Dilema UMP Dan UMK, Kapan Buruh Sejahtera?

Eramuslim.com – BURUH dan pengusaha sedang galau. Pasalnya, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) sedang meninjau skema pengupahan terhadap buruh di kabupaten/kota.

Tak tertutup kemungkinan nantinya semua wilayah di tingkat tersebut mengacu pada Upah Minimum Provinsi (UMP), bukan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).

Selama ini, acuan penetapan upah masih tetap menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015.

Buah Simalakama

Kalangan buruh menolak keras rencana Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah tersebut. Bila wacana ini direalisasikan, UMK bakal dihapus dan hanya mengacu pada UMP. Hal ini akan merugikan kalangan buruh terutama bagi kabupaten atau kota yang selama ini punya UMK jauh di atas UMP.

Jika UMK ditiadakan, maka buruh di Karawang misalnya, yang selama ini upahnya 4,2 juta hanya mendapatkan upah 1,6 juta. Wacana tersebut, secara sistematis, dipandang akan memiskinkan kaum buruh.

Sementara itu para pengusaha justru keberatan dengan kenaikan UMP dan UMK yang rutin terjadi tiap tahun. Termasuk juga adanya Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) yang lebih tinggi daripada UMP/UMK.

Kenaikan UMP/UMK akan menambah beban pengusaha. Sementara saat ini kondisi ekonomi dunia sedang buruk. Pengusaha akan mengkalkulasi, hasilnya bisa jadi pengurangan karyawan atau hengkangnya perusahaan ke tempat lain.