Catatan Dr. Syahganda Nainggolan: Jokowi 100 Hari dan Krisis Tanggung Jawab

Niat Omnibus Law adalah mempermudah investasi dan dunia bisnis di Indonesia. Dasar pemikirannya adalah negara harus melayani sebesar-besarnya kepentingan pebisnis. Kepentingan pebisnis di sektor pertanahan meliputi kepastian hukum kepemilikan tanah para konglomerat kita.

Di sektor ketenagakerjaan meliputi hak-hak pengusaha memecat buruh secara mudah. Di bidang efisiensi bernegara, harus dikembalikan negara dalam hierarki tunggal, atau maksudnya otonomi daerah diabaikan.

Melayani kepentingan pebisnis adalah sifat negara plutokrasi alias negara yang dikontrol para kapitalis. Dalam bahasa lebih baru, Jeffrey Sach, mengatakan korporatokrasi. Negara yang dikontrol perusahan-perusahaan besar.

Buruh beberapa waktu ini marah dengan rencana Omnibus Law ini. Itu Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Mereka menolak.

Namun, para gubernur dan walikota/bupati tidak bereaksi ketika RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja akan menghancurkan prinsip demokrasi dan desentralisasi selama ini. RUU ini memberikan otoritas hirarkis kepada Presiden, lalu Mendagri, lalu Gubernur, dan Bupati/Walikota, di mana otoritas di atas dapat memecat yang di bawah.

Ini artinya mengembalikan Indonesia kepada sistem sentralistik jaman orde baru.

Memang hanya Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil yang sedikit gusar. Ridwan Kamil mengeluh, kenapa urusan sistem sentralistik vs desentralisasi ini tidak dibicarakan bersama?

Urusan Omnibus Law sektor agraria belum muncul kepermukaan. Namun, kita ketahui bahwa tanah-tanah HGU dan pinjam pakai yang dikuasai konglomerat nantinya akan mungkin berubah menjadi lebih dikontrol swasta ketimbang negara.

Soal pindah ibukota juga muncul setelah Pilpres selesai. Rakyat tidak diajak menyetujui pindah ibukota dan kemana pindahnya. Sebab, rakyat tidak tahu hal itu dalam kampanye Jokowi.

Pindahnya ibukota ke Penajam, Kaltim, sudah diputuskan Jokowi sebelum ada persetujuan DPR. Desain ibukota sudah ditenderkan. Beberapa orang penting, termasuk pangeran Uni Emirates Arab, sudah dimasukkan dalam penasihat pindah ibukota.

Rakyat hanya tahu bahwa ibukota yang akan di bangun bermanfaat buat pemberi utang baru. Karena pemberi utang akan mendapat keuntungan mendapatkan gedung-gedung pemerintahan di Jakarta. Yang untung selain pemerintah adalah pemilik tanah di Penajam itu, yakni Sukanto Tanoto (Konglomerat yang mengatakan Indonesia hanyalah ibi tiri, sedang ibu kandungnya adalah China).

Bagaimana tanggung jawab Jokowi?

Jokowi mengatakan bahwa baik Omnibus Law maupun pindah ibukota tergantung DPR. Jika DPR tidak setuju, maka akan gagal.

Namun, kembali lagi bahwa DPR adalah bagiam rezim Jokowi. Yang sudah pasti seperti istilah Gus Dur, kumpulan anak taman kanak-kanak yang akan setuju saja.

Namun, risiko Omnibus Law adalah mempermudah Indonesia menjadi negara plutokrasi. Dan pindah ibukota menjadikan perubahan landscape struktur bangsa kita berubah tanpa arah yang jelas.

5. Minus Solidaritas Untuk Uighur

Indonesia sebagai bangsa mayoritas Islam terikat pada solidaritas Islam internasional. Dalam kasus Palestina, misalnya, Bung Karno yang Marhaenis Nasionalis, menyatakan permusuhan dengan Israel ketika negara Jahudi itu menduduki Palestina.

Dalam konteks Uighur, bangsa Indonesia merasakan kepedihan atas pembantaian orang-orang muslim Uighurs di China. Ratusan ribu atau bahkan jutaan mereka sedang disiksa. Kamp-kamp di Xin Jiang, China mempunyai level kekejaman, dari mulai level mencuci otak orang-orang Uighur agar meninggalkan Islam, maupun sampai kepada mensiksa mereka yang dianggap pemberontak dan teroris.

Ketika rakyat Indonesia berduka atas kaum Uighur, pemerintah Jokowi terlihatnya tidak mengambil pusing. Rezim Jokowi melihat kasus Uighur sejalan dengan pandangan RRC, bahwa hal itu urusan separatisme belaka.

Sikap pemerintahan Jokowi tentu saja terkait dengan kiblat pemerintahan Jokowi yang cenderung pro-RRC. Jokowi mungkin takut bantuan bantuan utang dan investasi RRC akan distop jika pemerintahannya menunjukkan solidaritas pada bangsa Uighur itu. Sikap ini adalah sikap pragmatis, “money for anti humanity”. Apakah ini sesuai dengan sila kedua Pancasila, Prikemanusian Yang Adil dan Beradab?

6. Kedaulatan Natuna

Indonesia bukanlah negara yang merdeka karena belas kasihan penjajah. Meski Bung Karno bersekutu dengan Jepang dalam masa pendudukan Jepang di Indonesia, perlawanan Bung Karno dan kawan2 terhadap penjajah jelas nyata.

Dalam 100 hari pemerintahan Jokowi, pemerintah China mengumumkan bahwa Indonesia setuju atau tidak, hak China atas laut Natuna bersifat final. Oleh karenanya China ingin bebas menangkap ikan dan berpatroli di laut Natuna.

Rakyat Indonesia marah terhadap sikap China ini. Tentara kita bergerak menjaga kedaulatan. Laskar laskar rakyat mulai siap berjihad melawan China. Karena hal China di Laut Natuna sudah dinyatakan klaim salah oleh pengadilan internasional.

Namun, sikap marah rakyat Indonesia ini berbeda dengan sikap pemerintahan Jokowi. Jokowi dan rezimnya mengatakan bahwa China adalah sahabat. Lalu bertanya, apakah kita bersahabat dengan pencuri?

7. Ekonomi Memburuk

Situasi ekonomi memburuk. Pertumbuham dunia jatuh kekisaran 3% sebelum isu virus corona muncul. Dalam situasi tersebut, pertumbuhan Indonesia terpuruk di bawah angka “magic”, 5%. Bank Dunia meyakini pertumbuhan menurun ini bersifat trend sampai 4,2 % pada tahun 2022.