Pengiriman TKW Bentuk Kejahatan

Indonesia negeri yang kekayaan sumber daya alamnya melimpah, tetapi mengapa sebagian rakyatnya harus mencari rezeki di negeri orang?

Sebelum ada kasus Sumiati, Husna, Rohani, dan Kikim Komalasari, beberapa tahun belakangan sudah ada kasus TKI yang dianiaya di negeri tetangga Malaysia. Yaitu, Nirmala Bonat (pertengahan 2004), Ceriyati (2007), Onis (Mei 2009), Nurul Widayanti (Juni 2009).

Sumiati

Kasus Sumiati mulai terungkap pada 8 November 2010. Ketika itu, majikan Sumiati, janda berusia 53 tahun, membawa Sumiati ke rumah sakit dengan alasan pembantunya mengalami luka berat. Namun. Karena rumah sakit tersebut tidak sanggup menangani, Sumiati dirujuk ke RS King Fahd. Kepada aparat kepolisian setempat dan pihak rumah sakit, majikan Sumiati mengajukan alasan, bahwa luka berat diderita Sumiati karena sang pembantu ini melakukan tindakan percobaan bunuh diri dengan cara meloncat dari flat.

Alasan itu ternyata palsu. Sumiati ternyata korban kekerasan berat yang dilakukan majikannya. Ketika masuk rumah sakit, Sumati dalam keadaan tidak sadarkan diri, menderita luka bakar di sejumlah bagian tubuhnya. Kedua kaki Sumiati hampir tak bisa digerakkan. Bagian kulit yang terkelupas dapat ditemukan di bibir dan kepala. Jari tengah Sumiati terpotong, dan ada luka irisan di dekat mata. Bibir atas Sumiati rusak, karena dipukul pakai besi.

Kadar hemoglobin dalam darah Sumiati, ketika pertama kali masuk rumah sakit berada pada angka 6. Sebagai bandingan, kadar hemoglobin normal setiap manusia adalah 12. Rendahnya kadar hemoglobin seseorang antara lain disebabkan kehilangan darah dalam jumlah yang cukup signifikan. Menurut laporan Rumah Sakit King Fahd, butuh waktu sedikitnya dua pekan untuk memulihkan kondisi Sumiati yang terluka dari kepala hingga jari kaki.

Sumiati gadis berusia 23 tahun adalah TKI asal Desa Jala, Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat yang mencari nafkah di Arab Saudi dengan mengharapkan upah sebesar 800 riyal atau sekitar Rp 1,9 juta per bulan. Sejak tiba di rumah majikannya, dia tak boleh menggunakan ponsel, dan dilarang berkomunikasi dengan saudara atau tetangganya.

Sumiati memilih jadi TKI ke Arab Saudi untuk mengumpulkan uang demi memenuhi cita-citanya menjadi guru. Untuk bisa kuliah, ia rela pergi jauh mencari uang. Sayangnya, ketika cita-cita itu belum terwujud, tubuh Sumiati sudah lebih dulu dihancurkan sang majikan.

Husna

Masih di Madinah, ada Husna warga Desa Mangaran, Situbondo, Jawa Timur yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di Arab Saudi. Husna dianiaya majikannya, diperlakukan tidak manusiawi saat ia meminta gajinya yang belum dibayarkan selama dua tahun belakangan. Husna meminta gaji karena masa kontrakanya sudah hampir habis.

Sampai saat ini Husna sudah hampir dua tahun bekerja di Arab Saudi. Pihak keluarga mengetahui kondisi Husna yang sering disiksa majikan sejak awal November 2010, ketika Husna menelepon dan mengabarkan keadaannya.

Informasi langsung dari Husna itu tentu saja membuat keluarga Husna kaget dan khawatir. Apalagi kemuddian dikabarkan bahwa kondisi Husna sangat kritis, dan kedua kakinya patah, akibat dipukuli rotan oleh majikannya. Kini Husna dirawat di Rumah Sakit Madinah, berkumpul dengan para tenaga kerja lain yang juga menjadi korban penyiksaan majikannya, termasuk Sumiati.

Rohani

Tenaga kerja asal Indonesia bernama Rohani yang menjadi korban kekerasan majikannya, ada empat. Pertama, Rohani Purba (42 tahun) warga Gang Harapan, Jalan Johar Dusun 3 Sei Mencirim, Kelurahan Binjai, Deli Serdang, Sumatera Utara, yang tewas mengenaskan di Malaysia.

