Antara Obama, Israel, dan Konflik Timur Tengah

Sejak terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat ke-44, dunia merasakan angin perubahan. Dunia berharap banyak pada Obama. Setidaknya bisa merealisasikan janji-janjinya saat kampanye, yakni perubahan. Obama dianggap sebagai sosok yang mampu merubah citra amerika di mata dunia. Amerika dengan segala organsinya. Amerika yang terlalu banyak ikut campur dalam urusan dalam negeri negara lain. Amerika yang tak segan-segan menjatuhkan sanksi ekonomi bahkan agresi meliter terhadap negara yang dianggap tak sejalan dengannya.

Sayangnya harapan dunia hanya harapan kosong. Amerika bukanlah negara demokratis sebagaimana mereka dengungkan. Pemilu di amerika hanyalah dagelan politik murahan buatan zionis yahudi. Siapapun yang akan menjadi presiden di amerika harus mendapat restu yahudi. Tak terkecuali Barack Obama. Sehingga mengharap sesuatu terhadap obama sama dengan mengharap pada yahudi. Seluruh sepak terjang presiden amerika serikat merupakan refleksi kepentingan yahudi. Presiden tidak ubahnya wayang yang dikendalikan oleh dalangnya yakni yahudi.

Di amerika, yahudi menanamkan hegemoninya begitu dalam. Seluruh kegiatan politik amerika baik di dalam maupun di luar akan dipantau secara langsung oleh lembaga lobi yahudi yaitu AIPAC (American Israel Public Affairs Committee). Lembaga resmi ini didirikan tahun 1950-an. Kelompok lobi ini, dibangun oleh komunitas Yahudi Amerika untuk menjaga kepentingan Israel. AIPAC memiliki lima atau enam pelobi resmi di Kongres dengan staf berjumlah 150 orang, dengan dukungan budget tahunan sebesar 15 juta dollar. Dana yang antara lain mereka kumpulkan dengan cara “memeras” diaspora Yahudi yang tinggal di Amerika. Mengeksploitasi perasaan bersalah para diaspora yang dianggap hidup enak di negeri orang, sementara saudaranya yang tinggal di Israel setiap hari harus berhadapan dengan intifada atau bom bunuh diri dari kelompok pejuang Palestina.

Selain AIPAC, masih ada Conference of Presidents of Major Jewish Organizations (CPMJO). Menurut riset National Journal pada Maret 2005 dan Forbes pada 1997, dalam hal melobi Washington, AIPAC hanya kalah oleh Asosiasi Pensiunan AS.

Mereka didukung tokoh-tokoh terkemuka Kristen Evangelis seperti Gary Bauer, Jerry Falwell, Ralph Reed, Pat Robertson yang bernaung di bawah bendera The American Alliance of Jews and Christians (AAJC). Kelompok ini muncul pada Juli 2002 dipimpin Bauer dan Rabi Daniel Lapin. "Prioritas utama saya dalam kebijakan luar negeri adalah melindungi Israel," ujar Dick Armey, seorang Kristen Zionis, mantan orang kuat di parlemen, dua bulan setelah AAJC berdiri.

George Sunderland, nama pena anggota Kongres AS, dalam situsnya, www.counterpunch.org, menulis, lobi Israel di Kongres terus menguat dari tahun ke tahun. Pemain utamanya AIPAC. "Bukan cuma karena uang yang mereka berikan (kepada para politikus), mereka juga bisa menghukum secara politis," tulisnya.

Gagalnya senator dari Illinois, Charles Percy, kembali ke Capitol Hill pada 1984, misalnya, diduga karena lobi AIPAC. Mereka marah gara-gara Percy mendukung penjualan pesawat pengintai Awacs kepada Arab Saudi dan mengkritik Israel. Direktur Eksekutif AIPAC, Tom Dine, mengisyaratkan itu dalam sambutannya di Toronto tahun yang sama. "Semua orang Yahudi bersatu untuk menyingkirkan Percy," katanya. "Ini pesan bagi para politisi Amerika."

Di pemerintahan, lobi Yahudi menancapkan kukunya dengan membantu biaya kampanye kandidat baik dari Republik maupun Demokrat. Koran Washington Post pada 2003 menghitung, 60 persen dari dana kampanye para calon presiden Demokrat berasal dari pengusaha Yahudi.

