Catatan Syahganda Nainggolan: Andi Arief, Yudhoyono, dan Keteladanan Sandi Uno

Dalam pertemuan saya dengan Andi Arief dan Ferry Juliantono, 23 Juli, sebelum esok harinya Prabowo mengunjungi SBY, ambisi Prabowo ini sudah terbahas. Sebagai “orang kopassus”, pasti watak Prabowo pantang menyerah.

Apakah Prabowo “jenderal kardus”? Hanya karena AHY tidak dipilihya sebagai cawapres?

Pemilihan cawapres bagi Prabowo adalah penting namun bersifat sekunder, setelah ambisinya yang bersifat primer. Berbagai gangguan atas keinginan Prabowo menjadi capres diketahui publik dengan adanya godaan dari pihak kekuasaan untuk menjadikannya hanya cawapres Jokowi, atau dari pihak lainnya untuk sebagai “king maker” atau bahkan adanya pengkhianatan dalam rencana pencapresan itu.

Setelah Prabowo yakin dengan modal kurang dari presidential threshold (PT) 20 persen, akan mendapatkan tiket dengan dukungan koalisi, maka urusan cawapres menjadi lebih ringan.

Lebih ringan artinya cawapres yang muncul haruslah merupakan titik keseimbangan kepentingan partai partai koalisi, baik ukuran soliditas, visi misi, maupun logistik.

Di sisi inilah AHY masuk dalam pusaran pertarungan, PKS memaksakan calonnya, Salim Segaf, PAN memaksakan Zulkifli Hasan atau Ustad Somad, sedangkan PD mendorong AHY.

Karena sifat pertarungan ini saling nenihilkan, maka PKS dan PAN mencari representatisi mereka pada Anies Baswedan. Namun, karena Anies masih ingin tetap Gubernur dan hanya berminat Capres, muncul nama Sandi sebagai alternatif.

Prabowo lebih memilih didukung dua partai sekutu lamanya, selama oposisi, daripada memilih AHY. lalu, dimanakah salah Prabowo?