Dahlan Iskan: Respons Hidung

Eramuslim.com -DARI begitu banyak reaksi soal ”Cuci Hidung”, ada tulisan seorang dokter ahli THT yang cukup panjang. Tulisan itu dikirim ke saya lewat ketua IDI Surabaya: Dr dr Brahmana.

Nama ahli THT itu Budi Sutikno. Saya membacanya dengan teliti. Ia sangat kompeten. Ia spesialis THT-KL, konsultan rinologi.

Dokter Budi juga mengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Juga, berdinas di RSUD dr Soetomo, Surabaya.

Maka, saya pun memperhatikan respons itu. Dan menggunakannya untuk tulisan hari ini.

”Protokol Rakyat cuci hidung dengan larutan garam fisiologis itu telah dikenal dan digunakan sejak zaman Hindu kuno,” tulis dr Budi. Sebutannya jala neti. Yaitu, larutan garam fisiologis yang dimasukkan ke salah satu lubang hidung dengan bantuan teko kecil.

Itu disebut garam fisiologis karena konsentrasi larutan garam setara (isotonis) dengan konsentrasi cairan tubuh: praktis berada di konsentrasi garam 0,9 persen.

Konsentrasi kurang dari itu (hipotonis) berpotensi merusak selaput lendir (hidung). Konsentrasi lebih dari itu (hipertonis) berpotensi merusak selaput lendir secara reversible (sementara). Bisa juga irreversible (permanen) seiring dengan meningkatnya konsentrasi.

”Penggunaan cuci hidung seperti itu juga telah dipakai di dunia medis,” tulis dr Budi. Itu didukung banyak penelitian ilmiah. Itu bagian dari upaya menjaga kesehatan hidung dari penyakit-penyakit flu, infeksi saluran napas atas, dan sebangsanya.

”Pasien sinusitis yang menderita alergi hidung atau pascaoperasi hidung juga memakai cara itu,” tulis dr Budi.

Itu, katanya, telah bertahun-tahun dijalankan. Bukan baru dalam 2 tahun terakhir.

Menurut dr Budi, pasien Covid-19 bisa diasumsikan mendapat manfaat dari pola hidup sehat tersebut. ”Namun, hingga saat ini, WHO belum menyatakan bahwa penggunaan cuci hidung dengan larutan garam fisiologis dapat menyembuhkan infeksi Covid-19,” katanya.