Cadar, Cingkrang, Dan Kebangkitan Peradaban Islam

Eramuslim.com -PANDANGAN dan pernyataan Din Syamsudin, Rizal Ramli, dan lain lain, terakhir Said Aqil Siraj, beberapa hari kemarin, telah meruntuhkan agenda aksi Jokowi terkait pemusnahan radikalisme.

Jokowi langsung meralat istilah radikalisme untuk diganti dengan “manipulator agama”. Hal itu masih dalam bulan yang sama di akhir Oktober lalu, antara perintah Jokowi kepada menteri agama itu dan kemudian dia mencoba menganulirnya.

Pemimpin seperti Jokowi, cenderung tanpa pengetahuan yang cukup tentang narasi besar bangsa ini ke depan, merasa gampang memainkan kata-kata yang konsepnya, yang hanya bisa dipahami melalui kajian yang dalam atas konsep dan definisi tersebut.

Akibatnya, kata tersebut, radikalisme, harus ditarik kembali. Namun, sayangnya, menteri agama, yang merasa mendapatkan tugas, sebelum adanya penganuliran, sudah bergerak lebih cepat lagi, dengan menerjemahkan radikalisme pada simbol, seperti cingkrang (celana yang dipakai sampe batas atas lutut kaki) dan cadar (berjilbab dengan ikut menutup wajah, kecuali mata).

Menteri agama (Menag) mengatakan bahwa pegawainya yang pakai cingkrang dilarang masuk kantor, alias keluar dari pegawai negeri. Meskipun menteri ini menganulir lagi bahwa itu bukan pelarangan, hanya rekomendasi, namun wakil menteri agama, yang harus menunjukkan loyalitasnya bersifat lebih ekstrim, telah melarang penggunaan cadar dan cingkrang ini di lingkungan kementerian agama.

Pekerjaan Menag dalam mem”break down” radikalisme kepada simbol berpakaian merupakan kemajuan besar, meskipun terburu-buru, lalu salah.

Clifford Geertz dalam “Religion as A Cultural System”, 1993, mengetengahkan pentingnya memperhatikan simbol dalam sebuah konsep budaya. Simbol menurutnya merupakan alat atau metoda manusia berkomunikasi, mengembangkan pengetahuan dan sikap dalam kehidupan.