Cina, Tionghoa dan Pribumi: Tantangan Ekonomi Politik Indonesia

Kritik publik Indonesia terhadap hubungan mesra rezim Jokowi dengan Cina tak lepas dari pengalaman buruk Indonesia di masa lalu. Peristiwa G30S 1965 tak bisa dipisahkan dari campur tangan Cina melalui orang-orang PKI terhadap urusan dalam negeri Indonesia. Tak heran, segera setelah berkuasa menggantikan Soekarno, Soeharto langsung memutuskan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina.

Kini rezim Jokowi merangkul rezim yang sama, yang turut menciptakan tragedi berdarah nasional itu. Tapi cemasnya Pribumi pada gelagat pengaruh Cina yang terus membesar di negeri ini tak lepas dari persepsi negatif mereka pada warga Tionghoa di negeri ini.

Kendati banyak tokoh Tionghoa yang bersumbangsih bagi kemajuan negeri ini, dan fakta bahwa tak sedikit dari mereka juga hidup miskin, persepsi umum Pribumi terhadap Tionghoa sudah terlanjur terbentuk melalui proses panjang interaksi sosial dan ekonomi dua komunitas ini.

Tak dapat diingkari bahwa komunitas Tionghoa di pecinan-pecinan di seluruh negeri ini hidup eksklusif. Tembok pagar rumah mereka dibangun tinggi-tinggi. Hampir tidak ada interaksi dengan Pribumi kecuali di pasar saat terjadi transaksi jual-beli Tionghoa dan Pribumi. Di institusi pendidikan dari TK sampai universitas pun terjadi segregasi sosial Tionghoa-Pribumi yang cukup dalam. Mayoritas pelajar Tionghoa terkonsentrasi di sekolah-sekolah swasta milik Gereja Katolik.

Namun, yang paling menggusarkan Pribumi adalah fakta bahwa warga Tionghoa mendominasi ekonomi Indonesia. Dari seratus orang paling kaya di negeri ini mayoritas adalah warga Tionghoa. Mereka menguasai aset-aset ekonomi nasional yang mencengangkan. Sudah itu, mereka dicurigai tak setia pada tanah air dan masih berorientasi pada negeri leluhur. Kebetulan pada masa kini, para taipan berbisnis dengan Cina yang ekonominya sedang tumbuh pesat.

Kecurigaan Pribumi bahwa warga Tionghoa hanya menjadikan Indonesia sebagai tempat mencari rezeki seolah terkonfirmasi ketika penyanyi Agnes Mo, penyanyi Tionghoa kelahiran Indonesia yang berkarir di AS, menyatakan dia tak punya hubungan apa pun dengan Indonesia kecuali hanya sebagai tanah kelahirannya. Padahal, ketenaran Agnes tak lepas dari jasa Pribumi yang mengasah bakatnya dan mengembangkan karirnya. Karena itu, pernyataan Agnes itu memicu kekecewaan luas di kalangan Pribumi.

Sebelumnya, Sukanto Tanoto, salah seorang taipan Tionghoa, menganggap Indonesia sebagai ayah angkat dan China adalah ayah kandungnya. “Saya lahir dan besar di Indonesia. Menempuh pendidikan, menikah dan memulai bisnis juga di sana. Tetapi Indonesia adalah ayah angkat bagi saya, karena itu ketika pulang ke Cina saya merasa menemukan ayah kandung. Itu karena saya masih merasa orang Cina,” demikian diucapkan Sukanto Tanoto saat tampil sebagai narasumber dalam sebuah acara televisi di Cina.

Bagaimanapun, hubungan Tionghoa-Pribumi yang disharmonis berakar jauh dalam sejarah. Pada 1293 pasukan Raden Wijaya, pendiri Majapahit, menghancurkan pasukan Dinasti Yuang dari ras Mongol ketika Kaisar Kublai Khan menuntut ketundukan Singosari pada kekaisarannya dengan mengirim 100 ribu tentara.

Sejak masa awal VOC (1609) sampai berakhirnya kekuasaan pemerintahan Hindia di bawah Kerajaan Belanda (1945), orang-orang Tionghoa dijadikan perantara dalam mengeksploitasi ekonomi Pribumi. Perdagangan budak dan candu dilakukan warga Tionghoa di bawah perlindungan Belanda. Bersama orang Arab dan India, Tionghoa dinaikkan kelas di atas Pribumi untuk menjalankan politik pecah-belah Belanda. Orang Tionghoa, di antaranya, diberi tugas sebagai penarik pajak pada Pribumi. Sebagai imbalan Tionghoa diberi sejumlah hak istimewa yang taj diperoleh Pribumi. Di antaranya akses ke pendidikan Belanda.