Sejak 2002-2003 Rohani Purba bekerja di Malaysia. Pada tanggal 11 Agustus 2009 lalu, sang pahlawan devisa ini kembali ke tanah air dalam bentuk jenazah. Sebelum kedatangan jenazah Rohani, pihak keluarga almarhumah sudah mendapat kabar, bahwa Rohani Purba meninggal dunia akibat sakit paru-paru yang dideritanya selama bekerja di Malaysia.

Anehnya jasad Rohani penuh luka. Ada luka di kepala, dahi dan kedua tangan. Pada pergelangan tangan kiri Rohani, tampak besi berbentuk mata pancing mengait di daging. Sedangkan pada kaki kiri dan bagian belakang tubuh Rohani terdapat luka memar. Adanya kejanggalan itu mendorong pihak keluarga almarhumah cenderung meminta jasad Rohani diotopsi, sebelum dimakamkan.

Rohani yang kedua, berusia 39 tahun asal Patra Menggala, Tangerang, Banten, yang dianiaya majikannya saat bekerja di Jeddah, Arab Saudi. Rohani Tangerang diselamatkan keponakan sang majikan, dan membawanya ke Konjen RI di Jeddah, pada hari Selasa tanggal 15 Desember 2009, dalam kedaaan wajah lebam dan terdapat luka sayatan.

Majikan Rohani adalah seorang janda beranak dua yang berprofesi sebagai dokter. Meski berpendidikan tinggi, akhlaqnya begitu rendah. Sang majikan ini tega melakukan tindak kekerasan seperti melempar atau memukuli Rohani dengan apa saja hanya akibat kesalahan kecil. Perlakuan kasar juga dialami Rohani bila ia tidak menyahut saat dipanggil sang majikan, hanya karena Rohani tidak mendengar teriakan sang majikan dari ruang lain yang cukup berjauhan.

Selama dua bulan bekerja, Rohani harus bekerja dari pukul lima pagi hingga dini hari keesokan harinya. Dalam sehari Rohani hanya diberi kesempatan tidur dua sampai tiga jam saja. Bila telat bangun, Rohani tidak saja harus menerima perlakuan kasar tetapi juga penganiayaan dari sang majikan.

Perlakuan kasar dan penganiyaan juga diterima Rohani bila ia terlambat membangunkan kedua anak sang majikan, atau bila anak sang majikan tetap tidak bangun meski sudah dibangunkan untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Selain itu, Rohani dipaksa mencuci pakaian dengan cairan pemutih tanpa sarung tangan, sehingga kedua telapak dan jari tangan Rohani melepuh.

Rohani sebenarnya ingin melepaskan diri dari kezaliman yang menderanya. Namun ia tidak tahu harus meminta perlindungan ke mana, bahkan ia pernah diancam akan dibunuh oleh majikannya saat tertangkap tangan sedang mengintip dari jendela ke luar. Selain itu, sang majikan juga menahan surat-surat keterangan yang dimiliki Rohani seperti paspor, KTP dan nomor-nomor telepon orang yang bisa dihubunginya. Lebih parah lagi, gaji Rohani selama dua bulan tak kunjung dibayarkan.

Rohani yang ketiga, berusia 29 tahun, warga Desa Prapag Lor Kecamatan Losari, Brebes, Jawa Tengah. Ia berangkat sekitar November 2007, untuk bekerja di Taiwan sebagai ABK (anak buah kapal) Yufeng 102. Kapal ini sehari-hari mencari ikan di laut lepas. Pada tahun 2009, kapal Yufeng 102 ditahan petugas keamanan Afrika Selatan, karena dianggap melanggar batas wilayah.

Akibatnya, kapal Yufeng 102 dikenakan hukuman tidak boleh melaut selama lima bulan. Maka, kapal pun bersandar di Pelabuhan Gambiya. Selama kapal ditahan di Pelabuhan Gambiya, Rohani Brebes sudah melapor tentang nasibnya, status kapal yang ditahan petugas keamanan Gambiya. Selain itu, Rohani juga melaporkan bahwa ia dan ABK lainnya butuh bantuan pangan. Namun, laporannya itu tidak mendapat respon dari petugas Kantor Kedutaan di Gambiya.

Untungnya Rohani punya inisiatif melapor ke konsulat jendral di Gambiya, dan mendapat repon positif. Petugas konsulat datang ke kapal menengok ABK asal Indonesia.

