Benarkah Muhammad itu Rasulullah

Setelah kita yakin dengan seyakin-yakinnya akan keberadaan dan kedudukan Allah, tidak sulit bagi kita untuk meyakini dan mempercayai firman-Nya. Maka tidak ada keraguan sedikitpun bagi kita untuk mengakui bahwa Muhammad SAW adalah seorang hamba dan utusanNya yang terakhir yang diutus Allah untuk memberikan petunjukNya kepada umat manusia di seluruh dunia hingga hari kiamat sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur’an. Tetapi yang menjadi masalah besar adalah tidak adanya pengejawantahan dari keyakinan itu, praktek serta pelaksanaannya. Sudahkah kita memposisikan Rasulullah sebagaimana keyakinan kita itu? Jangan-jangan keyakinan itu hanya di hati dan di lisan saja, sedangkan praktek dan perwujudan dari keimanan itu  sama sekali tidak ada.

 

Bagaimana memposisikan Rasulullah?

Kita sudah meyakini dengan benar tentang kerasulan Muhammad tanpa keraguan sedikitpun. Bahwa Muhammad lah sang nabi terakhir, pembawa risalah, syari’at, tata cara ibadah, tata cara berhari raya, menyambut kelahiran, menyikapai kematian, tata cara memperlakukan orang yang sudah meninggal, sampai tata cara bersyukur semua sudah beliau sampaikan semua. Mulai dari tata cara masuk kamar mandi sampai tata cara memimpin sebuah negara, semua telah sempurna dan disempurnakan oleh Allah sebagaimana dalam Al Qur’an Surat Al Maidah Ayat 3:

Pada hari ini Telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.(Q.S. Al Maidah:3)

Sejak hari turunnya ayat di atas, maka Allah menyatakan agama ini telah sempurna. Tata cara ibadah dalam agama ini telah sempurna. Tidak perlu ada penambahan dan pengurangan. Setiap penambahan dan pengurangan (baca: bid’ah, baik yang hasanah atau yang dhalalah) terhadap diin ini adalah sebuah tindakan yang merusak kesempurnaannya, sebuah pengingkaran terhadap firman Allah di atas, juga merupakan sebuah kedustaan atas kerasulan Muhammad, pembawa risalah yang suci. Merusak kemurnian dan kesucian ajarannya.

Kesimpulan diatas tidaklah sulit kita fahami. Yang sulit adalah membuat hati, akal dan pikiran kita terbuka. Mau menerima kebenaan.

Tetapi marilah kita melihat kondisi kita dan fakta umat Islam sekarang ini. Maka kita tidak bisa mengingkari, bahwa kebid’ahan telah merajalela menutupi sunnah nabi, sampai sunnah itu tidak telihat sama sekali saking semaraknya bid’ah dan penyelewengan dalam agama ini. Hal ini sangatlah wajar karena jauhnya jarak yang membentang antara masa ini dan masa Rasulullah, yaitu lebih dari 1400 tahun. Yang benar dikatakan bid’ah/sesat dan yang sesat dianggap benar. Telalu banyak amalan-amalan kita yang kita sendiri tidak tahu kesahihannya, yang tidak ada perintahnya dalam Al Qur’an dan Al Hadits. Lebih baik kita diam dari pada beribadah tapi salah (ingat QS. Al Isra’:36 diatas).

Kita membuat-buat variasi dalam semua tata cara ibadah kita, mulai wudlu, shalat, puasa dan haji, cara kita berhari raya, cara kita menyambut kelahiran, tata cara menyikapi orang yang sudah mati, serta mengadakan peringatan-peringatan tahunan. Semua sudah melenceng dari sunnah Nabi. Ajaran dan Sunnah Rasul tenggelam dalam gegap gempitanya acara-acara tersebut, semua serasa semarak dan akhirnya kita terbuai dengan hal itu dan kita sibuk untuk menghidup-hidupkan bid’ah sampai energi kita habis dan kita tidak sempat lagi menghidupkan sunnah Rasul.

Karena perbuatan kita itu, maka Allah memakaikan pakaian kehinaan dan kelemahan kepada umat ini, dan ini sudah menjadi hukum ketentuan Allah.

Nah, sekarang sudah kita ketahui bahwa faktanya iman kita kepada karasulan Muhammad SAW 100% masih kacau. Hal ini disebabkan jauhnya umat ini dari ilmu dan budaya mencari ilmu. Mereka lebih suka ikut-ikutan seperti sekawanan bebek. Orang ramai disana, semua ikut kesana. Lebih suka mencontoh dari pada belajar dan membaca sumber aslinya.

