Djoko Edhie: Dikdasmen Ala Nadiem: “The Blind & The Doubt”

Christensen meramal disrupsi dunia pendidikan:

Pertama, 65% anak-anak, bakal mendapatkan pekerjaan yang saat ini belum ada.

Kedua, 75 juta (42%) pekerjaan manusia akan digantikan robot AI (artificial intelligence) pada tahun 2022 (World Economic Forum, 2018).

Ketiga, pada 2021, 60% universitas di seluruh dunia akan menggunakan teknologi virtual reality (VR) untuk pembelajaran yang imersif (Gartner, 2018).

Pendidikan adalah institusi yang sulit berubah menghadapi disrupsi. Kondisi dan metodologi pembelajaran hari ini, kata Yuswohadi, tak jauh beda dengan kondisi seabad lampau: akan terkena 3 disrupsi yang berakibat sistem jadi usang dan tidak relevan.

Keempat,  dari sisi anak didik, disrupsi diramal datang dari kaum milenial (neo-milenial, yaitu generasi Z) yang perilaku belajarnya menuntut perubahan radikal  pendidikan, milenial generasi highly mobile, apps-dependent, terhubung online, cepat berbagi informasi via medsos, self-learner yang mencari sendiri pengetahuan di YouTube atau Khan Academy. Mereka menolak digurui. Generasi Z itu, melek visual (visually literate), lebih suka belajar secara visual (di YouTube, online games) ketimbang baca buku atau mendengar ceramah guru di kelas.

Mereka sangat melek data (data-literate), piawai berselancar di Google mengulik, memproses, mengurasi, dan menganalisis informasi daripada pasif di perpustakaan. Itu dilakukan dengan super-cepat melalui 3M: multi-media, multi-platform, dan multi-tasking.

Mereka lebih nyaman belajar secara kolaboratif di proyek riil, peer-to-peer, melalui komunitas atau jejaring sosial. Mereka peers lebih kredibel ketimbang guru. Mereka lebih suka menggunakan interactive gaming untuk belajar, mengerjakan PR.

Kelima, disrupsi teknologi, di mana teknologi pendidikan berkembang secara eksponensial  mendisrupsi sekolah tradisional. Inovasi disrupsi pendidikan ie MOOC, open educational resources (OER), situs tutorial online seperti RuangGuru atau Khan Academy, social learning platform, personalized/customized learning, professional learning network (PLN), hingga massively multi-player online (MMO) learning games kini sedang antri untuk mencapai titik critical mass. Sebagai wahana pembelajaran, sekolah tradisional akan tergeser dari posisi “core” menjadi “peripheral”.