Nasib Rohani Brebes lebih beruntung dibanding Nurakhman (25 tahun), yang sama-sama bekerja di kapal pencari ikan asal Taiwan. Bedanya, Nurakhman bekerja sebagai ABK di kapal Yufeng 202. Sama dengan kapal Yufeng 102, kapal Yufeng 202 juga dianggap melanggar batas wilayah, sehingga ditahan petugas keamanan Afrika Selatan.

Bila kapal Yufeng 102 yang ditumpangi Rohani Brebes hanya dikenakan hukuman tidak boleh melaut selama lima bulan, awak kapal Yufeng 202 harus berurusan dengan aparat kemanan di Afrika, sampai akhirnya menjalani persidangan dan dihukum 10 bulan di penjara Friton, Afrika Selatan. Bahkan, Nurakhman dan sembilan ABK asal Indonesia lainnya, setelah mendekam selama 10 bulan, dipulangkan ke Indonesia tanpa digaji sepeser pun.

Menurut Nurakhman, warga Desa Larangan Kecamatan Larangan Kabupaten Brebes ini, selama mendekam di penjara, pihak keluarganya pernah menerima kiriman uang Rp 1,3 juta dan Rp 5, 5 juta. Namun gaji resmi sekitar Rp 15 juta (selama dua tahun bekerja) belum pernah diterimanya.

Rohani yang keempat, adalah wanita berusia 24 tahun asal Desa Rawagempol Kulon, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Oktober 2010 lalu, keluarga Rohani Karawang ini menerima kabar tentang kematian sang pahlawan devisa ini. Namun, kematian Rohani bagi pihak keluarga masih dianggap misterius karena belum diketahui jelas penyebabnya.

Rusman (56 tahun) orangtua Rohani mengatakan, saat berangkat ke Oman, anaknya dalam keadaan sehat. Informasi kematian anaknya ia terima pertama kali dari Nuradi, sponsor yang mengantar Rohani ke perusahaan pengarah tenaga kerja (PT Gayung Mulya Ikip) yang berkantor di Condet, Jakarta Timur.

Kabar kematian Rohani membuat Rusman mendapat pukulan. Apalagi, pihak perusahaan yang mengirim anaknya ke Oman seakan tidak menunjukkan tanggung-jawabnya. Menurut Atim, kakak kandung Rohani, sang adik berangkat ke Oman, sejak September 2009. Namun mereka hanya bisa berkomunikasi pada 4 bulan pertama. Saat itu Atim dan keluarganya hanya berharap mereka dapat diberi penjelasan tentang penyebab kematian Rohani, termasuk diberikan semua hak Rohani sebagai tenaga kerja.

Kikim Komalasari

Setelah kasus kematian Rohani asal Karawang yang bekerja di Oman, muncul pula kasus Kikim Komalasari asal Kampung Cipeyem RT 3 RW 1, Desa Mekarsari, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Wanita kelahiran Cianjur tanggal 09 Mei 1974 ini memutuskan menjadi tenaga kerja di Saudi pada Juli 2009 lalu, demi meningkatkan taraf hidup keluarganya yang sangat sederhana. Kikim menikah dengan Ali Nurjaman (Maman) dan mempunyai tiga orang anak, yaitu Yosy Nurmalasari (18 tahun), Galih Permadi (10 tahun) dan Fikri (5 tahun).

Tiga bulan pertama, melalui telepon umum Kikim menghubungi keluarganya di Cianjur, untuk mengabarkan bahwa ia baik-baik saja, dan majikannya pun juga baik. Informasi dan komunkasi seperti itu berlangsung hingga bulan kesembilan. Di bulan kesepuluh, tidak ada kontak. Terakhir menelepon, Kikim sempat mengatakan baru akan pulang bila sudah kerja selama satu tahun. Setelah itu, tidak ada kabar berita.

Ketika ada kabar, justru sangat mengejutkan. Yaitu tentang kematian Kikim. Jasad Kikim ditemukan pada hari Kamis tanggal 5 Dzulhijjah 1431 H atau 11 November 2010, di pinggir Jalan Serhan, bagian dari jalan utama Gharah, Kota Abha. Saat ditemukan, jenazah Kikim tergeletak di tong sampah. Penyebab kematiannya karena dipukul benda tumpul oleh majikannya bernama Shaya’ Said Ali Al Gahtani.