Taukah kita, bahwa tiap diri kita akan betanggung jawab terhadap amal-amal kita masing-masing. Kalau kita beramal karena mengikuti imam/ulama, bukan mengikuti petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya, maka imam/ulama yang kita ikuti itu tidaklah akan bertanggung jawab sedikitpun tehadap amal-amal kita. Mereka akan berlepas diri kalau perbuatan kita itu adalah sebuah kesalahan karena tidak mengikuti/ittiba’ pada tuntunan Rasul SAW, sebagaimana tertulis dalam ayat berikut:

“ (Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.(Q.S Al Baqarah:166-167)

Dan juga dalam ayat:

“Sebahagian dan mereka menghadap kepada sebahagian yang lain berbantah-bantahan. Pengikut-pengikut mereka berkata (kepada pemimpin-pemimpin mereka): “Sesungguhnya kamulah yang datang kepada kami dan kanan)*.  Pemimpin-pemimpin mereka menjawab: kamulah yang tidak beriman. Dan sekali-kali kami tidak berkuasa terhadapmu, bahkan kamulah kaum yang melampaui batas. Maka Pastilah putusan (azab) Tuhan kita menimpa atas kita; Sesungguhnya kita akan merasakan (azab itu). Maka kami telah menyesatkan kamu, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang sesat.Maka Sesungguhnya mereka pada hari itu bersama-sama dalam azab. (Q.S.Ash Shaffat:27-33)

[*]  Maksudnya: para pemimpin itu mendatangi pengikut-pengikutnya dengan membawa bujukan yang mengikat hati.

Manusia yang di jamin bersih dari kesalahan (maktsum) dan satu-satunya panutan yang wajib kita contoh dalam berislam hanyalah Rasulullah Muhammad SAW, selebihnya bisa saja salah dan menyelewengkankan kita dari tuntunan Allah dan Rasul-Nya

Jika kita berilmu, mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah yang suci, maka Allah akan mengangkat derajat kita, diri kita jadi terhormat, bukan hanya karena pengakuan orang lain terhadap keilmuan kita, tetapi karena sikap kita yang hati-hati, yang penuh pertimbangan sesuai hukum-hukum agung dari petunjuk ilahi sehingga kita menjadi orang yang bijak dan berwibawa. Jika hal ini dimiliki oleh sebuah kaum maka kaum itu akan berjaya, dan dilimpahi oleh rahmat Allah Yang Maha Kuasa.

Di masa modern ini, kita sudah tidak pantas lagi berdebat tentang madzhab dan aliran. Karena sekarang ini semua sumber ilmu (Alquran dan Al Hadits) telah terkumpulkan dan terkodifikasi dengan baik, dapat dengan mudah kita akses dan kita peroleh tanpa harus pergi dari satu perpustakaan ke perpustakaann lain. Semua ilmu itu cukup muat dalam sebuah perangkat elektronik yang bernama komputer. Beda dengan zaman dulu di mana orang yang mau mencari ilmu terutama ilmu hadits, harus dengan jalan kaki, merantau dari suatu tempat ahli hadist dan ahli ilmu ketempat lain seperti yang dilakukan para imam madzhab dulu. Maka ilmu dan pengalamam tiap-tiap Imam tidaklah sama. Oleh sebab itu terkadang pemahaman Imam Madzhab satu agak berbeda dengan Imam Madzhab lain. Tetapi sekarang,… semua ilmu itu (Tafsir-tafsir Alqur’an dan Kitab-kitab Al Hadits) sudah bisa dikumpulkan, disarikan, disimpulkan  dan ditemukan semua petunjuk suci itu apa adanya sebagai mana awal mulanya. Walaupun ada perbedaan, tetapi itu sangatlah kecil dan tidak patut dipemasalahkan. Dan kalau hati kita bersih dan ikhlas mencari kebenaran, pasti Allah akan memberi petunjuk-Nya dan  umat islam bisa bejaya kembali. Karena panutan kita adalah bersumber dari jiwa yang satu, jiwa Rasulullah Muhammad SAW.

Tetapi kondisi pemikiran kita masih jumud dan kaku. Pemikiran kita belum terbuka. Belum berbudaya Ilmiah. Dan masih suka mencontoh/ mengikuti figur tertentu.Walaupun di lembaga-lembaga pendidikan dan pondok-pondok pesantren kita mempelajari dan membaca Al Qur’an dan Al Hadits, tapi kedua sumber itu hanya sekedar dibaca dan diartikan. Sedangkan praktiknya tidak ada, kita masih suka membebek, mengikuti tokoh, kiai, guru,  dan da’i yang menyuarakan dan megajarkannya. Bukan mengikuti hadits dan ayat yang kita baca itu. Bukan mengikuti Allah dan rasulNya. Kita lebih suka mengikuti dari pada mencari ilmu itu sendiri. Padahal belum tentu yang kita ikuti itu benar dihadapan Allah SWT.

