jakarta

Dua puluhan tahun berlalu, Medellin, saat ini merupakan satu dari kota teraman di dunia. Bahkan, pada tahun 2013 mendapatkan “award” sebagai “The Most Innovative City in the world diberikan the Urban Land Institute”. Inovasi itu a. l,  “the eco-árbol, a tree-like structure that acts as an air-purifier, and the spectacular Orquideorama for growing orchid”, (How Medellin went from murder capital to hipster holiday destination,  Stanley Stewart, The Telegraph, 2018)

Dengan fakta baru ini, Anies mengapresiasi Medellin dalam sebuah kata: transformasi. Sebuah transformasi adalah sebuah perubahan, dari buruk ataupun sangat buruk menjadi “Liveable City”, tema pertemuan pemimpin-pemimpin kota di Medellin itu.

Kehadiran Anies di acara WCSMF (World Cities Summit Major Forum) merupakan kehormatan bagi Anies, Jakarta maupun Indonesia untuk bertukar pikiran dengan berbagai pimpinan kota-kota besar di dunia tentang isu “Liveable and Sustainable Cities dan #Trust Building within the cities” (https://www.worldcitiessummit.com.sg/) – tahun lalu acara WCS di Singapore, Gubernur Sumatera Selatan berkesempatan jadi undangan.

Apakah transformasi sebuah kota merupakan kehendak rakyat dan pemimpinya ataukah merupakan kelanjutan sejarah? Fabian Wahl, (2015), University of Hoheinhem, Jerman, dalam “Participative Political Institutions and City Development 800–1800”, menjelaskan bahwa sejarah masa lalu kota, khususnya pengaruh partisipasi dan institusi politik dalam perkembangan kota mempunyai dampak positif, tapi bersifat sesaat. Dengan analisa sejarah ini, maka, kota-kota baru yang tidak mempunyai sejarah panjang seperti di Eropa punya kesempatan untuk bertransformasi menjadi kota yang baik untuk dihuni. Singapura, misalnya, yang dulunya kota kotor, telah berkembang menjadi salah satu kota terbaik di dunia. Sebelumnya tadi tentu saja Medellin itu, bertransformasi.