Namun baru sepekan kemudian, kabar duka mengenai meninggalnya Kikim diperoleh pihak keluarga, itu pun melalui siaran radio pada sekitar pukul 22.00 WIB, hari Kamis tanggal 18 November 2010. Kepastian tentang kematian Kikim baru diperoleh pihak keluarga tanggal 19 November 2010. Kepastian itu disampaikan oleh Atang Jaenal, kakak Kikim yang menjabat sebagai Sekretaris Desa Babakan Hurmat, setelah mendapatkan telepon dari Pemda Cianjur.

Hariyatin

Hariyatin (32 tahun) tenaga kerja asal Desa Bakalan RT/RW 03/05, Kecamatan Wonodadi, Blitar, Jawa Timur ini berangkat ke Arab Saudi pada bulan Desember 2006 melalui PT Kemuning Bunga Sejati cabang Blitar. Setelah membayar Rp 700 ribu dan melengkapi dokumen, Hariyatin diberangkatkan ke Jakarta untuk mendapat pelatihan selama 10 hari.

Menurut rencana, Hariyatin seharusnya bekerja di kediaman Hayam Mubarok di Riyadh. Namun, entah apa yang terjadi ia ditempatkan di rumah anak Mubarok bernama Fatma.

Satu bulan pertama, tidak ada kejadian ganjil yang dialami Hariyatin. Namun memasuki bulan kedua, Hariyatin mulai mengalami perlakuan kasar dari Fatma. Siksaan kian sering diterima Hariyatin, menjelang satu tahun bekerja di rumah Fatma. Hampir setiap hari bagian badan, kepala, dan mata Hariyatin dipukuli, akibatnya saraf mata Hariyatin putus dan bola mata kirinya rusak.

Begitu juga dengan komunikasi. Hanya pada bulan pertama komunikasi antara Hariyatin dengan keluarganya dapat terjalin. Setelah itu, tidak ada kontak. Pihak keluarga juga tidak bisa menghubungi Hariyatin, meski berkali-kali sudah mencoba menghubungi nomor yang pernah diberikan oleh Hariyatin sendiri.

Setelah bertahun-tahun tak ada kontak, barulah pada pertengahan 2010, Hariyatin berkesempatan menghubungi keluarganya. Ia bisa bisa menelepon berkat pertolongan saudara majikannya yang merasa iba. Hariyatin diberi telepon dan sejumlah uang untuk membeli tiket pulang ke Indonesia.

Saat itu, Hariyatin mengabarkan bahwa selama bekerja di rumah Fatma ia tak pernah digaji, padahal harus bekerja siang-malam tanpa henti sembari dipukuli. Sehingga pada tubuh Hariyatin banyak terdapat luka. Hariyatin juga sering dipecut dengan menggunakan selang plastik di bagian mata. Akibaynya ia mengalami gangguan penglihatan, dan akhirnya buta total.

Sebenarnya, Hariyatin sudah lima kali mencoba kabur, tapi selalu ketahuan. Setiap ketahuan, majikannya menyeret Hariyatin balik ke rumah, kemudian dikurung agar tak berbuat macam-macam. Ia tak tahu harus meminta pertolongan kepada siapa. Setiap gagal kabur, Hariyatin selalu mendapat penyiksaan lebih kejam dari majikannya.

Ketika kembali ke Indonesia, Hariyatin dijemput Syamsul suaminya, di bandara. Saat itu, Syamsul sama sekali tidak mengenali sang istri, karena wajah Hariyatin sudah berubah 180 derajat. Keadaan fisiknya tak lagi seperti dulu akibat banyak menerima siksaan. Kepala Hariyatin penuh bekas luka, dan matanya buta.

Karena kondisi kedua mata Hariyatin buta, Syamsul sempat membawa sang istri ke sejumlah rumah sakit. Pertama Syamsul membawa Hariyatin ke RS Wlingi, Blitar. Karena keterbatasan alat medis, mereka dirujuk ke RS Mata Undaan. Kemudian, Hariyatin dipindah ke RS Bhayangkara Polda Jatim. Dokter di RS Bhayangkara mematok tarif Rp 3 juta tiap kali periksa. Syamsul jelas tak mampu. Sebagai pekerja serabutan, penghasilannya tak menentu.

Milana Anggraeni

Nama Milana Anggraeni jelas tak masuk dalam daftar buruh migran yang jadi korban kekerasan majikannya. Karena, Milana Anggraeni adalah istri Gayus Tambunan yang mendadak kaya karena membantu sejumlah perusahaan besar melakukan penyelewengan pajak.