Jerusalem Post pada 2000 melaporkan: Yahudi menyumbang 50 persen dana kampanye Bill Clinton pada 1996! Jimmy Carter pun, pernah dibuat "keder" oleh kelompok lobi. Carter sebenarnya ingin mengangkat George Ball, yang kritis terhadap Israel, sebagai Menteri Luar Negeri, tapi takut akan lobi Israel, dia akhirnya hanya menjadikan Ball wakil Menlu.

Michael Massing di The New York Review of Book edisi 8 Juni 2006 menulis, kebijakan AIPAC sangat bergantung pada para direkturnya yang dipilih berdasarkan kekayaan. Yang paling berpengaruh adalah Robert Asher, Edward Levy, Mayer Mitchell, dan Larry Weinberg. Celakanya, empat pengusaha kaya-raya yang dikenal sebagai "Gang of Four" ini, menurut editor di Columbia Journalism Review itu, tak peduli terhadap mayoritas Yahudi di AS yang cinta damai.

Selain memenangkan dukungan AS atas konflik Palestina, prestasi terbesar lobi Isreal, memaksa AS menginvasi Irak. Perang tersebut Didorong oleh niat menciptakan situasi lebih aman bagi Israel (di Timur Tengah). Demikian fakta yang dipaparkan Philip Zelikow, mantan anggota badan penasihat presiden AS untuk urusan luar negeri.

Menurut Zelikow, Irak tak mengancam AS, melainkan Israel. Bukti lain, tajuk mantan perdana menteri Ehud Barak dan Benjamin Netanyahu di Wall Street Journal yang mendesak pemerintah Bush "menindak" Irak.

Kuatnya lobi israel di amerika telah berhasil memaksa amerika untuk membarikan bantuan sebesar 3 milliar dolar per tahun pada israel. Bantuan ini merupakan seperlima bantuan luar negeri Amerika. "Buku hijau" Badan Amerika untuk Pembangunan Internasional (USAID) mencatat, hingga 2003, total pinjaman dan hibah yang diterima Israel lebih dari US$ 140 miliar atau Rp 1.260 triliun, dua kali lipat anggaran Indonesia pada tahun 2006.

Selain soal dana, dukungan amerika juga diaplikasikan pada PBB. Tercatat sejak tahun 1972 sampai tahun 2006, sudah 66 resolusi PBB yang berhubungan dengan eksistensi israel di palestina diveto amerika. Ini belum termasuk resolusi setelah tahun tersebut plus resolusi terakhir saat israel melancarkan agresinya di gaza.

Para pelobi juga menguasai media. "Komentator Timur Tengah (di AS) didominasi oleh orang-orang yang tak mampu mengkritik Israel," kata Eric Alterman, profesor Inggris di Brooklyn College yang juga komentator media, di MSNBC.com, Maret 2002. Dia mensurvei 66 komentator; hanya lima yang berani mengambil posisi pro-Arab.

Obama sendiri saat kampanye didukung penuh oleh Yahudi. Situs surat kabar Israel Haaretz, Rabu (22/10), memuat laporan tentang tokoh-tokoh Yahudi AS yang memainkan peran penting dalam proses pemilu dan kampanye presiden di Negeri Paman Sam itu dibawah judul "36 Jews Who Have Shaped the 2008 U.S. Election".

Dari 36 nama tersebut terdapat nama-nama penggalang dana kampanye bagi Obama yaitu: Sheldon Adelson seorang Republikan, neokonservatif dan seorang ‘mega-donor’, Sherry Lansing penggalang dana dan donatur utama Partai Demokrat, pernah menjadi perempuan pertama yang memimpin Paramount, salah satu studio film terkemuka di Hollywood, Eli Pariser memimpin situs MoveOn.org, situs advokasi online beraliran liberal yang menggalang dana untuk kandidat presiden dari Partai Demokrat, Penny Pritzker ketua nasional bidang keuangan kampanye Obama, seorang milyader berasal dari keluarga Yahudi yang dikenal kerap menjadi donatur besar, Denise Rich mantan istri milyader March Rich, seorang penggalang dana terbesar bagi Partai Demokrat, Barbra Streisand penyanyi terkenal yang menjadi ikon Yahudi-liberal dan penggalang dana bagi Yahudi, mendukung Obama dan berhasil menggalang dana sebesar 25.800 dollar dari kalangan selebritis Hollywood.

