Bukan Pasukan,Tapi Pengertian yang Dibutuhkan di Thailand Selatan

Songkhla, Thailand – Mereka yang tinggal di luar Thailand sering membayangkan negara tersebut sebagai negara yang memiliki masyarakat yang homogen. Tapi, jika dilihat lebih dekat, masyarakat Thailand sesungguhnya sangat beragam. Mayoritas masyarakat Thailand memang menganut agama Budha, agama tak resmi negara. Tetapi ada cukup banyak penduduk Thailand yang menganut agama Kristen, Konghuchu, Hindu, Yahudi, Sikh dan Tao. Bahkan menurut beberapa perkiraan, hampir 10 persen dari 64 juta warga Thailand adalah Muslim.

Muslim merupakan kelompok minoritas terbesar kedua di Thailand, setelah etnis Cina. Sebagian Muslim Thailand adalah keturunan Persia, Cham (Muslim Kamboja), Bengal, India, Pakistan dan Cina. Tetapi mayoritas dari mereka adalah orang Melayu. Muslim Thailand hidup di berbagai wilayah negara tersebut. Tapi kebanyakan Muslim Melayu hidup di berbagai provinsi bagian selatan Thailand seperti Pattani, Yala Naratiwat, Songkhla, dan Satun, yang berbatasan dengan Malaysia.

Tidak seperti saudara mereka Muslim non-Melayu yang cenderung lebih dapat berbaur, Muslim Melayu menemui kesulitan untuk menjadi bagian yang tak tepisahkan dari budaya Thailand. Sejumlah gerakan separatis muncul sebagai akibatnya. Langkah-langkah yang diambil pemerintah Thailand untuk menekan gerakan-gerakan malah mengakibatkan konflik puluhan tahun.

Kekerasan yang terjadi pada pertengahan tahun 2004 dan berlangsung hingga tahun 2007 memperlihatkan bahwa solusi alternatif terhadap konflik ini perlu ditemukan. Salah satunya adalah dengan meninjau ulang kebijakan asimilasi dan integrasi yang telah diterapkan pemerintah Thailand di kawasan selatan Negara itu selama puluhan tahun.

Muslim Thailand yang beretnis Melayu telah tinggal di wilayah selatan Thailand sebelum Kerajaan Thai yang sekarang berdiri. Daerah tempat mereka tinggal dijadikan bagian Kerajaan tersebut pada paruh akhir abad ke-18. Muslim Melayu menentang penggabungan ini karena mereka memiliki kesultanan sendiri dan lebih suka bergabung dengan sebuah negara Melayu atau memerintah diri mereka sendiri.

Kebijakan asimilasi besar-besaran yang diluncurkan oleh partai nasionalis pimpinan Pibul Songkhram pada 1940-an menciptakan penolakan yang lebih besar dari kalangan Muslim Melayu. Pemerintahan Pibul mencoba memaksa orang Melayu untuk membuang jati diri mereka baik sebagai Melayu maupun Muslim. Mereka dilarang mengenakan sarung dan kerudung yang notabene merupakan pakaian tradisional Melayu, tidak diperkenanan berbahasa Melayu dan dianjurkan untuk menggunakan nama-nama yang berbau etnis Thai. Mereka juga dilarang melaksanakan ajaran Islam karena dengan alasan agama Budha adalah agama utama di Thailand.

Pemerintahan Pibul jugamenghapus pengadilan agama yang telah didirikan untuk mengatur urusan-urusan keluarga Muslim. Selain itu, murid-murid Melayu di sekolah negeri dipaksa untuk memberi hormat pada gambar-gambar Budha yang dipasang di sekolah mereka.

Mereka yang menolak untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan ini ditahan; sebagian bahkan disiksa. Kebijakan ini berakibat fatal terhadap hubungan antara pemerintah Thailand dan rakyat di selatan.

Meski kebijakan-kebijakan ini akhirnya dihapus, satu hal yang kelihatannya tetap tak berubah. Pemerintah Thailand, seperti kata Michael Vatikiotis, seorang ahli Asia Tenggara yang tinggal di Singapura, "tetap enggan untuk mengakui bahwa konflik di Thailand adalah konflik yang melibatkan masalah-masalah sosial dan budaya yang cukup rumit".

Tak heran, meski pemerintah telah melakukan berbagai upaya yang cukup konstruktif, kebijakan yang mereka ambil tetap menunjukkan kurangnya sensitivitas budaya. Misalnya, pemerintahan mantan Perdana Menteri Thaksin Sinawatra memberikan beasiswa bagi murid-murid di wilayah selatan berdasarkan undian lotre – yang dianggap sebagai judi dan tidak bisa diterima oleh Muslim Melayu.

Bangkok malah cenderung melihat konflik ini sebagai akibat dari kegiatan-kegiatan kriminal yang dilakukan oleh kelompok-kelompok agama berhaluan keras di wilayah selatan. Karena itu, operasi militer selalu menjadi tulang punggung kebijakan-kebijakan mereka.

Selain itu, pejabat pemerintah yang ditugaskan di wilayah Muslim Melayu kebanyakan masih berasal dari etnis Thai dan beragama Budha, hingga jumlah perwakilan Muslim di tingkat nasional dari wilayah ini menjadi minim.

Pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan integrasinya. Satu cara agar Muslim Melayu bisa berintegrasi ke dalam masyarakat Thailand dengan damai adalah dengan memberikan mereka otonomi untuk memerintah diri mereka sendiri. Kekuasaan otonomi bisa mempengaruhi kemampuan mereka untuk memperbaiki standar kehidupan masyarakat mereka secara langsung.

Pemerintah juga perlu memiliki pengertian yang lebih besar terhadap budaya masyarakat Muslim Melayu hingga kebijakan-kebijakan yang dihasilkan tidak terlalu terfokus pada aksi militer dan bisa melibatkan penduduk lokal dengan cara-cara yang menghormati budaya mereka.

Kebijakan asimilasi dan integrasi adalah sumber konflik di Thailand selatan. Karenanya, konflik di wilayah ini akan terus meledak kecuali jika mereka yang terlibat mau mengatasi masalah tersebut secara proaktif.

Phaison Daoh adalah dosen ilmu politik di Prince Shongkla University di Thailand. Artikel ini adalah salah satu artikel dalam edisi khusus “Masyarakat Muslim yang kurang dikenal” dan ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews)

(cgnews)