Catatan Djoko Edhie: Media Indonesia Perlu Belajar dari War On Terrorism

Jadi itulah demokrasi, sesukses apa pun pemerintah, tetap saja harus dikontrol dan dikritik, sebab kritik itulah yang membuat mereka bekerja lebih baik bagi rakyat.

Apalagi jika apa yang mereka lakukan, memang bermasalah.

Kembali kepada Terror Factory tadi, penulisnya menuduh FBI, membuat plot teror, lebih banyak daripada yang dilakukan oleh Al-Qaeda, ISIS, dll, bahkan ketika semua plot itu digabung.

FBI dianggap jadi dalang aksi teror. Setelah peristiwa 9/11, kata Aaronson, FBI tidak lagi peduli kepada kejahatan lainnya, kecuali terorisme.

Bahkan di APBN Amerika Serikat, biaya FBI menggelembung untuk membiayai kegiatan anti teror. Hal itu terjadi, akibat kampanye luar biasa tentang terorisme.

Setelah setahun Aaronson melakukan investigasi, wartawan investigatif ini justru menemukan, bahwa dalam banyak kasus yang ia teliti hingga di ujung pengadilan, FBI lebih banyak membuat teroris daripada menangkapnya. Aaronson memapar banyak bukti yang sangat aktual.

Menurut pendiri asosiasi jurnalis investigatif itu, setelah 9/11, FBI menciptakan begitu banyak plot (skenario terapan): menangkap begitu banyak orang secara tertutup. Aaronson menemukan banyak operasi penyusupan (Sting Operation), termasuk untuk menggarap orang gila dan orang frustrasi.

Setelah 9/11, FBI menurut Aaronson, merekrut tidak kurang dari 15.000 agen yang bertugas untuk mencari orang (berbahaya) yang bisa dipakai dalam plot aksi terror.

Itu yang membuat FBI selalu tahu, sebelum kejadian teror. Mereka di bayar 100.000 USD untuk tiap kasus terorisme.