Data di atas menjawab semua pertanyaan soal besarnya dana kampanye Obama saat itu. Dunia tahu bagaimana kampanye obama yang menghabiskan jutaan dolar. Semua dana tersebut bukan berasal dari partai demokrat atau kantung pribadi obama. Sebagian dana tersebut suntikan dari para donatur yahudi. Imbalannya, obama harus mendukung penuh seluruh kepentingan Yahudi baik di amerika, palestina maupun dunia.

Mengingat begitu kuatnya lobi yahudi di amerika, dan siapapun yang ingin jadi presiden harus dapat restu yahudi, maka tak heran jika obama harus mengais restu yahudi dengan bersembahyang di tembok ratapan. Tak hanya itu, pada masa kampanyenya Obama banyak mengunjungi komunitas Yahudi dan sinagog-sinagog. Bahkan jauh-jauh hari sebelum ia mencalonkan diri menjadi presiden, pada tahun 2006, Obama pernah berkunjung ke Israel dan menengok keluarga Israel yang rumahnya hancur akibat serangan roket Katyusha. Sebulan kemudian, ketika pecah perang Hizbullah-Israel, Obama dengan tegas mengatakan bahwa Israel berhak membela diri. Hal inilah yang membuat obama dilirik yahudi ketimbang McCain.

Kunjungan Obama saat kampanye ke Israel juga dilakukan ke permukiman Sidrot dekat Jalur Gaza yang menjadi sasaran kelompok perjuang perlawanan Palestina sebagai respon atas kejahatan Israel. Obama mengkritik ‘aksi terorisme’ terhadap Israel, menunjuk perlawanan Palestina dan persenjataan Hizbullah Libanon dan system pemerintahan Iran. Obama menolak Israel melakukan perundingan langsung dengan Hamas dan itu sikap resmi AS sekarang.

Faktor lainnya yang membuat publik Yahudi menggantungkan harapannya pada Obama adalah sikap Obama terhadap kelompok pejuang Hamas di Palestina. Obama menyatakan akan bersikap tegas terhadap Hamas sampai Hamas mau mengakui eksistensi Israel. Obama juga menyalahkan para pemimpin Palestina yang dianggapnya sebagai penyebab penderitaan rakyat Palestina.

Sebelum Pemilu di AS, dirinya tidak mau bertemu dengan Asosiasi Muslim Amerika. Selain suara muslim tidak begitu signifikan, obama takut dengan tekanan Yahudi. Bagi Obama sendiri  kalau dia punya kedekatan negara Islam, justru itu akan menjadi kredit negatif. Itulah sebabnya dia matian-matian meyakinkan publik amerika kalau Husein dalam namanya tidak ada hubungan apapun dengan Islam.

Hal yang tak kalah menariknya adalah komposisi orang-orang di belakang obama. Secara mengejutkan pasca kemenangannya, obama memilih Rahm Emanuel, seorang mantan tentara Israel pada masa Perang Teluk sebagai kepala staff Gedung Putih. Emanuel dikenal sebagai seorang Yahudi garis keras sehingga dijuluki "Rahmbo" oleh lawan-lawan politiknya. Emanuel pula yang menemani Obama saat memberikan pidato pro Israelnya di hadapan AIPAC sekaligus mengatur pertemuan antara Obama dan jajaran eksekutif AIPAC. Ayah Rahm, Dr. Benjamin Emanuel memuji keputusan Obama dan mengatakan penunjukkan puteranya adalah pertanda baik bagi Israel. "Jelas dia (Rahm) akan mempengaruhi presiden agar pro Israel," tukasnya.

Selain Rahm Emanuel, obama menunjuk Hillary Clinton sebagai Menteri Luar Negeri. Dunia tahu sepak terjang senator New York ini. Seorang mantan ibu negara yang secara membabi buta mendukung isreal. Para diplomat tahu bahwa sikap Clinton terhadap Suriah lebih keras dibandingkan Obama dalam kampanyenya. Bahkan ia pernah mengajukan saran pada pemerintah amerika untuk memveto resolusi PBB yang dirasa merugikan israel di palestina. Tak heran jika Israellah yang paling berbahagia dengan terpilihnya Hillary Clinton sebagai menlu kabinet Obama. PM interim Israel Ehud Olmert langsung mengucapkan selamat pada Clinton dan mengatakan bahwa Clinton adalah sahabat Israel dan orang-orang Yahudi. "Saya yakin, dengan jabatan barunya Clinton akan melanjutkan hubungan khusus yang lebih baik antara AS dan Israel," kata Olmert.

