Anjing Penggonggong Istana dan Moeldoko

Tidak sampai di situ, Polisi juga gencar meneriakkan buruknya hoax. Aparat berseragam cokelat yang sering dijuluki para demonstran dan aktivis dengan Wercok alias wereng coklat ini rajin menangkapi pegiat medsos yang dianggap menebar hoax dan atau ujaran kebencian. Katanya untuk menegakkan perundangan.

Sayangnya, berkali-kali orang-orang yang dicokok Polisi adalah mereka yang kritis terhadap rezim berkuasa. Sementara para penggonggong yang justru terbukti jauh lebih aktif dan massif menebar hoax, fitnah, dan ujaran kebencian tetap aman sejahtera sentosa.

Tapi, serapi-rapinya menutupi bangkai akhirnya akan tercium juga baunya. Begitu kata pepatah bijak. Hal ini pula yang terjadi dengan fenomena anjing-anjing penggonggong Istana.

Pernyataan Moeldoko bahwa Istana sudah tidak membutuhkan para buzzer adalah konfirmasi yang sempurna atas sinyalemen dan kritik banyak pihak seputar para makhluk-makhluk menjijikkan ini.

Suka tidak suka, pernyataan Moeldoko mengonfirmasi beberapa hal, antara lain:

Pertama, selama ini Istana punya dan memelihara banyak anjing penggonggong.

Kedua, selama ini Istana bisa dan biasa memproduksi fitnah serta menebar kebencian, dan hoax lewat gerombolan penggonggongnya.

Ketiga, selama ini Istana terbukti menjadi raja munafik. Sibuk berteriak-teriak agar rakyat jangan menebar hoax dan fitnah di medsos, ternyata justru Istana adalah produsen dan penyebar hoax yang paling sempurna.

Keempat, selama ini Polisi berlagak budek dan picek kalau menyangkut para  penggonggong Istana. Walau mereka menebar fitnah dan hoax, walau sudah dilaporkan, tetap sama sekali tak disentuh hukum. Penolakan polisi memproses laporan terhadap Denny Siregar yang menebar fitnah terhadap ambulans milik Pemprov DKI, adalah contoh sempurna Wercok menjadi bagian dari penjaga kekuasaan.

Kelima, Permadi Arya, Denny Siregar, Eko Kunthadi, MoertadhoOne, Seword, dan masih banyak yang lain adalah sedikit contoh dari anjing-anjing penggonggong Istana yang kebal hukum di era rezim Jokowi.

Keenam, pasal-pasal karet UU ITE yang sangar dan sadis itu, jadi omong kosong saat berhadapan dengan penggonggong Istana. Tajam ke oposan dan para pengritik rezim, tapi tumpul bagi anjing-anjing penggonggong Istana.

Ketujuh, Istana menganut prinsip habis manis sepah dibuang. Ucapan Moeldoko dengan sangat benderang bisa dimaknai sebagai “Kini saatnya membuang para buzzer”.

Kedelapan, para penggonggong kini (sebentar lagi?) jadi pengangguran. Mereka tidak bisa makan karena uang gonggongan dihentikan.

Kesembilan, ini yang tak kalah penting, rasain luh! (*end/sumber)

Penulis: Edy Mulyadi, Wartawan Senior