Dahsyatnya Kemampuan Akademis Prof. Dr. Megawati

Serius sekali. Bu Mega telah membaca banyak buku tentang ekonomi, politik, perbankan, bisnis, dll. Di bagian awal saja Bu Mega menunjukkan pemahaman yang luas dan dalam tentang krisis moneter 1997-1998 tempo hari.

Intinya, lewat tulisan yang dimuat di Jurnal Pertahanan & Bela Negara, April 2021, Volume 11 Nomor 1, Megawati mengatakan bahwa kepemimpinan dia sebagai presiden 2001-2004 sangatlah hebat. Sebab, krisis yang melanda Indonesia datang dari berbagai arah (multidimensional). Dan krisis berat ini bisa dinavigasikannya dengan piawai.

Membaca karya ilmiah ini, terlihat literasi Bu Mega sangat luas spektrumnya. Di bagian “Pendahuluan”, Bu Mega memberikan isyarat bahwa dia membaca berbagai analisis termasuk Kuncoro (2011), Basri (2011), Wirutomo (2003), Harahap (2018), Windiani (2017), Byman (1986), Fielder (1967), Avolio (2007), Larry Greiner (1972), Moleong (2008), Yin (2013), Lukman (2004).

Bu Mega juga membaca tulisan Robert D Putnam (Universitas Harvard) yang berjudul “Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games”. Artikel ini menyimpulkan bahwa persetujuan internasional baru akan didukung kalau memberikan keuntungan domestik. Megawati mengutip artikel 34 halaman yan terbit di jurnal International Organization ini untuk menjelaskan bahwa dia adalah presiden yang memiliki kemampuan diplomasi yang luar biasa.

Tetapi, ada buku Putnam yang sangat relevan dengan situasi dan kondisi politik Indonesia yang tidak dijadikan rujukan. Yaitu, “Making Democracy Work” (1993). Buku ini membahas soal “social capital” (modal sosial). Menurut buku ini, sukses demokrasi sangat bergantung pada “horizontal bonds” (ikatan horizontal) di tengah masyarakat. Intinya adalah “trust” (kepercayaan) antara satu dengan yang lainnya.

Nah, seperti apa ikatan horizontal di negeri ini pada saat sekarang? Tentu kita semua bisa lihat sendiri. Rajut sosial sudah rusak berat gara-gara pemimpin yang tidak berkualitas. Padahal, kata Putnam, modal sosial yang kuat akan mendorong partisipasi publik yang tinggi dan juga menumbuhkan kemakmuran ekonomi. Nyatanya, aspek ini hancur-lebur.

Megawati juga mengutip buku Barry Buzan “People, States and Fear” (1991). Dengan mengutip profesor hubungan internasional di London School of Economic ini, Bu Mega mau menjelaskan betapa beratnya ancaman keamanan dalam kategori militer, politik, lingkungan, ekonomi dan sosial semasa dia menjadi presiden. Tapi, semua itu bisa diatasinya. Keren, bukan?

Kemudian, dia juga mengutip Robinson & Rosser (1998) tentang utang luar negeri (ULN) Indonesia sebesar 150 miliar USD yang ditinggalkan Orde Baru. Di sini, Mega mengklaim bahwa dia berhasil meminta penjadwalan ULN itu di forum Paris Club dan London Club. Padahal, penjadwalan ulang adalah formula yang akan disetujui oleh semua kreditur internasional. Sebab, semua pihak paham tentang kesulitan debitur mana pun untuk membayar utang yang jatuh tempo pada masa krisis. Paris Club dan London Club tak mungkin memaksa Indonesia membayar tepat waktu. Bahkan, tanpa perundingan pun pasti para kreditur akan menawarkan penjadwalan ulang (reschedule). Jadi, klaim Megawati ini tampaknya “patronizing”. Seolah orang lain tidak mengerti.