Tak hanya Hillary, obama juga mengangkat Robert Gates untuk tetap pada posisinya sebagai Menteri Pertahanan AS. Padahal Siapapun tahu sepak terjangnya pada masa pemerintahan bush junior. Meskipun Gates akan diberi perintah baru untuk menarik seluruh pasukan tempur Amerika dari Irak dalam waktu 16 bulan. Namun warna pemerintahan bush yang beraroma yahudi dengan tindakan terornya tetap jelas terlihat melalui Gates. Walaupun mungkin pendekatannya tidak seekstrim Bush.

Dalam urusan Timur Tengah, sikap pemerintahan obama sudah jelas. Medukung sepenuhnya Israel. Sebelum resmi menjabat sebagai menlu, Hillary sudah menyampaikan pandangannya soal israel. “Mengenai israel, anda tidak dapat berunding dengan Hamas hingga kelompok itu melepaskan kekerasan, mengakui Israel dan setuju untuk mematuhi perjanjian pada masa lalu. Itu benar-benar bagi saya absolut," Clinton mengatakan pada dengar pendapat pengesahan jabatannya di Senat.

"Itulah sikap pemerintah AS. Itulah sikap presiden-terpilih," katanya setelah seorang senator memberi kesan bahwa "naif dan tidak logis" untuk berdiplomasi dengan pemerintah yang menentang Israel.

Fakta di atas memberikan gambaran pada kita kemana arah pemerintahan obama 4 tahun ke depan. Yang jelas hubungan manis antara Washington-Tel Aviv tidak akan terganggu oleh pemerintahan obama. Sebaliknya, eksistensi israel di amerika dan palestina akan semakin kuat sekuat dukungan amerika.

Amerika akan tetap seperti amerika yang dulu. Secara membabi buta mendukung israel. Dan akan terus memberikan bantuan dana pada israel yang setiap tahunnya sebesar $3 miliar. Negara yang akan terus memveto resolusi PBB yang dianggap mengancam eksistensi israel di palestina.

Andai saja warga amerika mau mendengar dan menjalankan ramalan Benjamin Franklin tahun 1789, mungkin amerika, palestina, dan dunia tidak segelap sekarang. Dia mengingatkan bahaya yang akan ditimbulkan oleh yahudi di kemudian hari jika mereka dibiarkan berada di amerika.

Benjamin menuliskan peringatannya sebagai berikut: “Di sana ada bahaya besar yang mengancam Amerika. Bahaya itu adalah orang-orang yahudi. Di bumi manapun orang yahudi itu berdiam, mereka selalu menurunkan tingkat moral kejujuran dalam dunia komersial.”

Selanjutnya ia menulis: “Jika orang-orang yahudi tidak disingkirkan dari amerika dengan kekuatan undang-undang, maka dalam waktu 100 tahun mendatang mereka akan menguasai dan menghancurkan kita dengan mengganti bentuk pemerintah yang telah kita perjuangkan dengan darah, nyawa, harta, dan kemerdekaan pribadi kita”

Sekarang ramalan tersebut telah terbukti. Sehingga sulit bagi kita mengharapkan obama menyelesaikan konflik di timur tengah khususnya Palestina secara bijak apalagi yang sifatnya menguntungkan palestina. Setiap gerak-gerik dan kebijakannya akan selalu diawasi sepenuhnya oleh lobi israel. Tangan-tangan gurita lobi segera akan memotong seluruh kebijakan obama yang dianggap merugikan israel.

Memberikan solusi positif bagi palestina yang sifatnya menguntungkan palestina umumnya dan Pemerintahan Hamas khususnya berarti akan mengancam eksistensi Israel. Dan itu tidak akan pernah dibiarkan oleh lobi-lobi israel di Washington. Obama harus membayar mahal dukungan israel padanya dalam rangka membantunya menjadi orang nomor satu amerika. Jika tidak, bersiaplah untuk menerima konsekuensinya.

Pendeknya, berharap pada obama sama seperti mengharap oase di padang gurun. Obama akan terlebih dahulu membayar “hutang” pada para pendukungnya yang telah mengantarkan menjadi presiden ketimbang urusan lain. Dan itu akan terus berlanjut pada presiden-presiden pasca obama sampai lobi yahudi benar-benar hilang dari amerika sebagaimana harapan Bejamin Franklin. Semoga.

Profil Penulis :

Supriyadi, S.Si, warga Bandar Lampung yang sekarang bekerja di Banda Aceh NAD sebagai dosen Perguruan Tinggi Swasta di Banda Aceh, Pemerhati masalah Timus Tengah