Banjir Jakarta, Baca Data Biar Tidak Gagal Paham

Ketiga, jumlah pengungsi. Tahun 2002, jumlah pengungsi 154.270. Tahun 2007, ada 276.333. Tahun 2013, ada 90.193. Tahun 2015, ada 45.813. Tahun 2020, ada 36.445. Dan tahun ini (2021), ada 1.311. Jauh mengecil jumlah pengungsinya.

Coba cermati, bila perlu baca berulang-ulang data di atas. Ini penting. Kalau kita gak baca data ini, bisa gagal paham. Kalau gagal paham, akan mispersepsi. Akibatnya, bicara bukan by data, tapi pakai perasaan. Kira-kira, dan itu tidak ilmiah.

Lihat data di atas, makin kemari, makin menyempit lokasi yang tergenang. Juga makin sedikit jumlah pengungsinya. Meski curah hujannya tidak kalah lebat.

Banjir tahun ini (2021), terutama tahun lalu (2020) yang sangat ekstrem dengan curah hujan 377 mm/hari, daerah area strategis aman dari serbuan banjir. Sementara tahun 2002, 2007, 2013 dan 2015, banyak area strategis yang tergenang air.

Lokasi, lokasi pengungsian otomatis juga makin sedikit, karena jumlah warga yang mengungsi makin sedikit. Banjir tahun 2013, lokasi pengungsian ada 1.250. Tahun 2015, ada 409. Tahun 2020, ada 269. Dan tahun ini ada 44 lokasi pengungsian.

Tahun ini, jumlah kematian makin sedikit. Satu digit. Sementara, banjir di tahun-tahun sebelumnya korban meninggal berjumlah puluhan. Meski demikian, Pemprov DKI harus kerja keras agar jumlah korban jiwa l “zero”.

Kalau melihat data ini, kerja Pemprov DKI makin lama makin membaik, khususnya dalam menangani banjir. Peran pemerintah pusat dan gubernur-gubernur sebelumnya tentu tak dilupakan.

Selain masalah kemacetan di Jakarta yang sudah jauh berkurang sebelum masa pandemi, problem banjir di DKI makin terurai. Ini dilihat dari makin menyempitnya area banjir, makin berkurangnya jumlah dan area pengungsian, serta makin cepat genangan itu surut. Dan yang utama, jumlah korban jiwa makin kecil, dan banjir tak menggenangi area strategis.

Satu PR bagi Pemprov DKI: apakah tahun depan (2022-2023) banjir bisa terusir dari Jakarta? Perlu strategi yang tepat.

Soal evaluasi dan kritik terhadap gubernur DKI, itu baik, dan tetap harus dihidupkan. Yang penting proporsional. Sebab, jika berlebihan, justru kritik itu akan dipertanyakan dan dievaluasi oleh publik.

Kritik, selain berfungsi check and balances, dan ini akan dapat menjaga kesadaran dan kewaspadaan Pemprov DKI. Fungsi lain, kritik juga bisa jadi “iklan” bagi pengkritiknya. Kalau gak kritik gubernur DKI, media gak tertarik untuk meramaikan. Kadang anggota DPRD DKI, atau pengurus dan binaan parpol, mengkritik Anies, tujuan utamanya bukan sebagai kritik itu sendiri, tapi “iklan”. Ini sah dan terbukti memang sangat efektif untuk meningkatkan popularitas. Langkah kreatif dan inovatif.

Sekali lagi, selama kritik itu proporsional, maka ini akan menghidupkan dialektika pemerintahan yang normal, wajar dan sehat. Kalau gak proporsional, dosa tanggung sendiri.[teropongsenayan]

Penulis: Dr. Tony Rosyid, Pemerhati Bangsa