Apakah Gamal Mubarak Harapan Terbaik Untuk Mesir?

Oposisi Mesir dan Barat tampaknya sepakat pada satu hal: Gamal Mubarak seharusnya tidak diperbolehkan untuk menggantikan ayahnya—Hosni Mubarak, sebagai Presiden Mesir berikutnya. Teriakan "la lil tawrith" (tidak ada pewarisan [kekuasaan]) mendominasi protes jalanan yang dilakukan oleh kelompok oposisi: "Kifaya!" (berarti "Cukup!") dan jumlahnya bisa dikatakan sebanyak penolakan dari keluarga Mubarak dalam otorisasi, korupsi, atau berbagai penyakit negara lainnya. Mesir, mereka mengatakan, bukan perkebunan yang akan diwariskan dari ayah ke anaknya, dan skema keluarga Mubarak untuk membuat Mesir seperti sebuah monarki-republik atau gumlukiyya jahat yang harus dilawan oleh semua pemikiran-kanan, dan begitulah, termasuk orang-orang yang cinta demokrasi.

Tapi benarkah begitu? Dibandingkan dengan beberapa idealita yang ada, prospek Gamal Mubarak mewarisi kursi ayahnya tentunya menjadi sangat berlawanan dengan demokrasi yang didengung-dengungkan Barat. Tetapi demokrasi sejati bukanlah hidangan yang selalu ada di meja Mesir. Alih-alih mimpi demokrasi, kenyataannya adalah bahwa semua orang yang peduli akan Mesir itu dihadapkan dengan opsi yang tidak menggugah selera: transisi pewarisan, periode keenam Mubarak memerintah, peralihan ke beberapa pejabat negara—seperti kepala dengan wajah kaku pemimpin intelijen Omar Suleiman, atau kudeta militer? Dan ketika membandingkan alternatif berjangka yang sungguh membosankan ini, tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa Gamal Mubarak adalah taruhan terbaik jika Anda peduli tentang prospek jangka panjang Mesir.

Beberapa bulan yang lalu, ini tidak terjadi. Muhammad ElBaradei, pemenang Nobel dan mantan kepala Badan Energi Atom Internasional, telah menangkap imajinasi reformasi politik dan mencoba mengakhiri keadaan darurat di negaranya. Tapi dia, sejauh ini, mengecewakan. Belum apa-apa kita sudah membaca tentang pertikaian di tingkat atas betapa sedikit waktu yang telah ia habiskan di Mesir sejak mengumumkan "kampanye" pecalonannya untuk perubahan. Petisi satu juta tanda-tangan online-nya tampaknya hanya akan merayap lambat. Dan tentu sulit untuk memikirkan negara-negara manapun memenangkan demokratisasi dengan bekal petisi.

ElBaradei sekarang menyerukan boikot pemilu parlemen November 2010, tapi tidak jelas apa yang mau ia capai. Lagi pula, setiap partai oposisi Mesir yang memboikot parlemen sejak kontes pemilu tahun 1990, tak ada yang bisa menganggu ketenangan kapal layar besar di negara itu. Dan seruan ElBaradei itu mungkin hanya dianggap sebagai gangguan sakit kepala sesaat akibat gerimis kecil. ElBaradei tidak akan menjadi apa-apa.

Jika sebuah revolusi demokratis tidak mungkin, demikian pula kudeta militer. Pasukan bersenjata yang setia kepada Mubarak (jika tidak kepada anaknya) dan cukup konservatif, tidak akan sudi menuai risiko apapun bahwa penggulingan tatanan yang ada sekarang ini sama sekali tidak diperlukan. (Kecuali, tentu saja, mereka diprovokasi oleh prospek kehilangan semua hak istimewa mereka, itulah sebabnya seruan untuk mengurangi bantuan AS untuk Mesir—sebagian besar adalah militer—menjadi ide yang buruk sekarang). Demikian pula, sangat diragukan bahwa Mubarak tua akan menyerahkan kekuasaan kepada Omar Suleiman. No Way. Jika Mubarak-Suleiman berhasil, maka Mubarak akan menunjuk Omar Suleiman sebagai wakil presidennya yang lama di masa lalu, bukan sekarang atau masa depan. Jadi, hanya ada benar-benar tertinggal dua pilihan: Gamal atau ayahnya.

Haruskah Mubarak, 82 tahun dan terbaring sakit, menemukan kekuatan untuk kembali mencalonkan diri keenam kalinya? Jika betul, ia akan menang. Tidak seperti Nasser atau Anwar Sadat, Mubarak tidak menunjuk wakil presiden yang bisa mengambil alih kekuasaan jika terjadi kematian pemimpin. Mubarak membiarkan posisi ini kosong. Jadi ketika ia pergi, semua keputusan akan jatuh pada konstelasi jenderal, tokoh partai yang berkuasa, dan pengusaha besar. Dan itu, akan membuat rakyat Mesir akan menatap Mubarak muda. Walau ganjalan itu ada: kebencian kepada Gamal dan kroni orang kayanya di kalangan militer dan NDP.

Gamal Mubarak, di sisi lain, akan mewakili keberangkatan rutinitas Mesir yang menyedihkan. Jika ia menang pada tahun 2011, dia akan menjadi pemimpin pertama dalam sejarah modern Mesir yang tak pernah mengenakan seragam militer, dan tak pernah pula sesuai dengan teori Samuel Huntington sebagai seorang "spesialis kekerasan." Tentu saja, fakta bahwa Gamal adalah orang sipil belum tentu membuatnya lembut dibanding pendahulunya (atau dari seseorang seperti Omar Suleiman), atau kurang bersedia menerapkan pemaksaan atas lawan-lawannya.

Mubarak muda tidak hanya akan menjadi presiden sipil pertama Mesir, tapi ia juga akan melangkah menuju kekuasaan melalui pemilihan "kompetitif". Inti dari kepimpinan Gamal Mubarak kelak jika terpilih, bukan karena dia akan menjadi pemimpin besar, seorang reformis ekonomi, atau demokrat sejati—meskipun hal-hal itu tidak bisa dikesampingkan, tetapi karena dengan ia menjadi pemimpin Mesir, ia akan memungkinkan menjadi alternatif untuk membuka kemungkinan sukses oposisi dan atau masa depan Mesir yang non-militer. Banyak orang Mesir kerap mengutip ayat Quran bila ada sesuatu yang salah: "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (sa/foreignpolicy)