Nah, sekarang apa yang harus kita lakukan? Kita mau berjaya atau kita masih suka Islam dan kaum muslim dihina-hina?

Ah, kita tak kan peduli lagi Islam dihina atau umat muslim dianiaya, yang penting kita hidup aman dan berkecukupan. Kita tak peduli lagi dengan agama Allah. Kita tak butuh lagi  meninggikan kalimat Allah. Kita sudah cukup sibuk dengan aktifitas-aktifitas dunia kita.  Toh kita sudah hidup enak, berkecukupan kehidupan sehari-harinya, dan kita bisa hidup dengan aman dan nyaman dari hari ke hari.

Kalau kita tak peduli lagi dengan kesucian agama ini, dan tingginya kalimah Allah di muka bumi, berarti kita tidak sayang Allah. Tidak mencintai Allah. Tidak menghormati dan mencintai Allah dan Rasul-Nya sebagaimana mestinya. Kalau kita tidak sayang Allah, lantas apakah kita bisa masuk surga? Padahal kita masuk surga bukanlah karena amalan kita, karena amalan kita masih jauh dan jauh dari sempurna. Belum cukup untuk membeli surga. Kita masuk surga hanya karena sayangnya Allah pada kita, karena sebuah amalan yang menjadi sebab Allah sayang pada kita. Kalau kita tidak sayang Dia, bagaimana Dia bisa sayang pada kita? Kita santai dan tidak marah melihat agama Allah diinjak-injak, umatNya dibantai, muslimahnya dinodai. Kejantanan kita sudah tekebiri, jiwa kepahlawanan kita telah berganti menjadi jiwa yang pengecut, pecundang dan penakut. Lalu tak adakah jiwa-jiwa muslim yang masih memiliki harga diri/izzah yang mau mengangkat harga diri/izzah umat muslimin dari kehinaan ini? Yang mau berusaha sekuat tenaga, berda’wah dan mengajak umat kepada kebangkitan. Tidak lain dan tidak bukan yaitu dengan cara mencerahkan umat, mendidik umat dengan dua ilmu  kunci warisan Sang Rasul, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.

Bukan memanfaatkan umat, memancing di air keruh, mengeruk kekayaan ummat untuk kemakmuran diri dan kelompoknya, hanya mengajak umat untuk mendukung ide dan partainya, tanpa mencerdaskan umat Islam. Tanpa mengentaskan umat dari keterbelakangan ilmu Al Qur’an dan As Sunnah. Tanpa berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membawa mereka kepada ketercerahan dan kejayaan.

Ini adalah fakta yang banyak tejadi dalam tubuh umat muslim yang berkelompok-kelompok dan berpecah-pecah ini. Mereka saling memanfaatkan satu sama lain. Tak ada yang memikirkan nasib keilmuan umat. Tak ada yang mencerdaskan dan mencerahkan umat dengan ilmu Al Qur’an dan As Sunnah. Bukankah Rasul memulai dengan mencerdaskan dan mengajarkan umat dengan ilmu Diin Islam telebih dahulu sebelum membawa umat ini mencapai masa jayanya? Karena kejayaan takkan mungkin bisa diraih tanpa ketercerahan. Umat Islam dahulu telah membuktikan kejayaan paling gemilang dikalangan umat manusia dimuka bumi. Dan kondisi kita sekarang ini sangatlah mirip dengan kondisi umat yang jahiliah, dimana dari kita sangatlah sedikit yang memahami hukum-hukum Al Qur’an dan As Sunnah. Terlau banyak penyelewengan ajaran Islam dimana-mana. Terlalu banyak orang yang mengaku ahli agama, ustadz, kiai atau bahkan ulama, tetapi amalan mereka adalah amalan bid’ah yang tidak diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, atau bahkan amalan syirik, berteman dengan jin. Mereka adalah para da’i yang megajak umat kepada pintu-pintu neraka jahannam, sebagai mana yang disebutkan Rasul melalui Sahabat Hudzaifah bin Yaman bahwa diakhir zaman nanti banyak da’i-da’i yang menyeru kepada pintu neraka jahannam. Na’udzubillah!

Semua kelompok-kelompok Islam itu hendaknya bersatu dalam sebuah visi dan misi yaitu membawa umat ini pada kejayaan dengan mendidik umat akan ilmu-ilmu islam yang suci, memahamkan mereka pada dua sumber petunjuk hidup, Al qur’an dan Al hadits. Warisan Raulullah Muhammad SAW. (Bersambung…)

Nazla El Qorie