Milana adalah pegawai negeri sipil Pemprov DKI Jakarta golongan III-B. Ia ditempatkan di bagian persidangan DPRD DKI Jakarta. Sebagai PNS golongan III-B, Milana digaji negara sekitar Rp 5,5 juta per bulan. Terdiri dari tunjangan kerja daerah dari APBD sebesar Rp 3,3 juta dan gaji PNS dari APBN sebesar Rp 2,2 juta.

Bagi Milana, penghasilan sebesar itu tak ada artinya bila dibandingkan dengan ‘gaji’ yang ia terima setiap bulannya sebagai istri Gayus Tambunan. Sehingga, ia sering mangkir. Karena sering mangkir, Milana Anggraeni pernah diperiksa Inspektorat Pemprov DKI Jakarta yang telah menerima laporan tentang Milana yang sering absen sejak tahun 2009. Berdasarkan catatan sejak Februari 2010, Milana pernah tidak masuk kerja tanpa keterangan selama 36 hari, menyalahi jam kerja selama 37 hari. Maksud menyalahi jam kerja yaitu datang pagi, absen, siang sudah ngabur.

Suami Milana, Gayus, sebagai PNS di Ditjen Pajak menerima remunerasi khusus senilai Rp 12 juta per bulan. Pasangan ini sesungguhnya sudah cukup memadai dari segi penghasilan. Milana tidak akan pernah mengalami nasib seperti buruh migran yang sudah jauh-jauh mencari kerja, pulang tanpa gaji, ditambah lagi dengan kondisi fisik yang rusak atau cacat permanen, bahkan meninggal dunia.

Berbeda dengan para buruh migran di atas, nasib Milana jauh lebih beruntung. Meski ia hanya PNS golongan III-B, Milana tak perlu berpayah-payah naik-turun angkot yang sumpek dan apek. Karena setiap ke kantor, ia diantar-jemput sopir pribadi dengan mobil mewah yang sering berganti yaitu Ford Everest, Toyota Alphard, dan Mercedes-Benz. Di rekeningnya, pernah diperiksa terdapat sejumlah dana miliaran rupiah. Dengan ‘kenikmatan’ sebesar itu, Milana justru sering membolos. Begitulah sifat manusia yang cenderung kufur nikmat.

Nasib isteri maling paling terkenal ini dapat bermanja-manja dan leha-leha di negeri ini. Sebaliknya ratusan ribu babu-babu yang diekspor mengalami nasib tak seindah isteri maling ini. Istilah tipuan yang disebut “pahlawan devisa” tampaknya tidak dapat mengobati setitik luka dan duka pun, apalagi memulihkan mata yang buta atau wajah yang penyok akibat disiksa. Dan lebih tidak mampu lagi untuk menaikkan citra bangsa, dari dihormati menjadi dihina bagai kerbau belaka. Karena kata mantan duta besar di Timur Tengah, Maftuh Basyuni dalam wawancara dengan suaraislam online, kenyataannya seperti ini:

Memang para TKI itu sebenarnya tidak siap dikirimkan ke Timur Tengah. Maaf-maaf, sama saja dengan mengirimkan kerbau ke sana, sebab itu hanya tenaga kasarnya saja.

Saya termasuk orang yang dikorbankan oleh adanya pengiriman TKI. Sebelum adanya pengiriman TKI ke Timur Tengah khususnya Saudi Arabia dan Kuwait serta negara-negara Teluk, nama Indonesia begitu harumnya. Sampai-sampai orang Indonesia kalau laki-laki dipanggil Tuan dan perempuan dipanggil Siti Rahmah, itu bukan suatu penghinaan tetapi betul betul suatu penghormatan.

Tetapi begitu ada pengiriman TKI, maka nama Indonesia langsung jatuh. Kalau untuk Saudi dimulai sejak 1976. Waktu itu pengiriman TKI masih dianggap sebagai suatu kejahatan. Pada waktu itu para pengirim TKI sama dipanggil Pangkopkamtib Laksamana Sudomo. Tetapi setelah Sudomo menjadi Menaker, malah justru mengirimkannya.(suaraislam online, , 01 December 2010 10:51).

Jadi sebenarnya pengiriman TKI terutama TKW yakni babu-babu ke luar negeri adalah satu bentuk pengambil alihan kejahatan. Dan entah berapa saja jumlahnya dari tahun 1976 sampai sekarang ini yang jadi korban kejahatan itu. (haji/tede)