Catatan Asyari Usman: Bersatu Dalam Melodi Kejahatan

Eramuslim.com – Kalau para penipu dan orang-orang dungu bersatu dalam melodi kejahatan, maka lirik “jual negara” bisa dilantunkan menjadi “selamatkan negara”. Jual aset dinyanyikan menjadi “buy back aset” (beli kembali). Padahal, jual aset negara kepada swasta, apalagi swasta asing, adalah bentuk jual negara yang sangat nyata.

Tetapi karena media besar milik para pemodal jahat beramai-ramai memelodikan atau mengkoorkan bahwa cara ini bukan jual negara, maka secara serentak orang-orang pintar yang dungu pun ikut naik pentas.

Itulah melodi kejahatan. Akibat fatalnya baru akan disesalkan setelah kedaulatan negara seratus persen berada di tangan asing.

Rupiah melemah dikoorkan menjadi dollar menguat. Ekspor merugi dipadusuarakan menjadi impor yang meraup laba besar. Kenaikan harga BBM dan harga-harga lainnya bisa berjalan relatif tanpa resistensi. Luar biasa!

Melodi kejahatan mirip seperti sabda-sabda tentang pertanda akhir zaman. Mirip dengan cerita mengenai kedatangan Dajjal. Yaitu, kedatangan yang didahului oleh penglihatan yang terbalik-balik tentang kebaikan dan keburukan. Banyak orang yang “smart” melihat yang baik sebagai hal yang buruk. Hitam tampak putih. Yang putih mereka lumuri dengan pemikiran kotor mereka.

Penglihatan mereka terbalik-balik. Tetapi, karena mereka bersatu dalam melodi kejahatan, maka semakin banyaklah jumlah yang mengagumi orkestrasi satanikal mereka.

Melodi kejahatan dikonserkan di mana-mana. Dengan dukungan promosi dari komplotan media-media milik penjahat ekonomi, maka kejernihan suara kebaikan menjadi tak kedengaran. Begitu banyak orang yang tersihir setengah sadar. Sekian banyak pula yang semula sadar, kini teryakinkan untuk membuang kesadaran furqaniyah. Yaitu, kesadaran dalam membedakan yang benar dan yang salah.

Begitulah cara kerja melodi kejahatan. Kebisingan terdengar seperti lantunan musik yang indah. Jurang di depan tampak seperti hamparan surga. Racun terlihat seperti madu.

Melodi kejahatan membuat pendengarnya terbuai. Sebab, para anggota paduan suaranya adalah akademisi, cendekiawan, penguasa dan pengusaha yang berpenampakan “musang berbulu ayam”. Mereka ini berada di garis depan gerakan sosialisasi gagasan-gagasan yang membahayakan kedaulatan negara dan rakyat.

Kesesatan pimikiran dan kesalahan dalam pengelolaan negara, mereka presentasikan sebagai teori kepemimpinan yang prorakyat. Padahal, semua yang terjadi adalah langkah-langkah yang berpihak pada penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang.