Awas Sound Bite “Presiden 3 Periode”

Al-Qur’an telah menjelaskan tentang adanya qorin dalam surah Az Zukhruf

Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainy”. (Az Zukhruf 43:36).

Manusia pada hakekatnya memang terdiri atas dua zat yang mendampinginya sepanjang hidup. Ada yang baik dan yang jahat. Dua zat inilah yang akan saling berperang, tarik menarik hingga banyak membuat manusia binasa karena lepas kendali.

Dalam konteks wacana presiden tiga periode ini kemungkinan Qorin dalam tubuh Muhammad Qodari lah yang sekarang bergentayangan menggoda banyak pihak termasuk Jokowi.

Dalam bahasa komunikasi politik Qorin ini bisa disetarakan fungsinya dengan “sound bite”.

Sound bite adalah terminologi yang digunakan oleh jurnalis televisi atau reporter radio yang menngangkat  potongan pernyataan yang penting (Kaid & Haltz-Bach, 2008).

Menurut Lilleker (2005), sound bite merupakan satu garis kalimat yang diambil dari pidato atau pernyataan yang panjang atau dari seperangkat teks yang dapat digunakan sebagai indikasi dari pesan yang lebih besar.

Media  elektronik memiliki keterbatasan dalam hal waktu. Maka, penyampaian berita harus dikemas sesingkat mungkin, dengan hanya mengedepankan potongan-potongan pernyataan atau wawancara dari narasumber, termasuk politisi dalam hal ini.

Potongan-potongan inilah yang biasa disebut ‘bite’ oleh para jurnalis media elektronik, dengan mengangkat atau menggarisbawahi (highlight) pernyataan-pernyataan yang dianggap penting, menohok (punching). Atau emosional yang sebisa mungkin mampu memancing diskusi publik yang panas.

Salah satu kasus sound bite yang menghebohkan  dunia terjadi  pada J.F Kennedy. Media internasional mengangkat potongan pidatonya di Berlin Jerman yang mengatakan, “Ich bin ein Berliner” (saya adalah orang Berlin). Pesan ‘bite’ ini memberi pengaruh besar bagi Jerman Barat, sebab Amerika melalui Presidennya seolah menunjukkan dukungannya terhadap konflik disintegrasi Jerman pada masa itu. (Henry & Racmah, 2012).

Amir Fadli yang mengidahkan itu dalam artikelnya “Sound Bite, ‘Ranjau’ Komunikasi Para Politisi” beberapa tahun lalu, mengingatkan  jurnalis agar berhati-hati menciptakan sound bite.

Maunya bekerja ringkas, menyesuaikan dengan durasi yang terbatas, tapi bisa berakibat fatal.

Saya sependapat dengan itu. Seperti halnya sound bite “Presiden 3 Periode” saya juga mau mengingatkan kita harus berhati-hati. Apalagi sistem demokrasi kita hanya mengandalkan suara terbanyak, sementara suara terbanyak itu bisa diciptakan oleh para pendengung, buzzer dan influencer bayaran. Kata lain, bukan suara murni dari rakyat.

Di Indonesia jagonya sound bite kita tahu adalah PDI-P. Seperti “Metal” atau Merah Total yang sangat populer sewaktu kampanye mengusung Megawati pada Pemilu 2004. Juga  sound bite “Moncong Putih” untuk membranding logo baru partai berlambang banyen itu.

Sound bite JK: “Lebih cepat lebih baik” juga berhasil.  PKS pernah mengeluarkan sound bite yang amat populer di masyarakat yaitu ” Ganti Presiden” menjelang Pilpres 2019. Dan, ada banyak lagi. Hati-hati.

 

Ilham Bintang

Penulis adalah wartawan senior [RMOL]