“Demagogi” by Rocky Gerung

Jadi, dari mana kita belajar mengejek? Tan Malaka memiliki kekayaan metafor. Sutan Sjahrir lihai membekuk pikiran lawan debat. Mohammad Hatta bersih dalam berkalimat. Begitu juga yang lain. Pendiri negeri tumbuh dalam tradisi pikiran. Pidato Sjahrir di Perserikatan Bangsa-Bangsa (1947), ketika mempertahankan kemerdekaan, disebut oleh New York Herald Tribune sebagai salah satu pidato yang paling menggetarkan. Jebakan diplomat Belanda kepada Dewan Keamanan PBB untuk memilih: “Siapa yang Saudara percaya, mereka atau orang-orang beradab seperti kami,” ditanggapi Sjahrir dengan enteng: “Mereka mengajukan tuduhan tanpa bukti, ketimbang membantah argumen saya.”

Debat adalah pelajaran berpikir.

Negeri ini dihuni oleh gagasan, karena kita bertemu dengan berbagai pengetahuan mancanegara. Filsafat dan ideologi sudah lama berseliweran dalam pikiran pendiri negeri. Rasionalitas dan teosofi beredar luas di awal kemerdekaan. Sastra dan musik disuguhkan dalam pesta dan konferensi. Suatu suasana pedagogis pernah tumbuh di negeri ini. Tapi jejak poskolonialnya hampir tak berbekas, kini.

Memang, ada yang putus dari masa itu dengan periode Orde Baru: kritisisme.

Teknokratisasi pikiran, ketika itu, melumpuhkan kebudayaan. Birokratisasi politik mengefisienkan pembuatan keputusan, karena tak ada oposisi.

Kritik yang pedas memerlukan pengetahuan yang dalam. Sinisme yang kejam datang dari logika yang kuat. Dua-duanya kita perlukan untuk menguji pikiran publik agar tak berubah menjadi doktrin, agar panggung publik tak dikuasai para demagog. Kita hendak menumbuhkan demokrasi sebagai forum pikiran.

Debat adalah metode berpikir. Titik kritisnya adalah ketika retorika mulai tergelincir. Titik matinya adalah ketika dialektika terkunci.

Itulah saat kita menikmati debat sebagai pelajaran berpikir, suatu peralatan pedagogis untuk mendidik rakyat dengan pikiran. Demokrasi adalah sekolah manusia, bukan arena sabung ayam. Hari-hari ini, kita tak melihat itu karena busa kalimat memenuhi ruang sosial. Busa kekuasaan, busa dendam, busa hipokrit. Sementara di belakang panggung para dalang mengatur siasat, penonton dijebak dalam psikologi: terlalu optimistis atau terlalu pesimistis. Tak ada yang kritis. Tan Malaka pernah memberi nasihat: “Kita tak boleh merasa terlalu pesimistis, pun tak boleh merasa terlalu optimistis, karena kedua perasaan itu akan mudah membawa kita kepada oportunisme.”[ts]